21 - Selalu Dia

753 96 8
                                    

Apin menghentikan motornya di sebuah halte terdekat ketika hujan tiba-tiba menyapa bumi. Sebenarnya Apin ingin menerobos saja. Namun, mengingat dia membawa Fanny karena mereka baru saja selesai mengerjakan tugas, ia memutuskan berhenti. Ditambah langit gelap, gemuruh petir dan embusan angin kencang.

“Sorry, sorry, gue gak bawa jas hujan,” kata Apin.

Fanny menepuk tetesan air yang sempat mendarat di tasnya. Gadis itu menoleh pada Apin.

“Iya, gapapa.”

Apin menghembuskan napasnya kasar. Dia mengacak rambutnya, mencoba mengusir tetesan air di surai hitam itu. Matanya melirik ke sekitar, ada beberapa orang juga yang ikut meneduh. Mereka adalah orang-orang yang tidak membawa jas hujan.

“Lo gak mau duduk? Kayaknya hujan bakal lama,” ujar Fanny.

Apin menoleh, lalu duduk di sebelah Fanny. Cowok itu membuka ponselnya, membaca beberapa pesan masuk dari Ayyara yang menanyakan kabarnya. Bertanya bahwa dia pulang dengan selamat, mengingatkan makan, dan omelan kecil karena sia tak membalas pesan Ayyara sejak sore tadi.

“Bahaya kalau ada petir main hp,” tegur Fanny.

Alhasil, Apin mematikan ponselnya setelah membaca pesan Ayyara. Sedikit risau tidak membalas pesan itu. Ayyara pasti menunggunya.

“Lo suka hujan?” tanya Apin pada Fanny.
Kepala Fanny mengangguk dengan sorot mata tertuju pada ribuan tetes hujan yang berjatuhan.

“Lo juga suka?”

“Enggak. Gue lebih suka kesendirian, sepi, sunyi gak ada suara apa pun itu,” balas Apin.

“Introvert?” tanya Fanny terkejut.

Apin terkekeh pelan. Sekilas ingatannya terlempar pada Ayyara saat gadis itu tahu dia introvert. Respons yang nyaris sama dengan Fanny. Sama-sama terkejut.

“Iya. Lo pasti gak nyangka.”

“Jelas. Lo aja keliatan aktif di kelas.”

Mata Apin beralih menatap ke depan.

“Gue Cuma terpaksa aktif karena dipaksa keadaan. Tapi, di balik itu gue Cuma cowok i yang cepet habis energinya.”

Fanny mengangguk paham. Mengingat circle pertemanan Apin yang sangat hyperaktif, mungkin cowok itu harus menyelaraskan diri.

“Lo sendiri introvert juga?”

“Iya. Gue juga pengen buka diri kayak lo, tapi gue takut. Banyak yang gak suka sama gue. Kenapa semua orang mandang fisik?”
Sebagai seseorang yang dituju atas pertanyaan Fanny, Apin berpikir sejenak.

“Kenapa lo bisa ngomong kayak gitu?”

“Karena gue pernah dikatain, dicaci maki Cuma gara-gara fisik.”

“Kalau itu emang jiwa mereka jiwa pembully. Pada dasarnya di circle pertemanan itu yang dibutuhin kepercayaan diri, humble, care bukan fisik.”

Fanny menatap Apin. “Kalau gitu, kenapa temen lo ganteng sama cantik semua?”

“Proses hidup. Gue gak mandang mereka dari fisik. Tapi, gue yang gak sengaja ketemu Aldev sama Garza di beberapa situasi sampai akhirnya deket. Bahkan, gue deket sama Ayyara aja gara-gara dia yang ajak ngomong duluan. Kejadian-kejadian yang mengharuskan gue sama mereka kerja kelompok, itu yang bikin deket. Kayak gue sama lo sekarang, kita deket karena terlibat satu kejadian kan? Nah, itu latar belakang terjadinya pertemanan, bukan lewat fisik.”

“Jadi, kalau misalnya gue sekarang satu kelompok sama orang lain, bisa jadi gue sama dia temanan?”

Apin mengangguk membenarkan.

“Kalau soal ginian, coba konsultasi ke Azalea. Dia yang lebih ngerti soal cantik-ganteng.”

PYTHAGORAS (END)Where stories live. Discover now