36 - Sederet Sandi

683 83 8
                                    

Sial.

Di saat Ayyara tidak tidur semalaman, guru pendongeng justru datang di jam pertama. Seorang guru sejarah yang hobi bercerita panjang lebar itu membuat Ayyara mendesah pelan. Bagaimana Ayyara bisa membuka matanya jika lantunan alus guru itu seakan-akan menghantarkannya pada alam mimpi.

“Kalian pernah denger cerita pasukan SPARTA dari Yunani kuno?”

Beberapa siswa menggeleng, ada pun yang menjawab belum pernah.

“Sparta itu adalah kota pada zaman Yunani Kuno. Sparta merupakan Ibu kota Laconia dengan kota terpenting Peloponesus di tepi Sungai Eurotas.”

Guru sejarah pun kembali bercerita.

“Ada sebuah proses yang dinamakan Agoge. Proses ini adalah proses pelatihan militer yang terapkan untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun. Mereka diharapkan menjadi tentara profesional, hebat, dan kuat. Bayangin, usia tujuh tahun tapi udah harus ikut pelatihan militer.”

“Lalu, diusia mereka yang ke delapan belas tahun. Mereka diberi pelatihan lebih berat, yaitu membunuh helot atau biasa dikenal sebagai budak. Mereka hanya dibekali sebilah pisau saja.”

“Apabila mereka mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Mereka akan menjalani tes yang lebih mengerikan. Mereka akan dicambuk hingga ratusan kali. Bahkan tidak sedikit yang nyawanya melayang.”

“Sampai pada akhirnya hanya mereka yang kuat yang bertahan hingga akhir.”

Ayyara menenggelamkan kepalanya saat benar-benar tidak sanggup membuka matanya lagi. Ia sangat mengantuk. Tidak peduli dengan cerita guru sejarah itu meski telinganya tetap menangkap suara guru tersebut.

“Sama seperti kita, namun di situasi yang berbeda. Bapak yakin di usia kalian yang remaja ini banyak masalah datang menghampiri. Ya, Bapak juga pernah muda.”

“Jadi jangan heran kalau ujian hidup makin lama makin berat. Karena, kalian lolos di rintangan sebelumnya. Jadi, kalian akan naik level. Apakah kalian sanggup atau tidak.”

“Bapak harap anak didik Bapak ini akan selalu kuat seperti pasukan Sparta yang berhasil melewati semua tes.”

Seluruh cerita guru sejarah berhasil membuat beberapa siswa tersenyum lega. Sebuah pesan implisit dalan cerita pasukan Sparta berhasil memotivasi mereka.

“Ayyara!” panggil guru sejarah itu.

Tubuh Ayyara refleks terbangun, menatap guru sejarah dengan mata terkedip beberapa kali. Jantungnya nyaris melompat keluar akibat terkejut.

“Keluar, cuci muka baru ikut pelajaran Bapak lagi!” suruh guru sejarah.

Ayyara mengangguk. Ia mengusap wajahnya yang sangat lesu. Berjalan keluar kelas, menuju kran dekat lapangan basket.

Suara air mengalir bersama sapuan air di wajah ngantuk Ayyara. Ke sekian kalinya Ayyara menguap.

“Ngantuk berat,” gumamnya.

Ayyara menatap air di tangannya. Jika diingat, dia tidak pernah membolos sebelumnya. Terselip rasa ingin melarikan diri ke kantin sekolah atau bahkan ke UKS untuk tidur.

“Aturan unggulan kampret,” desisnya saat mengingat aturan unggulan yang dulu pernah Bu Dewi sampaikan.

“Gak peduli!”

Buru-buru Ayyara mematikan kran. Ia melangkah bukan ke kelas, melainkan ke kantin sekolah. Tidak peduli hukuman apa yang akan dia dapatkan.

Sesampainya di kantin, Ayyara memesan es kopi. Berharap bisa membuatnya lebih melek supaya ia bisa mengikuti pelajaran hingga sore nanti.

“Eh.”

Ayyara merunduk, mengambil sebuah kertas yang terjatuh dari saku almamaternya saat mengambil uang. Ia memberikan uang tersebut dan menerima kopinya. Pilihan Ayyara jatuh pada bangku di bagian pojok yang minim di lihat guru.

Ketika membuka ponselnya, dia dikejutkan oleh notifikasi dari Arya dan Arzan.

Ayyara menelan salivanya susah payah. Tenggorokannya mendadak kering. Apa lagi ini? Tatapannya jatuh pada sebuah kertas di genggamannya. Perlahan, ia membukanya.

Ayyara mengumpat dalam hati, tangannya meremas cup es kopi. Dia ngeblank dalam sekejap. Sekali lagi, dia membaca isi teror dari Arzan dan Arya.

4096-16-8-512

Soal nomor 92. Walaupun aku hanya anak laki-laki, aku bisa menghancurkan kota yang lebih besar dari SMA Angkasa
Soal nomor 15. Aku bersinar di kemiluminesens

Dan sebuah deretan angka mistis di lembarnya.

“Itu soal tes unggulan?”

“Laki-laki? Jangan-jangan yang sabotase video anak cowok? Jo? Apin?”

☆☆☆☆

Suara tas terjatuh dengan begitu kasar terdengar tatkala Ayyara membanting tasnya di lantai kamar Arya. Masih dengan gerakan kasarnya, ia menerima sebuah kotak macaron dari Arya. Cowok itu memang sangat peka terhadap moodnya.
Arzan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur Arya. Tidak peduli kepada Arya yang duduk di kursi meja belajar.

“Otak gue kayak mau meledak,” keluh Arzan.

Sementara pemilik kamar, membuka laptopnya. Arya mulai berseluncur di internet mencari tahu jawaban teror yang mereka dapatkan. Banyak diam bukan berarti bodoh. Akan tetapi, Arya lebih suka langsung pada tindakan.

“Bilangan biner?” gumam Arya.

Arzan menulikan telinganya. Ia mengambil obat dari dalam tas, meminumnya tanpa kesusahan.
Gadis yang tengah memakan macaron di lantai kamar Arya mendengkus kasar. Dia lelah, butuh istirahat saat ini juga.

“Gue butuh tidur loh, anj—“

Kalimat itu terhenti saat tatapan tajam Arzan dan Arya langsung tertuju padanya. Menyeramkan, nyaris seperti sebilah pisau tajam yang siap mengulitinya. Ayyara mengusap telinganya.

“Gue mau tidur,” ulangnya lebih kalem.

“Tapi gak mau ke kamar. Nanti gue ketinggalan berita.”

“Yang ada kalau di sini lo gak bisa nyenyak,” kata Arzan.

Bibir bawah Ayyara sedikit maju, pertanda dia sebal. “Kak,” panggilnya.

“Tidur, Ay.”

“Kabarin kalau udah dapat!”

Setelah itu Ayyara mengembalikan kotak macaron pada meja belajar Arya. Gadis itu bergegas menuju kamarnya. Akhirnya dia bisa terbebas dengan belenggu deretan soal gila itu.

Di dalam kamar, Arzan membuka ponselnya. Kembali membaca sebuah angka yang ia temui di bangkunya pagi tadi.

“Gue yakin ini bener sandi biner, tapi kok gak bisa, Zan?”

“Gak bisa gimana?” Arzan bangkit, menghampiri Arya yang kesulitan.

“Sandi biner ada delapan digit, udah gue cocokin tapi kelebihan satu digit.”

“Coba skip, cari soal lain,” suruh Arzan.

Arya beralih pada soal ke-2. Soal di mana angka-angka pengurangan bertemu. Sebelum mereka mulai menyelam pada sandi ke-2 yang Ayyara temukan. Seorang gadis terlebih dahulu membuka pintu kamar Arya sedikit kasar.

“Itu kan teror, harusnya gak usah dicari tau biar kita gak overthinking.”

Kalimat dari Ayyara membuat Arya dan Arzan ber-A ria. Masuk akal, lebih baik tidak tahu demi pikiran mereka.

“Tapi, lebih baik tahu walaupun hasilnya gak baik daripada gak tahu,” sanggah Arya.

“Dan kita gak tau ini isinya apa. Siapa tahu identitas pelaku sabotase,” imbuh Arzan.

Mereka saling melempar tatap, bermusyawarah atas opini masing-masing dari mereka. Berdiskusi dalam hati hingga menghasilkan sebuah keputusan yang di mana, Arya dan Arzan pemenangnya.

“Dahlah, cabut gak mau mikir.”

☆☆☆☆

PYTHAGORAS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang