35 - Bertahan

683 94 11
                                    

Keheningan dalam koridor rumah sakit terlengkapi oleh aroma obat-obatan yang khas. Bangunan serba putih identik dengan luka, tangisan dan kepergian. Tidak ada satu pun orang yang berharap memasuki rumah sakit ini. Terkecuali, orang-orang putus asa, hilang semangat dan ingin diri mereka meninggalkan dunia yang kejam ini.

Dari beberapa tipikal orang di rumah sakit, Ayyara dan Arya adalah dua orang yang terus merapalkan doa. Berharap Tuhan menyelamatkan sahabat mereka.
Ayyara menutup wajahnya. Rasa bersalah semakin mendekapnya begitu erat. Bagaimana pun ini semua salahnya. Ini semua terjadi bermuara dari ajakannya untuk merubah sistem unggulan.

“Sorry,” gumam Ayyara untuk kesekian kalinya.

“Ssttt, tenang. Arzan gak bakal kenapa-kenapa,” bisik Arya sembari mengusap bahu Ayyara.

“Maafin gue, Kak.”

Arya menarik kepala Ayyara agar bersandar di dadanya. Tangannya setia menepuk punggung Ayyara, sesekali mengusap surai legam gadis itu.
Disparitas yang begitu kentara antara watak Arya dan Ayyara. Arya yang dominan tenang, pandai mengontrol emosi, dan selalu bisa menetralkan keadaan. Sementara Ayyara, seperti perempuan lainnya. Hatinya begitu sensitif.

“Everything gonna be okay.”

Seorang dokter keluar ruang UGD. Buru-buru Arya menghampiri dokter tersebut bersama Ayyara.

“Dok, gimana keadaan temen saya?”

Dokter perempuan itu tersenyum sebentar sebelum menjelaskan. Tatapan menenangkan yang terpancar sedikit menciptakan secercah cahaya.

“Temen kamu gapapa. Dia Cuma terima jahitan delapan di lukanya. Alasan temen kamu pingsan karena dia syok. Tapi kalian tenang aja, tidak ada luka yang serius.”

Barulah Arya dan Ayyara menghembuskan napasnya lega. Mengucapkan terima kasih pada Tuhan karena sudah menyelamatkan Arzan.

“Kalian bisa jenguk temen kalian. Saya permisi dulu ya?”

“Makasih banyak, Dok.”

“Makasih, Dok.”

Ayyara mengikuti langkah Arya memasuki UGD. Mencari tempat di mana Arzan terbaring tak berdaya.

“Gue di sini woi, kebablasan.”

Adalah satu kalimat nol akhlak dari Arzan yang menyapa gendang telinga si kembar. Arya juga Ayyara menoleh ke sebuah bilik tempat Arzan terbaring.

“Air mata gue gagal keluar,” ujar Ayyara, mendengkus kasar.

“Gak usah kayak sinetron. Gue gapapa.”

Ayyara duduk di salah satu kursi dekat brankar Arzan. Matanya melirik sekilas dada Arzan yang terekspos menampilkan luka tertutup perban.

“Naksir lo nanti,” cibir Arzan. Tangannya terulur menutupi perutnya.

“Cih, lo kalik yang naksir gue.”

“Asal lo tau, luka hati gue udah diobatin sama Dokter. Baik banget kan, dokternya?”

Mata Arya terputar malas melihat tangan Arzan yang menyentuh dada kanan cowok itu. “Hati itu kiri, goblok!”

“Goblok!” tiru Ayyara mengumpati Arzan.
Arzan berdecih pelan. Cowok dengan wajah pucat itu menatap langit-langit rumah sakit. Ayyara dan Arya memang pandai menghibur hatinya. Eksistensi mereka dalam kehidupan Arzan selama ini sangat berarti bagi Arzan.

Namun, tetap ada kekosongan akibat kurangnya kasih sayang dari orang tua. Wali murid atas nama Arzano Rafatkhan yang sibuk bolak-balik ke luar Negeri hanya untuk bisnis.

PYTHAGORAS (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora