34. Doppelganger

3.9K 260 26
                                    

Minggu sore yang tenang, Elliot bersaudara berkumpul di ruang tengah sambil menonton series Netflix. Dengan formasi yang biasanya, Lucas berada di tengah. Ketegangan antara Ren dan Lucas telah memudar meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya tidak sedingin kemarin.

Seperti hari-hari sebelumnya, hari libur terakhir pun mereka habiskan dirumah. Lucas tak sabar untuk segera kembali ke sekolah, bertemu dengan Jeje dan yang lain. Terjebak di dalam rumah dengan dua manusia ini sebenarnya tidak terlalu buruk. Tapi terkadang pertengkaran mereka membuat Lucas jengah, pasalnya jika dua saudara sedarah ini bertengkar mereka tidak akan segan-segan melukai satu sama lain dan mungkin jika tidak dilerai Lucas akan terjadi pertumpahan darah.

Saat semua fokus pada layar tv, David masuk ke ruang tengah dengan raut muka yang tidak setenang biasanya.

"What's wrong?" Ren menegakkan tubuhnya, menyadari keanehan David.

"Tuan, pak Jo kembali. Sedang dalam perjalanan, tapi ia sendirian." Jawabnya.

Ren melirik Lucas. Ekspresi sedih terpancar jelas di mata Lucas, Ran menampilkan ekspresi yang tak kalah sedih dan kecewa, kecewa pada dirinya sendiri. Sedangkan Ren tetap berusaha tenang, ia harus bisa mengendalikan emosinya.

"It's okay, there's nothing happen." Ren merangkul dan mengelus pundak Lucas.

Tak berselang lama, pak Jo memasuki ruang tengah. Dengan pakaian ala pengawal biasanya. Celana bahan, kemeja putih dan jas hitam pas badan. Sampai dihadapan Ren, pak Jo menundukkan kepala. Memberi salam seperti biasanya.

"Tuan... Maafkan saya." Ucap Jonathan.

"Jo... Ikut aku..." Ren merasa pasti ada sesuatu yang tidak beres, dan lebih baik jika hanya bicara empat mata dengan Jonathan.

Pak Jo mengekor, mengikuti kemana perginya Ren. Meninggalkan Ran, Lucas serta David yang masih berdiri disana tadi.

"Uka.. r u ok?" Pertanyaan bodoh yang dilontarkan Ran. Bagaimana seorang anak akan merasa baik-baik saja saat ia tahu ibunya tidak kembali.

Ran merasa ada atau tidak ada nya orang tua sudah tidak lagi berpengaruh pada hidupnya, ia sudah terbiasa hidup sendiri di US. Seperti mati rasa mungkin. Jadi dia kurang memahami perasaan Lucas saat ini. Tapi dia tetap kecewa pada dirinya sendiri, karena menganggap dirinya lah penyebab semua ini.

"Bagaimana lukamu?" Alih-alih menjawab pertanyaan Ran, Lucas justru melempar pertanyaan pada David yang masih berdiri di ruang tengah.

"Sudah membaik tuan muda." Ucapnya

"Baguslah."

"Tuan, bagaimana tuan muda bisa tau pertolongan pertama dan tau tata letak peralatan medis di rumah ini?" Pertanyaan David mungkin sedikit lancang, tapi dia sudah tidak bisa memendam rasa penasaran yang ada di otaknya. Sepengetahuannya, Lucas hanya tertarik dengan musik dan tinggal di rumah juga lebih sering berdiam diri didalam kamar.

Dave akan merasa itu hal normal jika Ren yang melakukannya, karena memang sudah terlatih sejak sejak kecil untuk menjadi apa saja yang Alex mau.

"Ah~ aku minta cetak biru rumah ini pada pak Jo beberapa waktu lalu." Sebenarnya tujuan awal Lucas meminta cetak biru hanya karena sakit hati ia tidak tahu bahwa rumah ini terdapat lift di dalamnya, ataupun tempat gym di lantai 3. Dan Lucas ingin mengetahui seluk beluk rumah ini tanpa berkeliling.

"Bagaimana dengan pertolongan pertama?"

"Mantan suami mama dulu punya banyak buku, bukan hanya filsafat. Buku tentang medis juga banyak."

"Ah ya, gausah terlalu formal. Rasanya sedikit aneh." Lanjut Lucas.

Lucas beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke kamar menaiki anak tangga. Menyinggung tentang ayah sambung pertamanya, membuat Lucas sadar kenapa orang itu mempunyai banyak sekali buku.

BROTHERS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang