Rizal 36 • Sorry, Bee

9.2K 802 16
                                    

Selamat membaca

***

Jam makan siang di kafe delima!

Aku masih menatap datar pesan singkat yang masuk beberapa menit yang lalu. Pesan dari seseorang yang tidak aku harapkan, namun terpaksa aku balas karena beberapa alasan.

Aku menghela napas, mengetikkan beberapa kata balasan dan menekan send yang langsung tercentang dua biru. "Oke. Jangan lupa bawa apa yang lo janjiin."

Toktok

Aku mengalihkan fokus dari layar hp ke pintu ruangan yang tertutup rapat. "Masuk!" Terlihat Dimas memasuki ruang kerja setelah aku mempersilahkannya.

"Bapak cari saya?" tanyanya yang langsung aku angguki.

"Duduk, Dim." Aku meletakkan ponselku ke atas meja, lalu beranjak berdiri dan berpindah duduk ke sofa tamu yang berada tidak jauh dari kursi kerjaku.

Aku mengeluarkan beberapa lembar foto dari saku jas, lalu meletakkan di atas meja yang memisahkan aku dan dia. "Tolong selidiki siapa yang kirim foto ini." Ujarku sembari melirik ke arah beberapa lembar foto yang terlihat acak-acakan. "Dan tolong juga kirim beberapa orang untuk jagain ibu." Lanjutku menambahkan.

Dimas mengambil beberapa foto yang aku maksud. Mengamatinya dengan seksama, lalu menoleh ke arahku dan mengangguk. "Baik, Pak."

"Pastikan sebelum lusa semua informasi sudah ada di meja saya." Lagi-lagi Dimas hanya mengangguk.

"Ada yang mau kamu tanyakan?" aku bertanya pada asisten sekaligus bodyguard ku ini. Pasalnya wajah Dimas menunjukkan ekspresi yang penasaran dan seolah ingin menanyakan sesuatu, namun dia tak kunjung mengatakan apapun padaku.

Kulihat Dimas mengambil napas. "Apa Ibu tau soal masalah ini, Pak?" akhirnya walau dengan ragu-ragu dia bertanya. Pertanyaan mengenai apakah Jeje tahu soal dirinya yang belakangan ini selalu diikuti oleh orang asing atau tidak, karena foto-foto yang sebelumnya aku tunjukkan padanya memang berisi foto-foto kegiatan Jeje, baik saat dia syuting ataupun ketika di belakang kamera.

Aku menggeleng. "Belum, dan jangan sampai tahu." Peringat ku yang lagi-lagi langsung dianggukki olehnya.

Aku berdiri dan kembali berjalan menuju meja kerja. Mengambil ponsel yang tergeletak manis di atasnya, lalu kembali ke tempat semula untuk menunjukkan kepada Dimas sebuah pesan dari orang yang belakangan ini selalu menerorku sebagai tambahan informasi baginya. "Orang ini sudah mulai bergerak, jadi saya harap kamu dan anak-anak juga mulai waspada."

"Baik, Pak." Seperti yang diduga, dia langsung mengiyakan permintaan ku tanpa bertanya. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." Dimas berjalan keluar ruangan setelah mendapat anggukan mengiyakan dariku.

Semoga permasalahan yang sedang aku hadapi tidak akan berpengaruh pada kamu, Bee.

***

Aku memijat kedua ujung pelipis. Berharap bisa mengurangi sedikit rasa pening karena dua hari terakhir hampir tidak tidur sama sekali. Mengambil segelas air putih yang tersedia diatas meja, lalu meneguknya sedikit untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering.

Ting!

Notifikasi pesan yang baru masuk membuatku bisa sedikit bersemangat. Pesan singkat dari calon istri yang menanyakan apakah aku sudah makan atau belum ternyata efeknya jauh lebih hebat dari pijatan di pelipis maupun segelas air mineral. Benar-benar definisi langsung semangat ketika diingatkan makan oleh pasangan.

"Assalamualaikum, Bee." Alih-alih membalas pesannya, aku memilih untuk menelponnya saja. Aku juga ingin mendengarkan suaranya karena belakangan ini disibukkan dengan pekerjaan sehingga belum sempat untuk menelpon seperti biasanya..

"Waalaikumsalam, Mas," jawabnya dari seberang telepon.

"Di apartemen atau lagi ada syuting?" Aku berdiri dari kursiku dan melangkah menuju dinding kaca. Menatap pemandangan kota Jakarta di siang hari yang terlihat begitu cerah. Memasukkan tangan kiri kedalam saku celana, lalu membiarkan tangan yang lain untuk menggenggam telpon dan menempelkannya ke telinga..

"Di apartemen, Mas. Kebetulan hari ini nggak ada jadwal," jelasnya singkat."Kamu udah makan belum?" Belum juga aku merespon, dia kembali menanyakan hal yang sama persis dengan apa yang dia tuliskan di Whatsapp.

"Belum."

Dari ujung telepon, Jeje mendengkus. "Mulai deh kamu, Mas." ujarnya kesal. "Aku tahu pekerjaan kamu banyak, tapi jangan sampe lupa makan."

"Emangnya Mas Dimas nggak ngingetin kamu?"

Meski terkesan sedang marah, aku justru merasa senang karena mendapat perhatian darinya. "Ngingetin, Bee. Tapi memang belum sempet aja."

"Ya disempetin lah, Mas. Nunggu kamu sempet bisa-bisa nggak jadi makan." Dia bertambah kesal karena aku mengatakan bahwa aku belum makan karena belum ada waktu. Padahal aku sudah menjawab dengan jujur jika aku memang sedang sibuk sampai melupakan makan siang.

"Maunya makan siang buatan kamu." Pintaku manja.

"Tapi aku belum masak, Mas, hari ini."

"Ya udah masak dulu, Bee. Aku masih kuat kok nungguin kamu masak."

"Mas.." panggilnya pelan. Sepertinya sedang memberikan tanda-tanda peringatan karena aku mulai menunjukkan sikap manja dan kekanak-kanakan padanya.

"Kenapa sayang?" responku sengaja menekankan kata 'sayang' di belakang.

"Kalo nunggu aku masak, bisa-bisa kamu udah pingsan lebih dulu." Dia emmbenerikan pengertian dengan penuh perhatian. "Sekarang kamu makannya DO aja ya, nanti biar aku yang pilih menu dan ngasih tau ke Mas Dimas buat beliin."

"Tapi pengennya masakan kamu.."

"Iya aku masakin, tapi nanti ya. Buat makan malamnya." Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping. Merasa senang karena kalimatnya barusan mengandung arti bahwa aku diperbolehkan untuk datang ke apartemennya setelah pulang kerja nanti.

"Deal, Bee. Pulang kerja langsung otw ke tempat kamu, jangan lupa masak yang enak." 

Backstreet [2]Where stories live. Discover now