Hari sabtu memang hari yang paling tepat untuk bermalas-malasan. Tidak perlu bangun pagi, bersiap, dan juga berangkat sekolah.
Sayangnya dalam kamus seorang Leonardo Rizal yang menjabat sebagai ketua osis, tentu hari untuk bermalas-malasan tersebut jarang sekali ada.
Setelah merapikan penampilan di depan kaca, aku mengambil kunci motor. Menyongsong weekend dengan pergi ke sekolah karena ada agenda class meeting yang harus aku pantau sendiri.
"Ma, Rizal pamit pergi ya." Teriakku. Kebetulan mama masih berkutat di dapur, sementara papa sedang pergi dengan teman-teman kompleknya.
"Kamu udah sarapan belum?" tak kalah kencang, mama menimpali. Kujawab dengan teriakan mengiyakan, sembari mengambil selembar roti tawar yang sudah diolesi selai coklat. Aku sudah tak sempat duduk tenang untuk menikmati sarapan, dan berniat untuk membeli mie ayam yang ada di kantin sekolah.
Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di parkiran sekolah, segera aku menaruh helm di spion motor dan berjalan menuju ke ruang osis.
Aku menghabiskan waktu sekitar lima belas menit untuk membriefing para pengurus osis. Ini adalah acara hari terakhir, dan aku harus memastikan bahwa kegiatan yang dilaksanakan masih tetap menarik untuk diikuti.
"Gue sarapan dulu ya," ujarku pada Dion, wakilku.
Dion mengangguk. "Mau ditemenin gak?"
Aku menggeleng. Tidak seperti perempuan yang biasanya pergi kemana-mana bersama temannya, lelaki cenderung berbeda. Jika memang tidak ada urusan yang sama, maka lebih baik melakukannya sendiri. "Nggak usah,"
"Lo bantu anak-anak aja. Gue gak lama kok." Timpalku yang langsung diiyakan Dion. Aku pun memisahkan diri darinya, berbelok ke arah kiri untuk menuju ke kantin sekolah.
"Sori," tiba-tiba seseorang menubrukku dari depan. Meski tak jatuh, bajuku menjadi kotor. Sebab dia berlari sembari membawa segelas jus jeruk, yang naasnya tumpah di atas kaosku yang hari ini berwarna putih.
Mataku tidak berkedip. Melihat sosok yang menabrakku adalah dia, Talisa Jesi yang diam-diam aku kagumi.
"Ya ampun, sori banget gue gak sengaja." Ujarnya tidak enak. Sepertinya dia memang tidak memerhatikan jalan, jadi ketika dibelokan lorong tidak sengaja menabrakku.
Aku masih diam. Tidak terlalu mendengarkan perkataannya karena lebih fokus untuk melihat wajahnya. Wajah yang biasanya hanya bisa aku lihat dari kejauhan, kini bisa kulihat sepenuhnya dari jarak pandang yang sangat dekat. Emang beneran cakep sih, batinku.
"Hey .." Jeje melambaikan tangannya di depan wajahku. Membuatku sadar dan segera memalingkan wajah.
"Gue gak sengaja, maaf ya."
Aku hanya mengangguk. Toh sudah terjadi juga, jadi tidak ada juga yang bisa di debat.
Aku berniat untuk melanjutkan jalan. Sebenarnya ingin lebih lama berinteraksi dengannya, tetapi aku tak punya topik untuk dibahas. Tidak mungkin juga aku membahas hal lain secara tiba-tiba karena akhirnya malah terdengar aneh.
"Eh tunggu!" Lenganku dicekal olehnya. Membuatku menghentikan langkah, menoleh padanya, lalu mengernyitkan dahi heran.
"Lo gak minta tanggung jawab gitu?" tanyanya heran.
Aku menggeleng. Tanggung jawab apa yang dia maksudkan? ini hanya kaos polos biasa.
"Kaos lo jadi bernoda gitu," tunjuknya pada bagian depan kaosku.
Jujur aku grogi, tapi aku berusaha untuk terlihat biasa saja. Tingkat gengsi ku sangat tinggi, jadi aku tidak boleh terlihat salah tingkah di depannya. Apalagi sepertinya, dia tidak mengenaliku sama sekali.
Sebenernya dia selama ini kemana? kenapa tidak tahu ketua osis ganteng sepertiku!
"Nggak papa kok. Satai." Jawabku stay cool.
Wajahnya masih menampilkan rasa tidak enak. "Lo serius? gue yang gak enak."
"Gue ganti aja ya, berapa harganya?" lanjutnya.
Aku diam. Bukan sedang mengingat berapa harga kaos yang aku kenakan, tetapi sedang memutar otak bagaimana memanfaatkan kesempatan ini. Leonardo Rizal adalah murid yang cukup pintar, jadi mengambil kesempatan dalam kesempitan harusnya tidak menjadi masalah besar baginya.
"Gue udah lupa harganya. Kalau bentuk tanggung jawabnya diganti ke yang lain gimana?"
Wajah Jeje semakin terlihat bingung. Sepertinya tidak paham dengan maksud perkataanku.
"Lo gak usah ganti kaos gue, laundy in aja." Kalau di laundy in, bakal ada pertemuan lagi karena dia harus mengembalikan kaosnya, kan?
Dia mengangguk. "Boleh." Jawabnya semangat.
Aku mengangguk. "Cuma gue mau makan dulu, lo gak papa kalau nungguin gue?"
"Sekalian beli minum lagi. Itu minum lo belum sempet diminum kan tadi?" cepat-cepat aku melanjutkan. Dilihat dari banyaknya tumpahannya, aku yakin bahwa dia belum meminumnya, atau baru sedikit menyeruputnya saja.
Lagi-lagi Jeje tidak langsung menjawab. Sepertinya dia tipe gadis yang memikirkan dahulu segala hal yang akan dilakukan. Makanya setiap kali aku bertanya dia tak langsung menjawab, tetapi butuh beberapa saat setelah akhirnya mengutarakan pandangannya.
"Boleh deh," jawabnya akhirnya.
Aku mengangguk, lalu mengajaknya untuk ke kantin.
Kami berjalan bersisian. Tidak ada obrolan karena memang kehidupan kami tidak bersinggungan.
"Ntar kalau nodanya gak ilang gimana?" tiba-tiba dia nyeletuk. Sepertinya diamnya tetap berpikir, dan yang sedari tadi dia pikirkan adalah bagaimana nasib kaosku ini.
"Ya nggak apa-apa. Udah lama gue pake juga."
Aku baru sadar bahwa tidak ada perkenalan di antara kami. Meski aku sudah tahu dia, tetapi dia belum mengenalku, kan? kami berdua tidak pernah mengobrol, lalu kenapa dia tidak menanyakannya? apakah dia memang tidak ingin tahu?
"Lo yakin? gue gak papa kok kalau di suruh ganti."
"Lo gak mungkin kan pakai kaos ini seharian?"
Aku menggeleng. "Kebetulan gue juga bawa kaos lain, jadi gapapa kalau yang ini kena noda."
"Cuma nanggung aja kalau harus balik ke ruang osis buat ganti. Jadi gue mau makan dulu sekalian."
Aku menarik kursi di salah satu meja kantin, diikuti juga olehnya. Akhirnya setelah sekian lama mengaguminya dalam diam, kini aku bisa duduk semeja dengannya.
"Sori ya, lo jadi harus nunggu gue makan dulu."
Dia menggeleng. "Gak papa kok. Gue juga sekalian beli minum." Jeje meringis.
"Anyway, lo anak osis?"
Ya Allah, ternyata dia beneran gak tau kalau gue ketua osis!

YOU ARE READING
Backstreet [2]
ChickLit"Kenapa, Mas?" Tanya Jeje dari seberang telepon. Mungkin merasa heran karena tidak biasanya aku menelpon tanpa mengiriminya pesan terlebih dulu. "Mau go public, nggak?" Ujarku tanpa basa-basi sama sekali