Kebohongan lain dengan sadar aku lakukan, menyesal tapi tetap diteruskan?
-Leonardo Rizal-
***
"Jadi?" tanyaku setelah mengembalikan ponsel pada pemiliknya. "Siapa yang kirim gambar ini?"
Jeje mendengkus. Menyandarkan punggungnya pada sofa, lalu memandangku yang kini juga sedang fokus memandangnya. "Aku lagi nanya, Mas. Dan jangan balik nanya sebelum kamu jawab pertanyaannya!" Ujarnya dongkol.
"Aku bisa jelasin, bee..." Responku sembari menegakkan posisi duduk. Aku tidak menyangka jika dia akan mendapatkan foto itu - dengan bonus aku yang sedang berpelukan bersama Arin. Itu berarti kesalahpahaman diantara kami akan semakin besar dan akan semakin banyak hal yang harus aku jelaskan - atau mungkin sebuah kebohongan yang harus aku utarakan untuk mendapatkan permintaan maafnya.
"Ya udah sok, aku dah tunggu dari tadi." Intonasi suaranya seperti orang malas yang sudah tidak mau terlibat obrolan. Sebuah signal jika aku sudah tidak bisa berbasa-basi karena rasa kesalnya sudah berada di ubun-ubun.
Aku menarik napas dalam. "Iya, kemaren aku ketemu Arin."
"Hari ini?" aku mengangguk.
Jeje tertawa. Tapi bukan tawa bahagia yang biasanya dia tunjukkan padaku. Melainkan tawa miris, yang entah kenapa berhasil menyakiti hatiku. Aku benar-benar merasa bersalah, padahal apa yang aku lakukan demi kelangsungan hubungan kami ke depan.
"Jadi?" Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya.
Untuk yang kedua kalinya dalam beberapa menit terakhir, aku memperbaiki posisi dudukku yang tidak nyaman. "Aku ketemu dia murni cuma kasihan, bee. Dia ngasih tau aku kalo lagi ada masalah besar di keluarganya dan butuh orang lain buat berbagi cerita. Jadi pas kelar rapat aku nemuin dia sebentar hari ini." Jujur aku sangat menyesal dengan apa yang aku lakukan. Meskipun demikian, aku juga sedikit bersyukur karena informasi yang diberikan Dimas saat aku sedang menemui Arin membuatku sadar bahwa ada sedikit manfaat yang aku dapatkan saat menemuinya.
Lagi-lagi Jeje tersenyum miris. "Jadi kamu nggak kasihan sama aku?"
"Bukan kaya gitu, bee!" Aku mengacak rambutku frustasi. Menyadari bahwa keputusan yang aku buat mungkin memang sudah salah sedari awal. Terlebih Jeje sudah bersikap dingin dan bahkan terkesan malas berinteraksi denganku, dan itu berarti bahwa apa yang aku lakukan membuat level kemarahannya mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan biasanya.
Namun di sisi lain aku sendiri masih belum yakin. Apakah harus jujur untuk meluruskan permasalahan ini atau harus sedikit berbohong - lagi demi kelancaran rencana yang sudah aku susun bersama Dimas. Sudut hatiku yang lain tidak membenarkan, tapi aku juga tidak mau membebani Jeje dengan permasalahan yang belum jelas siapa dalang di baliknya.
"Termasuk adegan berpelukan itu juga karena kasihan?"
"Itu gerak refleks, bee. Dia nangis dan kamu tau kan aku paling nggak bisa lihat cewek nangis ...." Memang benar aku sangat lemah jika berhadapan dengan perempuan yang sedang menangis, tapi aku selalu menahan diri untuk tidak melakukan kontak fisik karena teringat dengan Jeje. Namun untuk kasus yang satu ini, aku terpaksa melakukannya karena ada orang suruhannya papanya Arin yang memata-matai kami. Dan menurut Dimas, aku harus melakukan kontak fisik agar terlihat bahwa aku masih punya perasaan dengan anak perempuan kolegaku itu.
"Kamu masih sayang sama dia, Mas?" Tepat saat Jeje mengajukan pertanyaan itu, suara getar ponsel di saku celanaku berhasil mengalihkan sedikit atensiku. Sederet nomor yang tidak dikenal memanggil, namun aku tau pasti siapa orang yang memilikinya.
Diam-diam aku menggeser layar ke atas, menerima panggilan tersebut dan membiarkan orang yang berada di ujung telepon sana mendengarkan pembicaraanku dan Jeje yang sedang berlangsung.
"Kamu masih sayang sama Mbak Arina, Mas?" Meski akan terdengar sangat jahat, aku harus melakukannya. Aku harus membuat Arin percaya bahwa aku masih struggle dengan diriku sendiri, dan posisi dirinya di dalam hatiku masih terbilang cukup penting. Aku butuh mendapatkan beberapa informasi darinya, dan itu hanya bisa aku dapatkan jika dia kembali percaya padaku sepenuhnya.
Maafkan aku, bee....
"Aku nggak tau, bee."
"Aku nggak tau apa yang aku rasain ke dia, bee. Antara kasihan atau emang masih ada sedikit rasa sayang." Lanjutnya dengan nada sefrustasi mungkin. Aku tidak begitu jago akting, namun kali ini aku berusaha totalitas agar terlihat sangat meyakinkan.
Jeje mengangguk. Sebuah respon yang justru membuatku takut karena aku berekspektasi dia akan mengamuk, atau setidaknya marah-marah dan memukuliku. "Kalo sama aku, gimana perasaan kamu?"
"Aku cinta banget sama kamu, bee." Ini adalah jawaban paling jujur dari dalam hatiku, dan aku berharap orang yang sedang mendengarkan obrolan kami tidak begitu mempercayainya.
"Jadi maksud kamu dalam satu waktu kamu sayang sama dua orang sekaligus?"
Aku terdiam. Tidak mampu menjawab pertanyaannya karena sedang memikirkan jawaban yang paling tepat dan cukup rasional.
"Sekarang kamu pulang dulu, Mas..."
"Bee..." Panggilku frustasi. Aku tidak menyangka jika hanya di suruhnya pulang seperti ini, aku sudah merasa frustasi dan ingin mengamuk. Kedua tanganku bahkan sudah mengepal karena membenci diriku sendiri yang sudah menyakiti Jeje.
"Pulang, Mas!" Perintahnya sekali lagi.
Aku menggeleng. "Kamu perlu menyendiri buat nyari tahu gimana perasaan kamu yang sebenernya."
"Kita nggak mungkin bisa nyelesain masalah kalo kamu sendiri masih ragu sama perasaan kamu. Kamu perlu berdamai sama perasaan kamu sendiri, menerimanya, dan baru nanti balik ke sini kalo kamu udah yakin sama apa yang sebenarnya kamu mau dan kamu rasain." Jeje benar-benar terlihat dewasa, tapi entah kenapa sikap dewasanya kali ini tidak membuatku bahagia.
"Bee..."
"Aku bakalan nerima semua keputusan apapun yang akan kamu pilih, termasuk siap mundur dari pernikahan kita kalo kamu ternyata masih ragu." Ujarnya yang berhasil membuatku tidak percaya. Kenapa jadi seserius ini?
Aku mematikan sambungan telepon. Memandang ke arah Jeje lurus dengan ekspresi wajah yang entah sudah seperti apa. "Bee!!"
"Dengerin aku dulu, Mas!" Jeje ikut berteriak karena mungkin sudah benar-benar tidak bisa berpikir dalam menghadapi situasi ini.
Dia menundukkan kepala dan menutup wajahku dengan dua telapak tangan. "Jangan mendekat, Mas!" Peringatnya agar aku yang duduk dipisahkan meja dengannya tidak berpindah.
"Aku mohon kamu pulang sekarang, Mas...." Permintaannya dengan nada yang sudah sangat putus asa.
Aku terdiam. Menyadari bahwa aku juga tidak bisa mundur dari rencana yang sudah aku mulai, dan yang bisa aku lakukan adalah menahan diri agar tidak mendekat ke arahnya, memeluknya dan menceritakan segala yang terjadi padanya. "Aku pulang, bee."
Jeje berdiri dan mengikuti langkahku untuk keluar. Hal yang membuatku amat bersyukur karena ku pikir dia tidak akan mengantarkanku seperti biasanya. "Hati-hati, Mas." Hanya kata itu yang Jeje katakan saat aku berbalik dan menoleh ke arahnya. Tapi yang membuatku sedih adalah dia mundur satu langkah saat aku ingin mencium keningnya untuk berpamitan.
"Beee..."
"Tolong jangan hubungi aku kalo kamu belum yakin sama diri kamu sendiri, Mas."
"Aku masuk dulu, Mas." Tanpa menungguku masuk mobil, dia langsung berbalik dan menutup pintu untuk masuk ke dalam rumah. Benar-benar masuk dan meninggalkanku sendiri di balik pintu.
Walah²
Ada aja ya kendala pas mau serius 😁Yang penasaran sama kelanjutan kisah mereka, bisa langsung cus ke karya karsa ya! 😊
Udah tamat di part 65 nihBuat extra part ditunggu ya teman ❤️

YOU ARE READING
Backstreet [2]
ChickLit"Kenapa, Mas?" Tanya Jeje dari seberang telepon. Mungkin merasa heran karena tidak biasanya aku menelpon tanpa mengiriminya pesan terlebih dulu. "Mau go public, nggak?" Ujarku tanpa basa-basi sama sekali