Chapter 8

221 6 0
                                    

Iris birunya menyapu halaman belakang gereja. Beberapa pelayan yang melihatnya membungkukkan badan memberikan hormat kepada pria itu. Hanya saja sang pelaku utama yang membuatnya menginjakkan kaki di sini tidak menampakkan batang hidungnya. Bersembunyi di mana gadis itu, sampai dia tidak bisa menemukannya.

Sial!

Dia sangat marah, bahkan kedua pipinya memerah melihat bagaimana interaksi antara Alison dan Mia tadi. Kenapa mereka berdua begitu dekat? Apakah karena umur mereka yang sama membuat keduanya bisa langsung mengenal seperti itu?

Tangan besarnya menahan salah satu pelayan yang akan masuk ke dalam gereja. "Kau melihat Mia?"

Pelayan itu gugup, apalagi melihat tatapan tajam bagaikan pedang menghunus kepadanya. "Mia sedang membereskan barang-barang yang dibawa oleh Nona Renata."

"Berarti sekarang dia ada di dalam mobil?"

Anggukan kecil dari pelayan itu membuat kedua kaki panjangnya melangkah menuju tempat parkir. Dia bergerak dengan tegas, dengan kedua tangan yang melonggarkan dasi hitamnya. Dia begitu marah, karena menyadari dirinya belum sepenuhnya mengetahui semua tentang gadis itu. Contohnya, dia tidak tahu bahwa Mia sangat dekat dengan Alison.

Alison brengsek itu tidak boleh merebut sesuatu yang sangat berharga baginya.

Pria itu berlari ketika melihat Mia sedang membawa dia kardus besar. Sangking besarnya membuat tubuh mungil itu tertutup oleh barang yang sedang dibawanya. Kedua tangannya langsung mengangkat kedua kardus itu dari gadis itu.

"Kenapa kau yang bawa? Apakah keluarga Jhonson tidak mempunyai satu pun pelayan laki-laki?" ucap pria itu dengan suara dinginnya. Seingatnya dia tidak pernah menyuruh seorang wanita untuk mengangkat barang yang berat seperti ini.

Mia ingin kembali merebut kedua kardus itu hanya saja William melayangkan tatapan tajamnya yang membuat gadis itu terdiam. "Makanya biarkan saja aku yang bawa. Lagi pula kenapa kau di sini? Bukannya kau sudah resmi menjadi suami dari Renata?"

William tidak menjawab pertanyaan itu, dia membiarkan gadis itu untuk berjalan di depannya untuk menuntunnya mendekati mobil yang akan membawa barang ini.

Gadis itu membuka bagasi SUV berwarna putih dan menggeser badannya ke samping untuk memudahkan William meletakkan kedua kardus itu di sana. Dia menatap pria itu dengan tatapan intens, dari samping dia bisa melihat bagaimana tampannya William. Alisnya yang hitam, rahangnya yang tegas dan hidungnya yang mancung membuat siapa pun yang melihatnya akan jatuh hati kepada pria itu.

Termasuk dirinya....

Apakah dia sudah jatuh hati kepada pria itu?

Surasa bagasi yang ditutup dengan kencang membuat gadis itu terbangun dari lamunannya. Dia menatap pria itu, dan tersenyum tipis.

"Terima kasih atas bantuan kau. Semarang sebaiknya kau kembali, jika tidak Renata akan mencari kau."

Pria itu menggelengkan kepalanya dan menggenggam kedua tangan mungil itu dengan erat. "Ada yang harus kita bicarakan terlebih dahulu." Kemudian pria itu menarik tangan gadis itu menuju sebuah mobil yang mereka berdua tahu adalah milik pria itu.

William merogoh kunci mobil yang ada di dalam saku celananya dan membuka pintu penumpang untuk Mia. Dia tidak menerima penolakan kali ini, gadis itu harus menuruti apa yang dia inginkan.

Setelah dipastikan gadis itu duduk dengan tengah di dalam sana, pria itu menutup kembali pintu mobil dan berjalan ke belakang. Iris matanya menatap sekitar dan semuanya aman. Tidak ada satu pun orang yang memperhatikan. Dia segera masuk ke dalam pintu pengemudi dan menatap gadis itu dengan tatapan lekat.

"Jawab dengan cepat. Apa hubungan kau dengan Alison? Satu, dua." Sebelum angka tiga keluar dari mulut pria itu, Mia sudah menjawab pertanyaan aneh itu.

"Teman. Aku dan Alison teman saat Senior High School. Ada apa? Kenapa kau bertanya seperti itu?"

Pria itu menghela napas lega. Dia menyandarkan punggungnya di kursi mobil dan melepaskan rasa lelahnya setelah mengumbar senyuman kepada seluruh tamu yang hadir. Dia memejamkan kedua matanya dan tersenyum tipis ketika merasakan usapan lembut yang ada di puncak kepalanya.

"Kenapa kau tidak mau menikah denganku?" Kedua mata pria itu terbuka dan menatap iris hijau itu yang sedang membalas tatapannya.

Ketika gadis itu akan menjauhkan tangannya, William segera menggenggam tangan mungil itu dengan erat.

"Kau dan Renata sudah lama menjalin hubungan, tidak sebanding dengan pertemuanku dengan kau yang dari beberapa hati yang lalu. Rasanya tidak mungkin kalau kau langsung jatuh cinta kepadaku," jelas Mia dengan tatapan lembutnya. Dia takut jika itu hanya sekelebat rasa suka yang ada di hati pria itu, kemudian ketika cinta itu sudah memudar. William akan kembali kepada Renata dan meninggalkannya.

Namun, kedua mata gadis itu membulat ketika merasakan bibir tebal itu mengecup pipi kanannya dengan lembut.

"Kata siapa? Aku jatuh cinta kepada kau, Mia Jhonson. Kenapa kau berpikir seperti itu?"

Mendengar hal itu membuat gadis tiu terdiam. Dia sangat terkejut. Baru pertama kalinya dia menerima pernyataan cinta seperti ini. Bahkan jantungnya berdetak dengan cepat sangking gugupnya.

"Kalau kau ingin aku menceraikan Renata saat ini juga aku akan melakukannya." William tidak main-main. Dia akan mengabulkan semua permintaan gadis itu asalkan Mia bersedia untuk hidup bersama dengannya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku ingin Renata menderita," ujarnya dengan suara lirih.

"Kenapa kau ingin Renata menderita?"

Tatapan lembut gadis itu berubah menjadi penuh kebencian. "Karena selama tiga puluh tahun, hidupku menderita. Aku dipaksa untuk berada di bawah Renata, dan aku ingin gadis itu tahu bagaimana penderitaan aku dulu."

William menarik tangan mungil itu dan memeluknya dengan erat. Dia Mengelus rambut pirang gadis itu kemudian mengecup puncak kepada Mia dengan pelan.

"Tenang saja, aku akan mewujudkan keinginan kau Mia." Pria itu melepaskan pelukan eratnya dan memandang gadis itu dengan tatapan intensnya.

Jarak yang ada di antara mereka pun lama kelamaan terkikis, dan William dengan mudahnya melumat bibir itu dengan lembut. Mereka saling membagi rasa yang ada di dalam hati mereka berdua. William sangat yakin jika dia jatuh pada pandangan pertama kepada gadis itu.

Ciuman mereka pun terlepas, William kembali menjatuhkan gadis itu ke dalam pelukannya. Ada rasa yang membuncah di dalam hatinya saat dia melakukan kontak fisik dengan gadis itu.

"Apakah kau masih menstruasi?" Ini memang pertanyaan aneh. Akan tetapi dia sangat butuh jawabannya. Ini penting untuk masa depannya.

Gadis itu terkekeh pelan, dan membalas pelukan itu dengan erat. Dia bahkan tidak ragu untuk melingkarkan kedua tangannya di pinggang pria itu.

"Kenapa? Malam ini bukannya kau harus memadu kasih dengan Renata? Dia kan istri sah kau."

Pria itu melepaskan pelukan gadis itu dan menatapnya dengan tatapan mematikan. "Jangan memulainya Mia, kau tinggal jawab ya atau tidak."

Gadis itu melebarkan senyumannya, "Kau ingin aku jawab apa? Ya atau tidak?" Dia sangat senang ketika melihat raut wajah marah dari pria itu. Entah kenapa William terlihat sangat menawan jika sedang marah seperti itu.

"Mia!"

Mia tergelak dengan kencang. Kedua tangan mungilnya pun kembali memeluk pria itu dengan erat.

"Menstruasi aku sudah selesai Tuan William Poulter. Kenapa? Kau akan melakukan apa kepadaku jika sudah mengetahuinya?"

"Malam ini aku akan mengajak kau ke hotel. Bagaimana? Kau setuju bukan?"

Tentu saja Mia setuju. Jika William tidak ada di rumah ketika malam pertamanya, Renata pasti akan bersedih. Gadis itu menganggukkan kepalanya, membuat pria itu menyunggingkan senyuman lebarnya.

SELINGKUHAN CEO [PINDAH KE KARYAKARSA]Where stories live. Discover now