Chapter 9

287 6 0
                                    

Langit pun berubah menjadi gelap. Para pelayan yang masih di gereja sedang berkutat membersihkan sisa-sia acara pernikahan tadi. Meski pun tim wedding organizer sudah mengatakan akan merapikannya, hanya saja mereka tetap bersikukuh untuk membantu.

Kedua tangan gadis itu penuh dengan bunga mawar putih yang masih terlihat segar untuk dipindahkan ke sebuah plastik besar. Katanya bunga-bunga itu akan langsung dibuang karena besok semua bunga itu akan layu dan membusuk.

"Yang ini untukku saja, sayang kalau dibuang," ujarnya kepada seorang pria yang sedang memasukkan semua bunga itu ke dalam plastik.

Pria itu menganggukkan kepalanya. Membuat Mia tersenyum senang dan membawa hiasan bunga mawar merah dan putih yang berbentuk bulat itu. Hiasan itu akan dia pajang di depan pintu kamarnya. Meski pun bunga itu tetap akan membusuk akan tetapi mereka tidak bernasib buruk seperti yang lainnya. Dibuang sebelum waktunya.

Gadis itu pun melangkahkan kakinya ke luar gereja dan tersenyum lebar saat melihat Mami Bella sedang menunggunya di depan sana. Dia segera berlari dan melingkarkan tangannya di lengan wanita itu kemudian kepalanya di sandarkan ke atas bahu itu.

Mereka berdua menikmati suasana sepi ini, lalu terdengar helaan napas yang terdengar dari mami Bella. "Renata sudah menikah. Kau kapan? Mami sangat tidak sabar melihat kau berjalan di atas altar."

Mia terkekeh pelan, dan mengecup pipi itu dengan lembut. "Aku tidak akan menikah. Jika aku menikah siapa yang akan membantu mami di rumah itu?"

Mami Bella merangkul bahu mungil itu dengan lembut dan memandangnya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Jangan pikirkan Mami. Kau harus bahagia sayang."

"Sampai sekarang mami tidak mempunyai suami, dan mami tidak terlihat sedikit pun menderita. Malahan mami sangat bahagia dengan kehidupan mami saat ini."

Mia menatap wanita itu dengan pandangan serius. "Kalau mami bisa bahagia tanpa memiliki suami, aku pun bisa," lanjutnya dengan penuh keyakinan.

Mendengar hal itu membuat Bella mengusap rambut pirang itu dengan lembut. "Kalau ada seorang pria yang berhasil membuat kau jatuh cinta, maka jangan pernah melepaskannya. Mengerti?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya dan kembali memeluk wanita paruh baya itu dari samping. Ketika sebuah mobil berhenti di hadapan mereka, Mia melepaskan pelukan itu dan membukakan pintu untuk Bella.

"Malam ini aku akan tidur di luar. Temanku mengadakan ulang tahun, dan dia akan kecewa jika aku tidak datang," jelas gadis itu membuat Bella mengerti dengan situasi anaknya. Wanita paruh baya itu pun masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Mia sendirian di sana.

Setelah mobil itu keluar dari halaman gereja, dia segera berlari ke sebuah SUV berwarna hitam yang terparkir di sana. Gadis itu membuka pintu mobil dengan tidak sungkan dan tersenyum lebar saat melihat sosok pria yang tengah tersenyum lebar kepadanya.

"Aku tidak menyangka kau bisa kabur dengan lihai seperti ini," ujar Mia ketika pria itu menyalakan mesin mobilnya.

William menyeringai lebar, kepalanya berbalik ke belakang sambil memutar kemudi mobil. Iris birunya menatap lekat gadis itu, dan dengan secepat kilat mengecup bibir mungil itu. "Tentu saja. Jika kau ingin berlibur ke luar negeri bersama denganku, aku bisa mengabulkannya. Kau tidak perlu takut kepada Renata, urusan Renata biar aku yang tangani."

Mia tidak bisa berkata apa pun, dia masih sibuk menangani jantungnya yang terus berdetak dengan cepat atas apa yang dilakukan pria itu kepadanya. Ciuman singkat tadi mampu membuat kedua pipinya memanas.

Sial.

SUV berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan New York yang penuh dengan turis asing. Kemudian berbelok ke arah kanan dan berhenti di sebuah hotel bintang lima.

Dari balik jendela mobil, kedua iris hijau itu terus memandang gedung hotel yang sangat tinggi tersebut. Dia sering melewati gedung ini hanya saja baru pertama kalinya dia masuk ke dalamnya. Apakah mereka tidak akan ketahuan jika menginap di hotel ini? Bagaimana pun William adalah orang terkenal dan berpengaruh di dalam dunia bisnis.

"Apakah sebaiknya kita menginap di tempat lain? Mansion yang waktu itu kita datangi tidak ditempati oleh Renata bukan? Bagaimana jika kita menginap di sana saja?" Rentetan pertanyaan terus dilayangkan kepada pria itu ketika mobil sudah berhenti di tempat parkir. Pria itu menatap Mia dengan tatapan lekat dan mengelus rambut pirang itu dengan lembut.

"Tenang saja, tidak akan ada yang mau berurusan denganku, jika mereka berani aku akan membalasnya berkali lipat."

Meski pun begitu dia memakai topi yang ada di mobil tersebut untuk menutupi kepalanya. Dia tidak mau Renata mengetahui sebelum waktunya.

Pintu mobil pun dibuka oleh William dan mereka berjalan sambil merangkul pinggang satu sama lain. Keduanya langsung masuk ke dalam lift, pria itu sudah mengambil kunci kamar mereka dan membuat dia tidak perlu untuk mendatangi resepsionis.

Di dalam lift mereka berdua saling melumat bibir satu sama lain. Tubuh gadis itu terdorong ke belakang, menempel dengan dinding lift dan membuat pria itu terus menempelkan tubuhnya kepada gadis itu.

Bibir tebal itu terus melahap bibir mungil itu, membuat kedua tangan gadis itu menggenggam erat kaos hitamnya. Kedua matanya terpejam, menikmati setiap hisapan yang dilakukan oleh pria itu.

William bisa merasakan aroma vanila yang sangat memabukkan indera penciumannya. Seperti narkoba yang dapat membuat penggunanya kecanduan dan ingin menggunakannya berkali-kali, dia juga ingin terus mencium aroma milik gadis itu. Maka dari itu ketika ciuman mereka terlepas, dia menghisap leher jenjang itu membuat Mia mengerang dengan keras.

Bunyi dentingan lift terdengar, membuat mereka berdua melepaskan pelukan masing-masing. Mia sibuk merapihkan rambutnya sedangkan pria itu tersenyum dengan lebar.

William menggenggam tangan gadis itu dengan erat dan menariknya untuk berjalan mendekati kamar hotel yang sudah dipesan olehnya. Kedua kakinya berhenti di sebuah kamar dengan nomor 301. Kamar itu akan menjadi saksi bagaimana mereka memadu kasih malam ini. Pria itu membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke dalam.

Mia terkejut ketika masuk ke dalam sebuah kamar yang sangat pantas untuk dikatakan sebagai rumah. Ketika dia masuk, ada sebuah sofa keluarga. Lalu di ujung sana ada dapur mini dan di sebelah kanan terdapat ranjang dengan ukuran king size yang terlihat sangat empuk. Benar saja, ketika Mia duduk di atas ranjang dia bisa merasakan bagaimana lembutnya kasur ini.

Iris hijaunya membulat dengan sempurna saat melihat sebuah kamar mandi yang ada di sebelah kiri. Kedua mulutnya terbuka dengan lebar membuat William yang melihatnya terkekeh pelan.

"Aku bisa menonton secara live jika kau mandi besok," ujar pria itu sambil duduk di samping gadis itu. Tangannya merangkul pundak mungil itu membuat Mia menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu.

"Apa yang akan Renata lakukan jika kau berada di sini?" tanya gadis itu sambil mendongakkan kepalanya. Wajah mereka saling berdekatan membuat Mia bisa merasakan hembusan napas hangat dari pria itu.

William mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, mungkin sekarang di sedang menangis. Bukannya itu yang kau inginkan?"

Mia menganggukkan kepalanya, dan memamerkan senyuman lebarnya karena dia sangat senang jika Renata menderita. Gadis itu pun melingkar kedua tangannya di leher pria itu dan mengecup kedua pipi itu dengan lembut.

Kedua mata bulatnya pun menatap pria itu dengan tatapan lekat. "Karena kau sudah mengabulkan keinginanku. Maka sekarang aku akan membalasnya." Gadis itu pun melumat bibir itu dengan lembut membuat kedua mata pria itu terpejam dengan erat.

SELINGKUHAN CEO [PINDAH KE KARYAKARSA]Where stories live. Discover now