Chapter 01

1.5K 266 63
                                    

Apa kabar piasa hari pertama?

بسم الله الرحمن الرحيم
Semoga selalu mendapatkan kemudahan, kelancaran dan kekhusyukan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan ini, aamiin.

.
.
.

🍬Memulai hal baik itu perkara yang mudah, tetapi konsisten dalam segala suasana merupakan satu tantangan yang harus bisa ditaklukkan.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

"Assalatukhairumminannaum--"

Gema azan subuh terdengar nyaring yang membuat mata Asmara seketika terbuka. Bagaimana tidak bangun dari tidur, pengeras suara masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah tinggalnya itu menghadap persis ke kamarnya.

Sebal hati Asmara kepada subuh itu mengingatkan kembali kepada teman SMAnya. Anak baru ketika dia duduk di kelas tiga, Azlul Subuh. Cowok yang tiba-tiba menceramahi Asmara rentang tuntunan wanita muslimah yang mewajibkan mengenakan jilbab. Siswa baru yang tiba-tiba menjadi primadona karena membawa nama harus sekolah menjadi juara tingkat nasional dalam MTQ pelajar.

Azlul, tapi lebih famous dipanggil Subuh oleh teman-temannya. Hingga akronim baru tercipta yang membuat Asmara semakin meradang karena melibatkan dirinya, Asmara Subuh.

"Ini, bukannya segera bersiap ke masjid malah melamun di meja makan. Buruan, katanya ingin menjadi orang kaya. Mau kaya dari mana kalau selalu lewat qobliyah subuhnya!" Asmara tersentak, hampir saja dia terjatuh dari kursi yang diduduki. Namun, belum sampai Bani angkat suara lagi Asmara sudah berjalan menuju kamar mandi dan segera melesat ke masjid.

"Ikut kajian bakda subuh, Mar, jangan langsung pulang!" Lagi-lagi Asmara memutar bola matanya.

Mendekati bulan Ramadan, banyak masjid-masjid yang mulai merutinkan kegiatan keagamaan untuk masyarakat. Tak terkecuali dengan lingkungan tempat tinggal Asmara. Ramadan sebelumnya bahkan mereka menjadwalkan beberapa ulama besar untuk mengisi, entah itu kajian bakda subuh atau selepas isya. Intinya sama, ingin mengajak masyarakat untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.

"Tidak ada yang akan mengikuti kita setelah meninggalkan dunia kecuali tiga hal, ilmu yang manfaat, amalan jariyah dan doa anak saleh-saleha. Senyampang alias mumpung masih memiliki kesempatan di dunia yang nanti akan memberatkan timbangan amalan kita di akhirat." Asmara menutup matanya. Rasa kantuk menyerangnya kembali. Suara mendayu dari ustaz yang memberikan nasihat pagi ini seolah meninabobokannya kembali.

Kedua matanya baru terbuka ketika masjid telah sepi, matahari sudah mulai meninggi dan jarum jam yang ada di dinding menunjukkan bahwa dia harus ke kampus segera. Jika tidak mengingat dia sedang berada di masjid pasti sudah dikeluarkannya bahasa 'krama inggil' dari bibirnya sebagai umpatan.

"Lagian, mengapa jamaah tidak ada yang membangunkannya satu orang pun," gumam Asmara lirih.

Dia segera berdiri dan berniat menunggalkan masjid segera. Namun, langkah lebarnya terhenti ketika kedua matanya mendapati sosok yang baru tadi pagi kembali membuatnya kesal dengan hanya mengingat namanya.

"Asalamualaikum, Mara. Lain kali kalau ingin tidur di rumah saja, jangan di masjid. Kasihan kan marbutnya jika harus mengepel dan mencuci karpet karena air liurmu yang menetes." Kedua tangan Asmara terkepal. Dia tidak menyangka, empat tahun berpisah dengan laki-laki yang selalu membuat tensinya naik tanpa menunggu nanti itu tidak ada yang berubah, masih menyebalkan.

Asmara SubuhOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz