Chapter 27

1K 243 48
                                    

🍬Menua itu kepastian bijaksana adalah pilihan.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Subuh melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Asisten rumah tangga di rumah mamanya memberi kabar bahwa papanya datang ke rumah dan menghardik wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Meski tidak dengan kekerasan tapi Subuh tidak pernah rela papanya menyakiti mamanya sekali lagi.

Dia harus sampai di rumah sebelum terjadi masalah baru karena ulah papanya.

Saat sampai di depan rumahnya, kedua mata Subuh mencari mobil yang kemarin sempat dilihatnya dikendarai Gunawan. Namun, sejauh matanya memandang, dia tidak menemukan mobil yang dia maksudkan ada di sekitar rumah mamanya.

Langkah lebar Subuh langsung membawanya ke ruang tamu dan mematahkan anggapannya bahwa Gunawan telah hengkang dari rumah mamanya. Nyatanya Subuh masih melihat laki-laki itu memohon kepada mamanya untuk bersedia menerima dan membangun kembali rumah tangga mereka yang terberai.

"Nah itu Alul, beberapa hari yang lalu aku juga sudah sampaikan kepadanya tentang niat ini. Benar kan, Lul?" kata Gunawan meminta sekutu untuk bisa memenangkan kembali hati Estini.

Estini menatap kedatangan putranya dengan tenang, sampai Subuh mendekatinya dan meminta tangan kanannya untuk dicium.

"Ikuti kata hati Mama, Alul hanya tidak ingin melihat air mata Mama jatuh hanya karena sesuatu yang tidak sesuai dengan kata hati Mama," Subuh menguatkan.

"Lul, kamu ini bagaimana? Apa kamu tidak senang kalau Papa dan Mama bersama lagi?" Gunawan tidak ingin kehilangan momen untuk mengambil hati Subuh.

Subuh hanya memandang papanya dalam diam. Dia sudah kehabisan kalimat untuk menyampaikan bagaimana rasa kecewa itu masih bercokol di hatinya. Harusnya tanpa perlu bicara Gunawan sudah bisa memahami apa yang membuat putranya bermuka masam seperti itu di hadapannya.

"Papa tahu kamu masih kecewa, Lul. Tapi semua itu sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu. Dan Papa sudah menyadari semuanya."

Subuh kembali tersenyum masam. Mengapa harus menunggu sampai dengan sepuluh tahun berlalu baru Gunawan menyadari semuanya?

"Pa, memaafkan itu perkara gampang, tapi manusia bisa memilih untuk mendapatkan bahagianya sendiri-sendiri," jawab Subuh akhirnya.

"Maksud kamu apa bahagianya sendiri-sendiri?" Gunawan menantang Subuh melalui tatapannya.

"Alul lihat, Mama jauh lebih bahagia tanpa Papa, dan begitu pun Alul. Kita berdua justru semakin solid untuk saling melengkapkan." Tak kalah tajamnya, Subuh menjawab tantangan dari sang papa.

Estini hanya bisa menatap dua laki-laki yang sesungguhnya selalu ada dalam hatinya dalam porsi yang berbeda. Jika boleh membandingkan, bapak dan anak itu sama-sama keras hatinya. Namun, dia tahu putranya bisa membedakan kapan dia harus bersuara dan kapan harus diam.

"Biar bagaimanapun, kamu tidak akan bisa menggantikan sebagai Papa, Lul."

"Papa pikir hanya karena satu alasan itu lalu Mama kehilangan bahagianya?" Subuh berdeceh perlahan.

Subuh menatap Estini. Bukan dia yang berhak menjelaskan bagaimana perasaan mamanya, tetapi dia sangat berharap kali ini mamanya tidak terbujuk rayuan papanya yang mungkin akan membuat mereka kembali ke masa lalu yang sesungguhnya tidak perlu diulang lagi.

"Ma, tolong dengarkan Papa. Semakin hari kita tidak bertambah muda. Di hari tua nanti Papa hanya ingin memiliki keluarga yang utuh, menyaksikan keluarga kecil Alul dan membersamai cucu kita tumbuh."

Asmara SubuhOù les histoires vivent. Découvrez maintenant