Chapter 12

724 242 34
                                    

🍬Hal abu-abu yang dilakukan tanpa dasar dalam hidup itu ibarat menyeberang lautan tanpa kapal.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Pada hari yang ditentukan, Asmara datang ke rumah sakit hanya berdua bersama dengan ayahnya. Meski sebelum berangkat Subuh memastikan dengan menelepon ayahnya, apakah Asmara benar-benar bisa dibonceng sepeda motor. Apa tidak sebaiknya diantarkan olehnya supaya Rabani tidak kerepotan menyeimbangkan posisi selama dalam perjalanan.

Subuh sangat jelas menunjukkan rasa khawatirnya. Terlebih ketika dia mengetahui Rabani harus datang ke sekolahnya terlebih dulu karena harus melakukan presensi meskipun hari ini dia tidak memiliki jam mengajar.

"Biar saya antarkan saja, Pak. Pak Bani juga tetap ikut ke rumah sakit. Saya hanya tidak tega jika harus naik sepeda motor," kata Subuh sekali lagi sebelum menutup teleponnya.

"Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih untuk semuanya, tetapi saya sangat menjaga nama baik kalian setelah fitnah ini mereda," tolak Rabani.

"Bapak Yakin?" tanya Subuh lagi.

"Allah akan menjaga kami berdua. Mas Azlul silakan melanjutkan aktivitas hari ini," tutup Rabani.

Panggilan akhirnya benar-benar terputus dan Rabani bersiap untuk berangkat ke rumah sakit bersama Asmara.

Kabar bahagia pun membuat senyum Rabani dan Asmara tidak pernah hilang dari wajahnya. Dokter memberikan keterangan bahwa kaki Asmara telah pulih sepenuhnya, tetapi tetap belum bisa dipakai untuk berlari ke sana kemari.

"Hanya berjalan pelan yang diizinkan tanpa penyangga. Apakah tidak bisa dipakai berlari? Jawabannya tetap bisa tapi tidak untuk sekarang. Enam bulan pertama Mbak Mara harus bersabar tidak berjalan dengan cepat dan berlarian."

Mendengarkan penjelasan dokter seperti itu saja sudah membuat Asmara bahagia. Dia bisa menikmati kebebasannya tanpa harus menyusahkan Rabani setiap kali akan mandi atau beraktivitas lainnya yang harus melakukan mobilitas tinggi.

"Dengarkan itu apa kata Dokter Affandi, Mara. Harus sabar supaya bisa benar-benar pulih," tambah Rabani.

"Iya, Ayah. Mara paham kok," kata Asmara lirih.

Dokter Affandi menyerahkan tambahan resep obat yang harus ditebus oleh Asmara di apotek. Dan ketika keluar dari ruangan Dokter Affandi dia tidak lagi mengenakan kruk sebagai penyangga kaki tetapi menjinjingnya.

"Alhamdulillah, Ayah. Mara bahagia sekali. Mungkin kemarin Allah memperingatkan Asmara untuk mulai belajar bersabar sebelum menghadapi ujian."

Rabani mengusap kepala putrinya. Ramadan ini benar-benar membawa berkah bagi mereka berdua. Meskipun satu kenyataan yang selama ini selalu disembunyikan Rabani diketahui Asmara, tapi dia bersyukur putrinya banyak berubah. Sikapnya lebih halus dan penampilannya terlihat sangat menentramkan hati.

"Ayah mengapa diam saja?"

"Sudah lama kita tidak kencan bersama seperti ini. Nanti sore kamu ingin buka puasa dengan apa? Kita beli saja." Sura Rabani terdengar nyaring di telinga setelah mereka keluar dari apotek.

Asmara bahkan sampai memastikan bahwa apa yang dia dengar itu bukanlah sebuah halusinasinya.

"Kata Ayah kita harus mujhid muzhid, lagian Mara juga tidak puasa Ayah. Kita ke pasar saja, seperti biasanya Mara yang masak ya?"

Rabani tampak tersenyum lalu mengangguk dan berkata, "Sesekali menyenangkan diri sendiri itu tidak ada salahnya, Mara. Jangan salah mengartikan akronim itu. Berhemat itu bukan berarti kikir."

Asmara SubuhDove le storie prendono vita. Scoprilo ora