Chapter 26

923 256 34
                                    

🍬Berpikir menggunakan otak dan merasakan dengan hati.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Dari semua rasa yang menyebabkan kemarahan, puncaknya terjadi kala kedua mata Nurita melihat bahwa laki-laki yang dianggap calon menantu oleh mantan suaminya diperbolehkan tinggal di rumah Rabani. Nurita kembali dengan gaya angkuh nan congkak untuk melayangkan protesnya kepada mantan suami.

Mobil Subuh masih terparkir di halaman Rabani ketika Nurita datang. Dia ingin sekali mencaci laki-laki muda yang tidak tahu diri itu. Belum menikah saja sudah berani menginap di rumah yang dia sebut calon istri. Katanya ustaz tapi tidak tahu bagaimana menempatkan diri.

"Mara, Mara, keluar kamu!" teriak Nurita.

Bukan Asmara yang keluar dari rumah, melainkan Subuh yang telah bersiap dengan pakaian rapi. Pagi ini dia akan ke Dinperpa dan kembali beraktivitas seperti biasa sembari tetap mencari informasi di mana keberadaan Asmara.

"Kamu ngapain di sini? Sudah tidak punya rumah sampai harus menumpang di rumah Asmara." Nurita mencibir Subuh yang terbengong melihat kedatangannya.

"Ustaz kok kelakuannya minus! Jangan-jangan benar kamu ini yang disebut sebagai ustaz karbitan!"

Subuh hanya menggelengkan kepala sambil beristighfar berkali-kali. Rasanya percuma menanggapi orang yang tidak mengerti unggah-ungguh, tidak paham tata krama dan etika. Diamnya Subuh menandakan bahwa dia tidak mau disamakan dengan wanita yang berdiri di depannya karena menanggapi sesuatu dengan amarah.

"Nggak punya mulut, kamu? Bisu?!" sinis Nurita.

"Maaf, Tante. Tapi setahu saya orang yang baik akhlaknya itu justru lebih menghormati dirinya tanpa banyak suara. Apalagi dengan menjelekkan orang lain. Saya permisi." Subuh menganggukkan kepalanya.

"Kalau Tante Nur ingin bertemu dengan Pak Bani, beliau sudah ada di sekolah. Silakan ke sana," tambahnya.

Subuh kemudian melewati Nurita menuju mobilnya kemudian tak berapa lama dia melajukan mobilnya keluar halaman kemudian turun dan bersiap untuk menutup pagar.

"Maaf, Tante Nur mau di dalam atau ikut keluar? Pagarnya akan saya kunci sesuai dengan pesan Ayah." Subuh bersiap menarik pagar meski Nurita belum terlihat pergerakannya. Dia masih tampak terkejut dengan ucapan Subuh.

"Ayah—?" kata Nurita

Pagar nyaris tertutup sempurna, saat itulah Nurita tersadar dia harus segera pergi. Sepertinya calon suami putrinya ini tidak akan pernah bisa diajak kompromi. Sama seperti mantan suaminya, Subuh sangat berbeda dari papanya sendiri yang Nurita kenal dulu.

"Saya tidak mencari Rabani. Saya ingin bertemu dengan Asmara. Di mana dia?"

Subuh menatap Nurita sejenak lalu tersenyum dan berkata dengan lembut.

"Sebaiknya Tante Nur bicara dengan Ayah dulu, nanti beliau pasti akan menyampaikannya dengan baik. Maaf, saya benar-benar harus pergi, asalamualaikum."

Subuh kemudian masuk ke mobil dan melajukannya menjauhi Nurita berdiri.

Tidak ada pilihan lain bagi Nurita. Dia harus menemui Rabani di sekolahnya. Senyampang belum terlambat, wanita itu harus menghalangi rencana pernikahan Asmara dengan anak dari orang yang telah membuatnya menjadi janda. Sampai mati pun dia tidak akan pernah rela.

"Aku sumpahi kamu, kalau sampai menikahi putriku, seluruh keluargamu tidak akan pernah menemui kebahagiaan dalam hidupnya." Nurita kemudian memesan ojek online yang bisa mengantarkannya ke sekolah tempat mantan suaminya mengajar.

Asmara SubuhWhere stories live. Discover now