Chapter 6

791 242 29
                                    


🍬Sahabat itu adalah seseorang yang ada di samping kita saat hati sedang sedih atau bahagia, saat hidup kita berada di bawah atau di atas.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Pagi ini Asmara harus ke kampus. Rengganis bilang jadwal sidang skripsi sudah keluar di akademik dan namanya ada di antara sepuluh mahasiswa yang harus bersiap untuk mempertahankan karya tulis yang telah diselesaikan di depan dosen penguji.

Asmara harus beberapa kali mengoleskan concealer di bawah matanya untuk menutupi bekas air mata yang dari semalam mengalir tanpa henti. Ingatannya kembali pada peristiwa kemarin sore.

Subuh membersamainya sampai di depan pintu pagar rumahnya. Beruntunglah para tetangga sedang sibuk menikmati santapan buka puasa sehingga tidak ada yang sempat melihat mereka jalan berdua meski hanya beriringan dan tanpa berbicara sepatah pun kata.

"Masuk rumahmu, Mara. Selamat berbuka puasa." Lalu Subuh meninggalkannya tanpa menunggu jawaban.

"Asalamualaikum."

Asmara kembali meraba hatinya. Apakah dia baik-baik saja dari semalam? Perlakuan manis yang ditunjukkan Subuh seolah tanpa beban tetaplah memberi dampak yang begitu berarti untuk gadis yang kini sedang berdiri di garis kebimbangan hati.

Apakah aku pantas mengharapkan sesuatu yang terlalu berlebihan untuk menggenapkan rasa di dalam hatiku? Otak waras Asmara masih bisa berpikir dengan jernih.

Kendatipun demikian, hatinya masih menyangkal. Untuk apa Subuh selalu berusaha melindunginya, mengingatkan setiap hal baik yang seharusnya Asmara lakukan, bahkan menasihatinya saat dia melakukan kesalahan. Bukankah semua itu adalah bentuk perhatian karena sebuah rasa sayang? Lalu rasa sayang yang seperti apa yang Asmara harapkan darinya?

"Astagfirullah." Asmara menggeleng perlahan. Dia harus bergegas berangkat ke kampus meski kegalauan masih menggelayung di pikirannya.

Banyak hal yang harus dia selesaikan hari ini untuk meraih masa depannya yang lebih baik.

"Ayah, Mara berangkat ke kampus," pamit Asmara ketika sang ayah juga bersiap berangkat ke sekolah.

"Lho tumben berangkat pagi," kata Rabani.

Meski hubungan keduanya sudah banyak mencair, tetapi Asmara juga belum bercerita apa pun tentang kegamangan hatinya kepada sang Ayah. Dia tidak ingin dicap sebagai wanita yang tidak tahu diri dan terlalu besar harapan dengan mengharapkan seorang ustaz mencintainya.

"Iya, semalam Gani telepon katanya jadwal sidang skripsi Mara sudah keluar di akademik," jawab Asmara sambil mengenakan kaus kaki dan sepatunya.

"Wah sebentar lagi anak Ayah akan menjadi sarjana." Rabani tersenyum bangga.

"Doakan semuanya lancar, Yah." Asmara meminta tangan kanan ayahnya lalu bergegas menuju garasi rumahnya untuk mengambil sepeda motor.

Asmara tiba di kampus ketika masih sepi. Hanya beberapa mahasiswa angkatan baru yang memiliki kelas padat mulai berdatangan untuk masuk ke kelas. Langkah Asmara semakin cepat menuju ke akademik ketika dia telah selesai memarkirkan sepeda motornya di parkiran. Meski dengan mengenakan rok panjang, Asmara masih bisa leluasa berjalan dengan langkah lebar. Penampilan barunya tidak membuatnya harus bolak-balik berdiri di depan cermin untuk mematut penampilannya. Dari dulu dia selalu tampil apa adanya.

"Bu Yuli masih belum datang ternyata." Asmara segera melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Ya Allah, ternyata memang belum waktunya akademik buka. Mungkin akunya yang terlalu bersemangat datang pagi ini." Asmara memutar langkah.

Asmara Subuhحيث تعيش القصص. اكتشف الآن