Chapter 33

567 158 9
                                    

Karena cinta dan keterpautan hati yang mustahil untuk dibohongi. Langkah kaki Subuh membawanya menapakkan kembali jejak di ibu kota negara tercinta setelah memastikan kondisi kesehatan Rabani stabil dan bisa ditinggal mungkin dalam waktu yang lumayan lama. Berbekal dari alamat yang diberikan mamanya, Subuh mendatangi sebuah rumah mewah yang terlihat sangat sepi.

Beberapa kali dia menekan bel yang tersedia di samping pintu gerbang pagar yang membentengi rumah mewah itu. Namun, tidak seorang pun yang keluar untuk menerimanya sebagai tamu. Akhirnya Subuh menunggu di bawah pohon yang ada di dekat rumah itu sampai ada sebuah mobil masuk barulah Subuh mendekat dan memencet bel lagi.

"Maaf, kediaman Bapak Zulkarnain Hamzah?" tanya Subuh kepada perempuan baruh baya yang membukakan pintu untuknya.

"Benar, Pak," jawabnya dengan sopan.

"Apakah Bapak Zulkarnainnya ada?" Sekali lagi Subuh bertanya.

"Sudah membuat janji bertemu dengan beliau?"

Subuh sedikit terkejut mendengarnya, sepenting apakah orang yang bernama Zulkarnain Hamzah ini, hingga untuk bertemu saja harus membuat janji terlebih dulu.

"Jika tidak membuat janji dulu apakah tidak bisa bertemu beliau?" Subuh tidak patah semangat.

"Saya tanyakan dulu, apakah beliau bersedia menemui atau tidak."

Belum sampai bibir Subuh terbuka untuk menjawabnya, pintu gerbang yang ada di depannya sudah tertutup kembali. Helaan napas membuatnya harus kembali mengejawantahkan kata sabar.

Terik yang sedari tadi seolah membakar kulitnya tidak Subuh hiraukan karena keinginan untuk bisa bertemu dengan sang pujaan hati tak bisa ditundanya lagi.

Akhirnya Subuh bisa bernapas dengan lega setelah dia dipersilakan masuk tapi harus meninggalkan tas yang dia bawa di luar rumah.

"Meski di luar rumah tapi aman kok, Pak," kata wanita yang membukakan pagar dan mempersilakan Subuh masuk.

Benar-benar bertemu dengan orang besar, pikir Subuh dalam hatinya. Walau sudah dipersilakan masuk, dia masih harus menunggu orang yang dimaksud menemuinya di ruang tamu.

Sosok yang mungkin dimaksudkan Subuh berjalan mendekatinya. Meski terlihat tersenyum padanya tapi kewaspadaan jelas sekali terasa karena dia berusaha tetap menjaga jaraknya dengan orang yang baru saja dilihatnya.

"Maaf, jika saya menganggu waktu istirahat Bapak. Perkenalkan nama saya Alul." Subuh langsung memperkenalkan diri untuk mengurangi kecanggungan di antara mereka.

"Saya Zulkarnain Hamzah." Papa Lulu menyambut uluran tangan yang diangsurkan Subuh padanya. "Kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa Mas Alul menemui saya. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya papa Lulu.

Subuh tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.

"Kita memang belum pernah ketemu sebelumnya, Pak Zul. Namun, saya yang lebih tepatnya ingin menemui Anda untuk menanyakan sesuatu."

Kening papa Lulu berkerut mendengar penuturan pemuda yang duduk berhadapan dengannya.

"Sebenarnya saya adalah putra dari salah satu founder rumah kanker yang beberapa waktu lalu Anda kunjungi bersama keluarga," jelas Subuh.

"Lalu pertanyaan apa yang membawa Anda jauh-jauh datang ke Jakarta untuk bertemu dengan saya?"

Subuh menghela napasnya sejenak sebelum berbicara maksud kedatangannya bertamu lalu menatap papa Lulu.

"Ini tentang Asmara," jawabnya dengan tegas dan lugas.

"Asmara?" kata papa Lulu mengembalikan pertanyaan itu pada Subuh.

Asmara SubuhWhere stories live. Discover now