Chapter 21

699 244 15
                                    

🍬Pernikahan itu adalah mengawinkan dua keluarga bukan hanya dua hati yang saling mencinta.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Ketakutan di hati Asmara semakin terasa saat beberapa kali dia melihat sang ayah hanya diam, termenung dan sesekali menyeka air matanya. Meski tanpa suara, Asmara mengerti semua itu pasti dikarenakan kemunculan mamanya secara tiba-tiba dan menghadirkan fakta ada hubungan apa keluarganya dengan keluarga Subuh sebelum ini.

Menikah itu hakikatnya adalah menyatukan dua keluarga. Membuat yang belum kenal menjadi kenal, membuat orang lain menjadi saudara. Namun, yang menjadi masalah adalah karena sesungguhnya antara dua keluarga mereka sejak awal dikenalkan dengan kondisi yang kurang mengenakkan.

"Kalau Ayah keberatan, tidak perlu dipaksakan. Mara harus belajar ikhlas untuk melepaskan apa yang sesungguhnya belum dimulai." Mara mendatangi ayahnya sambil membawakan teh hangat untuk laki-laki itu.

"Asmara—!"

"Mara takut, Ayah," sesal Asmara.

"Lebih tepatnya Mara malu pada keluarga Subuh. Entah cerita siapa yang benar. Andai pun itu cerita Mama rasanya hubungan yang dibangun dari ketidakberesan hubungan sebelumnya rasanya tidak akan mudah dan tidak akan membawa kebaikan." Asmara meminta pendapat ayahnya melalui tatapan mata.

"Mumpung belum terlambat juga." Asmara lalu menundukkan mukanya. Jemarinya tampak lebih asyik untuk diperhatikan.

Rabani masih belum mengambil suara. Kebungkamannya semakin membuat hati Asmara semakin yakin untuk membatalkan lamaran Subuh. Bahkan sampai dengan dia berniat untuk kembali meninggalkan ayahnya, laki-laki paruh baya itu masih terdiam.

"Ayah tidak pernah tahu apa rencana Allah dibalik semua cerita hidup kita, Mara. Maafkan Ayah." Setelah mengucapkan itu Rabani justru yang pergi meninggalkan Asmara di kursi ruang tamu.

Angan Asmara mengembara, menghubungkan satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Mulai dari perkenalannya dengan Subuh, hingga kedekatannya satu bulan terakhir yang membuat otaknya mencoba berpikir dengan jernih.

Mengapa dia terlalu cepat jatuh hati dan memutuskan? Sementara Asmara sama sekali tidak tahu latar belakang keluarga Subuh. Hanya karena dia tahu bahwa Subuh bersikap baik kepadanya, kepada ayahnya, serta ucapan pahit madu yang selalu menentramkan hati ketika memberikan tausiah di masjid.

Terlebih saat tahu bagaimana perlakuan keluarganya, pamannya yang sangat mendukung Subuh untuk segera menghalalkan Asmara menjadi miliknya. Pun dengan sikap mamanya yang tidak ada cela di mata Asmara.

"Mbak Mara baik-baik saja, kan?" Suara Rubina terdengar di ujung telepon yang baru saja menghubungkannya dengan Asmara dalam percakapan.

"Baik, Bin." Jawaban singkat Asmara lebih berarti karena dia merasa malu.

"Mas Alul memintaku untuk menghubungi Mbak Mara, karena sedari tadi pesan dan telepon dari Mas Alul diabaikan." Rubina memberondong Asmara dengan pertanyaan.

"Kalau Mbak Mara di rumah, Abi ingin ke rumah Mbak Mara. Ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan."

"Maaf, Bin, tapi kalau untuk hari ini aku nggak bisa. Besok ya, atau nanti aku hubungi lagi. Tolong sampaikan kepada Pak Rustam," jawab Asmara.

"Please, Mbak."

Tak pantang menyerah, Rubina mengejar Asmara sampai gadis itu bersedia bertemu dengan orang tuanya. Pokok bahasan yang akan dibicarakan memang tidak jauh dari pertemuan Estini dan Nurita di pernikahan Rengganis. Tanpa dikatakan pun sesungguhnya Asmara sudah bisa menduga. Namun, dia masih belum siap untuk bicara. Meski dia tahu waktu tidak mungkin berjalan mundur untuk menghapus semua yang telah terjadi. Asmara harus menghadapi semuanya.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang