Chapter 11

742 245 34
                                    

🍬Jujur pada diri sendiri itu jauh lebih dari pada membohongi hati.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Kegamangan hati yang senantiasa melanda jiwa. Sepertinya kalimat yang kini sedang mempengaruhi emosi Asmara, dia menjadi ragu untuk melangkah. Terlalu menjelimet perhitungan yang dilakukannya, sampai-sampai dering telepon genggam yang terdengar berulang kali dihiraukannya.

Rabani yang telah bersiap berangkat ke masjid terkejut saat melihat Asmara yang sedang termenung membuka buku tapi luput membacanya. Sepertinya anak gadisnya sedang melamunkan sesuatu.

"Mara, sudah jam lima kok kamu masih di rumah?" tanya Rabani.

Hari ini memang tidak ada jadwal buka bersama tetapi tausiah menjelang azan Magrib tetap dilakukan. Jamaah yang datang juga tidak kalah banyaknya dengan saat disediakan buka bersama. Intinya masyarakat berlomba untuk mendapatkan penyegaran qolbu dengan nasihat yang disampaikan menjelang berbuka puasa.

Mara sedikit berjingkat mendengar suara Rabani tetapi dia bisa segera menyembunyikan keterkejutannya. Dia beranjak lalu tersenyum menatap ayahnya.

"Mara sedang berhalangan, Ayah. Jadi tidak puasa dan sebaiknya memang tidak datang ke masjid."

"Tidak ada salahnya mendengarkan tausiah, Mar. Meski kamu sedang berhalangan, kamu bisa duduk di beranda. Ingat, Allah akan melipatgandakan satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan saat Ramadan. Jangan menjadi orang yang merugi karena meninggalkan kebaikan itu." Rabani mengusap kepala Asmara.

"Bersiaplah, Ayah akan menunggumu," lanjutnya.

"Tapi, Yah—" Asmara berkelah.

Tidak ada jawaban, tapi Rabani menatap putrinya dengan sarat tidak menerima penolakan. Dia tetap bergeming sampai Asmara beringsut dari tempat duduknya.

"Setelah tausiah, Mara langsung pulang ya, Yah? Kan, Mara tidak salat Magrib." Sebenarnya itu hanyalah alasan Mara supaya tidak bertemu dengan Subuh.

Meski baru saja terbangun kedekatan antara mereka, Rabani bukanlah sosok orang tua yang abai terhadap putrinya. Hingga perubahan ekspresi yang sangat tipis dari wajah Asmara pun sampai ke penglihatannya. Dia paham jika Asmara sedang menghindari sesuatu, yang tidak Rabani pahami adalah hal apa yang membuat Asmara menjadi enggan ke masjid padahal sebelumnya dia telah berjanji untuk menjadi anak baik yang amanah dalam menjalankan semua tugasnya.

Rabani tahu persis perangai Asmara dari kecil, dia hafal Asmara tidak akan lari dari tanggung jawab. Meski dulu selalu bicara seolah-olah melawannya tetapi ketika tanggung jawab itu diberikan, Asmara selalu berhasil menyelesaikan dengan baik. Kecuali nasihat Rabani mengenai jilbab yang harus dikenakan muslimah.

"Kamu ada masalah dengan siapa? Kalau Ayah perhatikan sepertinya kamu sedang menghindari sesuatu," tebak Rabani saat mereka berjalan menuju masjid.

Dua hari lagi perban kaki Asmara akan dibuka, dia sudah mulai bisa berjalan normal tetapi Rabani tetap meminta Asmara mengenakan kruk-nya.

"Lusa Ayah kan yang mengantarkan Mara ke rumah sakit? Mara sudah bisa kok dibonceng dengan sepeda motor," kata Asmara mengalihkan topik pembicaraan.

"Kalau bukan Ayah siapa lagi, Mara?" Rabani tertawa lirih. Namun, setelahnya dia menyadari sesuatu. Rabani menoleh pada Asmara. Melihat perubahan yang mungkin ada di wajahnya.

Saat Asmara juga menatap padanya, barulah Rabani menyipitkan mata untuk bertanya lebih lanjut.

"Atau kamu ingin diantarkan Mas Azlul ke rumah sakit?"

Asmara SubuhWhere stories live. Discover now