Chapter 03

893 244 56
                                    

Bagaimana puasa ketiga?

.
.
.

🍬Terkadang bercermin membuat kita sadar bahwa hidup pun tidak selalu benar.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Sejak kejadian sore itu, Asmara menjadi segan bertemu dengan Subuh. Terlebih saat memasuki hari pertama bulan puasa. Rasanya rasa malu itu semakin bertumpuk ketika dia selesai mendengarkan teman SMAnya ini mengisi pengajian bakda Subuh. Meski bibirnya menyerukan permusuhan tetapi hatinya mengingkari saat telinganya mendengarkan nasihat pagi ini dengan jelas.

Pantas saja jika masyarakat mengelukan namanya sebagai dai muda yang berbakat karena ceramahnya yang mengajak tanpa bermaksud menggurui atau menghakimi. Bahasanya lugas dan mudah dipahami, contohnya langsung dari apa yang pernah Rasulullah lakukan semasa hidupnya dengan landasan dalil yang pas. Tidak dikurangi dan tidak dilebihkan.

Asmara tersenyum kaku, malu yang akhirnya membuatnya enggan mengikuti acara selanjutnya. Selain karena dia menukar oksigen yang ada di dadanya. Rasanya masih sesak karena rasa malu.

"Mbak Mara, nggak ikut bakti remaja Ramadan?" tanya Rubina.

"Aku absen dulu ya, Bin. Masih ada perlu." Asmara segera bergegas keluar masjid sebelum menerima pertanyaan yang sama dari yang lainnya.

Menyisir jalanan desa setelah salat subuh, sembari menanti matahari terlihat sempurna. Entahlah, seperti budaya tidak tertulis. Setiap bulan Ramadan tiba, jalanan menuju ke area persawahan ini menjadi ramai. Beberapa anak-anak bahkan orang dewasa ada yang membawa petasan untuk meramaikan suasana. Muda-mudi pun banyak yang bergerombol, bercerita sambil tertawa bahagia.

Bukan hanya warga desa tempat tinggal Asmara, tetangga desa pun jadi ikut menyemarakkan euforia pagi Ramadan yang terkenal dengan sebutan asmara subuh itu.

Asmara bukan ingin ikut dalam kehebohan mereka, dia hanya ingin menghirup udara pagi di jalanan area persawahan. Sambil membakar kalori ringan dengan berjalan santai.

Mentari sudah menggeliat, hingga pandangan mata Asmara tidak lagi terhalang oleh temaram. Beberapa orang juga sudah membubarkan diri. Dalam hati, Asmara berkata, masih sama seperti Ramadan sebelum-sebelumnya. Sebenarnya apa esensi Ramadan menurut mereka? Apakah hanya ajang untuk bersenang-senang setelah subuh tiba hingga matahari terbit saja? Bukankah harusnya waktu ini waktu yang mustajab untuk melakukan doa keselamatan?

Asmara mulai meraba dirinya. Bertanya pada hatinya dengan pertanyaan yang sama. Dia mulai mengusap kepalanya yang masih terbuka.

"Ya Allah, apakah puasaku tidak akan Engkau terima karena aku tidak menggunakan penutup kepala sebagai perintah-Mu menutup aurat?" Asmara menundukkan kepala. Dia berjalan lunglai di tepi jalan. Semuanya salah, dia tahu sebagai muslimah dia harus menutup auratnya.

Jika pada awalnya dia mencari udara segar untuk membuat rongga dadanya bisa bernapas lega, tetapi ternyata keputusannya salah. Semakin dia berpikir tentang salah-salah yang telah dia lalui, semakin sesak bergelung dalam dadanya. Hingga suara jeritan keras bersamaan dengan suara benda jatuh menyapa perungunya.

Kepala Asmara terangkat, mencari sumber suara. Sawah baru saja ditanami hingga kedua matanya bisa leluasa memandang sampai batas terjauh akomodasinya. Bibirnya bergetar mengucap istighfar ketika matanya menangkap bayangan dua sosok manusia yang terjerembap di atas sawah. Mukanya penuh dengan lumpur, sampai-sampai padi yang baru tumbuh rusak tertimpa tubuh keduanya. Ditambah lagi sepeda motor yang menimpa tubuh mereka.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang