Chapter 31

682 142 12
                                    


Tidak bisa lama, sepertinya kepulangan Asmara memang hanya memastikan kondisi Rabani lalu dia harus kembali ke ibukota kembali untuk merampungkan semua urusannya. Ketika Asmara tiba di ruang perawatan, ayahnya sedang sendiri di kamar. Di lengan kirinya terpasang selang yang mengalirkan cairan infus ke tubuhnya.

"Mara—" Mendengar pintu terbuka dan sosok gadis yang selalu dirindukannya berdiri tegak di sana, spontan bibir Rabani terbuka untuk menyuarakan nama putrinya.

"Ayah—" Air mata Asmara tidak lagi bisa dibendung. Tubuhnya membungkuk menelangkup Rabani yang terbaring lemah di ranjang.

"Apa yang terjadi dengan Ayah?" tanya Asmara setelah dia puas menumpahkan perasaan rindunya pada Rabani.

"Hanya pusing saja, Mar. Tapi Mas Alul nggak mau ambil risiko, akhirnya Ayah malah opname di rumah sakit."

"Subuh? Di mana dia sekarang, Yah?" Asmara mencari-cari sosok laki-laki yang kini dekat dengan ayahnya.

Rabani menatap putrinya, dia sangat tahu bagaimana Asmara. Dari sorot matanya saja gadis itu terlihat sangat merindukan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Sayangnya dia terlalu berkeras hati untuk tidak melibatkan Subuh dalam menyelesaikan masalahnya dengan Nurita.

"Seminggu yang lalu mamamu ke rumah menemui Ayah," cerita Rabani.

"Mama?" Asmara mendesah pelan. Rasanya kata sabar harus selalu ada dalam hati mereka ketika membicarakan wanita yang harusnya dimuliakan itu.

"Untuk apa lagi menemui Ayah? Mara sudah janji dan kemarin sudah mengirimkan uang padanya, Yah," jawab Mara setengah kesal.

"Dari awal Ayah sudah bilang padamu, Mara. Nggak perlu memberi hati kepadanya. Ayah sudah melakukan berulang kali dulu. Mamamu nggak akan berubah, daripada nanti kamu yang akan sakit sendiri, Mara."

"Tapi Mara nggak ingin Mama selalu menindas Ayah."

"Lebih baik kamu memikirkan masa depanmu dengan Mas Alul. Ayah ada tabungan yang bisa kamu pakai untuk kalian."

Asmara menggelengkan kepalanya. Sejak tahu cerita yang sebenarnya, sejak itu pula dia tidak lagi ingin membahas lagi masalah keuangan yang dulu selalu dia jadikan masalah.

"Milik Ayah ini nantinya menjadi milik kamu juga, Mara." Rabani menatap putrinya.

"Kamu berhak untuk bahagia," lanjutnya sembari menggenggam kembali jemari putrinya.

"Lupakan saja pemintaan mamamu yang nggak masuk akal itu. Harusnya sebagai orang tua, dia yang harus membahagiakanmu bukan malah meminta-minta seperti ini." Rabani berkata sedikit keras.

Asmara kembali menunduk memeluk laki-laki yang telah menjadi superhero dalam kehidupannya selama ini. Jika kini dia bersikeras untuk melakukannya sendiri itu tidak lebih karena Asmara ingin menunjukkan kepada mamanya bahwa dia memiliki harga diri yang tidak bisa diinjak-injak oleh Nurita.

"Eh tapi ngomong-ngomong, kok kamu tahu kalau Ayah ada di rumah sakit?" Rabani mengusap lelehan air mata Asmara yang masih tertinggal di pipinya.

Asmara tersenyum, lalu mengucapkan bahwa kemarin dia sempat menelepon ayahnya tetapi Subuh yang mengangkat dan memberitahukan bahwa sang ayah sedang di rawat di rumah sakit ini.

"Jadi kalian sudah saling berkomunikasi?" Rabani kembali antusias.

Lagi-lagi Asmara menggelengkan kepalanya. Andai pun sekarang Subuh tiba-tiba ada di antara mereka Asmara masih bingung harus berkata apa.

"Mara masih malu menghubungi Subuh, Yah," kata Asmara.

"Kamu ini ya aneh, Mas Alul itu calon suamimu. Sudah sepatutnya kalau kalian itu saling terbuka. Karena nantinya kamulah yang akan menjadi rumah dan tempat paling nyaman baginya berkeluh kesah demikian juga sebaliknya."

Asmara SubuhWhere stories live. Discover now