Episode. 7

273 29 1
                                    

Dengan wajah yang tampak pucat dan lingkaran hitam yang menyelebungi kedua bawah matanya, Shanin tidak begitu peduli lagi dengan penampilannya sekarang. Ia terus berjalan menelusuri koridor setiap fakultas yang ada hanya demi bertemu dengan seseorang yang membuatnya stress dalam dua hari belakangan ini.

Sejak dua hari yang lalu, Tigra tidak menghubunginya sama sekali. Saat ia datangi ke rumah atau apartemennya pun tidak ada yang tahu pasti Tigra berada di mana. Bahkan ketika Shanin bertanya pada teman akrabnya Tigra juga tidak ada yang tahu pasti keberadaannya dimana.

Dan sekarang, untuk ketiga kalinya, Shanin mencoba untuk mendatangi fakultas teknik mesin kembali ---yang sebenarnya sangat jarang ia datangi karena biasanya ada banyak anak laki-laki yang berkumpul--- hanya untuk meminta pertanggungjawaban dari laki-laki yang sudah bersamanya selama hampir 9 tahun itu. Dihitung sejak pertama kali mereka bertemu, memang sudah selama itu mereka saling mengenal. Meski tak ada yang pernah mengungkapkan perasaan masing-masing, tapi keduanya seakan tahu kalau mereka memang saling membutuhkan satu sama lain.

Status memang tidak ada dalam hubungan keduanya. Namun melihat dari waktu yang berjalan hampir satu dekade itu, sudah dapat dipastikan keduanya memiliki hubungan serius walau tanpa ikatan di dalamnya.

Dan selama itu pula, tentu tidak ada segala sesuatunya yang berjalan dengan mulus. Mereka cukup sering bertengkar. Berhari-hari bahkan berminggu-minggu tidak saling sapa. Namun seiring berjalannya waktu, mereka pun kembali berbaikan dan balik seperti biasa.

Dan untuk pertama kalinya, sebuah kejadian fatal terjadi. Itu adalah apa yang membuat tampilan Shanin sekacau saat ini.

"Yo! Hari ini Tigra masuk, nggak?" tanya Shanin pada Friyo yang sedang sibuk baca novel sambil ngemil cakwe.

"Tadi sih gue lihat dia masuk ke ruangan theater, Shan." jawab Friyo dengan cepat.

Shani menghela napas lega karena akhirnya ia bisa bertemu dengan Tigra kembali.

"Oke. Makasih, Yo." - Shani.

"Sama-sama. Hati-hati, Shan." sahut Friyo dengan melirik sebentar pada muka Shanin yang kelihatan kayak orang sakit.

Shanin hanya mengangguk seraya berjalan keluar kelas menuju ruangan yang dimaksud Friyo.

Ruangan theater cukup gelap. Hanya ada beberapa lampu yang menyala. Disalah satu bangkunya, ada Tigra yang tengah duduk sambil melamun.

"Tigra!" panggil Shanin ketika beberapa langkah lagi tiba di samping Tigra.

Tigra yang tak menduga akan didatangi Shanin itu langsung terperanjat kaget di tempatnya.

"Astaga, Shan. Kamu ngagetin aku aja." ucapnya dengan mengusap pelan dadanya.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." kata Shanin yang telah berdiri di samping Tigra. Sesaat kemudian ia duduk di sebelahnya.

"Eh, kamu kok pucat banget. Kamu sakit?" tanya Tigra dengan meletakkan telapak tangannya di dahi Shanin. "Kamu demam. Mau aku anterin ke klinik kampus dulu?" ucap dan tanyanya kemudian. Matanya jelas memancarkan kekhawatiran.

"Aku nggak apa-apa. Kamu kemarin kemana aja?" tanya Shanin dengan tatapan penuh menyelidik.

"Aku? Aku...." Tigra tak langsung menjawab. Ia tampak berpikir dalam beberapa saat.

"Aku harap kamu tidak pernah berbohong sama aku, Gra." ucap Shanin dengan agak sedikit ada tekanan dalam kalimatnya.

"Aku emang nggak pernah bohong sama kamu, Shan. Aku cuma mau healing aja kemarin dari aktivitas kampus yang padat. Aku pergi ke gunung. Aku hiking sama anak-anak pecinta alam." jawab Tigra jujur. "Maaf ya nggak sempat ngasih tahu kamu. Soalnya pas mau bilang ponselku lupa dicharge. Mau pake ponsel teman aku tapi aku nggak hapal nomor kamu." lanjutnya dengan cengengesan.

Shanin memperhatikan mata Tigra. Sudah hampir satu dekade mereka bersama. Tatapan Tigra masih tetap setulus biasanya. Dan Tigra memang sepelupa itu dalam mengingat angka. Entah apa yang bisa membuatnya mampu masuk kedalam jurusan teknik mesin. Mungkin modal peruntungan?

"Nah, kamu ada apa nyamperin aku kemari? Kayaknya kamu lagi sakit, deh. Kita ke klinik dulu, ya. Aku temenin." kata Tigra dengan menyentuh lengan Shanin.

"Aku hamil." ucap Shanin dengan suara lirih nyaris ingin menangis.

"Hah? Kamu ngomong apa barusan?" tanya Tigra. "Kamu ngomongnya pelan banget."

Shanin menghirup napas lebih banyak, sebelum akhirnya menatap mata Tigra dan memantapkan hatinya untuk bicara jelas.

"Aku hamil."

"...."

Tigra terdiam. Ia mematung dengan menatap Shanin dengan tatapan seperti tidak percaya dan tidak mungkin.

"Kamu tahu kan kalau aku selama ini berhubungan badan cuma sama kamu doang." kata Shanin lagi.

Tigra masih diam tanpa suara.

"Aku mau kamu tanggung jawab, Gra." pinta Shanin dengan tatapan putus asa. "Nikahi aku sekarang sebelum----"

"Aborsi dia. Kamu harus gugurkan---"

Plak!

Shanin memberikan tamparan telak di pipi kanan Tigra sampai ujung bibirnya mengeluarkan darah.

"Bisa-bisanya kamu ngomong begitu setelah apa yang sudah kita lakuin bareng-bareng!? Dia nggak salah apa-apa, Gra!" sentak Shanin dengan matanya yang sudah memerah.

"Shan, ini nggak bisa, Shan. Aku nggak--- kamu yakin cuma sama aku doang? Aku lihat kamu kan juga dekat sama Riyo." tuding Tigra dengan jenis tatapan seperti menolak pertanggungjawaban.

Shanin menghela napas dengan kasar. "Jaga bicara kamu ya, Tigra. Aku nggak seperti wanita yang kamu pikirkan. Aku tahu ini juga salah aku, kenapa bisa-bisanya aku kebobolan waktu itu. Tapi itu semua juga nggak akan terjadi kalau kamu----"

"ARRRGGGHH!!! BRISIK ANJ***!! Lo itu cewek ja**ng yang cuma ngancurin hidup gue doang tau nggak!! Bang***!!!" seru Tigra menggebu-gebu sambil menendangi bangku teather hingga patah. Shanin yang baru pertama kali melihat Tigra mengamuk seperti itu sontak terdiam dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.

"Aku akan tanggung jawab." kata Tigra yang membuat Shanin menoleh dengan tubuh bergetar hebat. "Tapi dengan cara membawa kamu ke tempat aborsi. Aku akan cari tempat itu nanti. Jangan ngomong ke siapa-siapa soal ini. Awas kamu!" ucap Tigra lagi dengan mengambil jaketnya yang tergeletak disalah satu bangku, lalu kemudian meninggalkan Shanin yang masih menangis dalam diam dengan tubuh gemetar hebat. Ia berusaha meremas perutnya merasa tidak terima sekaligus kasihan pada nasib cabang bayi yang ada didalam perutnya. Karena mau bagaimana pun, anak yang ada dalam perutnya itu tidak bersalah. Itu murni kesalahan mereka berdua.

•••





Ditulis, 12 Oktober 2022

Perahu Kertas - The Story Of After Rain 2 [Reinkarnasi] || 48 {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang