Prolog

428 23 0
                                    

Perjalanan mengitari setiap sudut Kota Inglewood, rupanya tak seburuk yang dipikirkan. Escape campervans dan Ladera park cukup menjadi destinasi liburan keluarga yang menarik, apalagi diakhiri dengan turunnya salju yang mulai padat di jalanan.

Lampu kelap-kelip menghiasi Ladera Park Ave, mengakibatkan salju mengilap bak permata bening.

Di tengah hiruk-pikuk kota dengan lalu lalang kendaraan, sebuah Ford Escape membawa lima orang yang duduk diam tanpa obrolan. Pemandangan turunnya salju mungkin lebih menarik.

Gray, anak laki-laki yang duduk di bagian kursi penumpang, mengusap kedua lengan yang masih terasa dingin, meskipun jaket tebal sudah menutupi tubuh. Ia tak sabar tiba di rumah, lalu duduk di depan api unggun bersama hunter, anjing jenis redbone coonhound kesayangannya.

Angin bertiup kencang, membawa dedaunan beterbangan, hingga setangkai daun tak sengaja terjebak di jemari mungil Gray, yang dengan sigap ia genggam.

"Don't take off your gloves, kid." pinta Alexandra, ibu Gray, "You'll get sick if exposed to cold air!"

"No, Mom!" balas anak kecil itu dengan mata terpejam ketika angin bertiup semakin kencang. Embusan angin itu membuat beberapa pejalan kaki berlari pelan di tengah hamparan salju, karena udara begitu dingin hingga tubuh mereka meremang. Gray tak sengaja melihat seorang anak perempuan tengah menggigil di depan Marshalls department store, kemudian segera dipeluk oleh seorang wanita yang lebih tua, mungkin saja ibunya. Ia beruntung menghadapi dinginnya salju dalam mobil.

"Uncle, bagaimana perjalananmu ke Sheffield? Kau bahkan belum menceritakannya sejak kemarin." Gray menampakkan raut kesal, mengundang tawa sekilas pamannya yang masih fokus menyetir. "I'm asking you!"

"Son, bersikaplah sopan pada Paman!" Alexandra tampak malu, karena sedari tadi anaknya terus saja mengoceh. Ia kemudian melirik ke samping, tampak anaknya yang lain, duduk begitu tenang, pandangan lurus ke depan, bahkan mengucapkan sepatah kata saja rasanya berat bagi anak laki-laki itu.

"Menyenangkan, Gray," jawab Jones, paman Gray, setelah beberapa saat menahan desakan tawa karena potongan kejadian lucu beberapa hari lalu terlintas di pikirannya. "Tapi maaf, aku tak membawa sekaleng tanah dari Sheffield sesuai permintaanmu itu."

"Apa?" Alexandra menatap bingung adik ipar dan putranya.

"Gray memintaku sekaleng tanah dari Sheffield sebagai oleh-oleh," jawab Jones.

"Yang benar saja, Gray!" Alexandra menggeleng, merasa konyol atas permintaan Gray. Ia kembali menoleh ke arah Gabriel—anaknya yang lain— mencoba menarik perhatian laki-laki dingin itu, agar mau melebur dalam perbincangan konyol mereka.

"Bagaimana denganmu, Gabe? Apakah kau menginginkan sesuatu dari Jones?"

Anak laki-laki yang dipanggil Gabe, segera menatap ibunya, kemudian dengan mulut yang terbuka sangat kecil, bahkan hampir tak terlihat, ia menjawab singkat, "Nothing."

"Gabe memang aneh!" sindir Gray dengan mata menyipit. Meskipun bersaudara, Gray dan Gabriel tidak memiliki hubungan terlalu baik. Di rumah, keduanya jarang bermain bersama. Gray selalu mengajak Gabriel bermain, tetapi saudara dinginnya itu tidak pernah menghiraukannya. Ibarat kata, Gray adalah api, yang selalu mengobarkan semangat membara, dan Gabe adalah es yang selalu beku, bahkan ketika api berusaha mencairkannya.

Gabriel mengangkat bahu tak peduli, kemudian menarik fokus matanya kembali ke jalanan yang masih dipenuhi salju.

Alexandra menggeleng melihat tingkah laku kedua putranya. Ia mengusap kening keduanya bergantian, berusaha menyalurkan kehangatan dari rasa cintanya pada mereka, meski ada sedikit celah kesedihan yang mencoba mengejek nasib rumah tangganya yang mungkin bisa dihitung jari untuk menanti hari perpisahan. Ya. Tadi malam ia bertengkar hebat dengan Frank, suaminya, sehingga masing-masing dari mereka merasa tak ada titik temu dan tali cinta untuk menyambung kembali hubungan mereka yang kini ada di ujung tanduk.

Shadow of the Wound (Completed ✔️)Where stories live. Discover now