2. Revenge

196 13 0
                                    

~It's not the beginning that determines, but the end~

Seperti yang sudah Mary janjikan, kini mereka berdua sudah duduk berhadapan di ruangan pribadi Gray, tempat ia biasanya membuat sebuah desain bangunan dan melampiaskan hasrat iblisnya yang sering muncul tiba-tiba. Ruangan itu berisi sebuah lemari kaca besar, yang di dalamnya tersusun banyak sertifikat penghargaan, serta tumpukan buku yang ia beli untuk menambah pengetahuan seputar dunia arsitektur. Di sisi ruangan, ada beberapa samsak berbeda jenis. Namun yang paling ia sukai adalah yang bentuknya seperti manusia.

"Aku tak sabar menunggu info selanjutnya darimu, sayang,"ucap Gray seraya mendudukkan diri di sofa panjang berwarna merah tua. Ia mempertemukan netra mereka penuh tuntutan, membuat wanita itu terkekeh dan berkata, "Rupanya kekasihku ini tak sabar."

"Tentu saja. Kau tahu itu, bukan?"

"Kalau aku beritahu, apa kau akan mewujudkan keinginanku yang lain juga?"

"Tergantung seperti apa keinginanmu itu."

"Sepertinya kau tau apa maksudku, Gray."

Gray mengerti arah pembicaraan Mary. Sejak awal mereka menjalin hubungan, Mary selalu memintanya untuk segera menikah. Namun sayang, Gray tak pernah melakukan itu. Bukan karena ia tak ingin, tetapi karena ia belum tertarik. Baginya, menjerat dan mencabik-cabik manusia, adalah kepuasan yang paling utama. Apalagi ia masih ingin bermain-main dengan banyak wanita. Kecuali Mary tentunya. Cinta? Gray tak bisa menjawabnya. Namun yang jelas, ia menyayangi wanita itu. Wanita yang ia kenal dari kecelakaan kecil di sebuah kelab. Mary punya cara tersendiri untuk menarik perhatian Gray, dan sebagai laki-laki normal, ia tentu tak akan membiarkan wanita secantik Mary terlepas begitu saja, bukan?

"Kau tahu sendiri aku belum siap melakukan itu, sayang." Gray merapikan surai cokelat panjang Mary yang menutupi sebagian wajahnya.

"Kalau begitu kapan? Aku cukup kecewa karena selama dua tahun menjadi kekasihmu, kau tak pernah membahas tentang pernikahan. Kau selalu mengalihkan topik setiap kali aku membahas soal itu!"

"Aku akan menunggu waktu yang tepat,"jawab Gray.

Wanita itu menghela napas pasrah. Sejak awal menjalin hubungan, susah sekali menaklukan hati Gray. Dan selalu jawaban itu yang ia dengar.

"Apa kau masih menikmati waktumu bersenang-senang dengan banyak wanita?"

Gray terkekeh dan menatap Mary. "Aku sulit menghilangkan itu. Tapi aku tetap setia padamu, bukan? Selama ini aku tak pernah meninggalkanmu."

Mary lagi dan lagi menarik napas panjang sembari menyandarkan kepala di sofa. Ia mengusap lembut sofa itu sambil menatap Gray. Benar. Seharusnya ia bahagia, karena ia adalah satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Gray, bahkan menjadi kekasihnya.

"Baiklah, aku akan menunggu. Semoga saja kau menepati janjimu, Grayson Moore!"

"Kau meragukanku?"

"Bukan begitu. Aku hanya takut kau akan tertarik pada wanita lain dan meninggalkanku."

Gray menatap Mary tak percaya. "Apakah aku pernah lebih tertarik pada wanita lain selain padamu?"

Mary menggeleng.

"Maka itu yang akan terjadi seterusnya. Bagaimana mungkin aku bisa tertarik pada wanita lain, sementara di sampingku, ada seorang wanita yang paling cantik di antara semua wanita?"

Gray melihat rona indah di wajah Mary. "Kau memang punya mulut yang tajam, Gray ."

"Aku tak menggoda. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

Shadow of the Wound (Completed ✔️)Where stories live. Discover now