12. Asking for Feeling

74 7 0
                                    

~The most painful thing is when your wound is created by someone closest~


Setelah dikurung hampir dua hari di ruang rahasia tanpa makan dan minum, Abigail menderita sakit parah hingga harus diinfus. Waktu itu Edmund bersikeras membawa ke rumah sakit, tetapi Gray dengan lebih keras kepala mengatakan bahwa Abby akan dirawat di rumah dengan bantuan Paula, dokter kepercayaannya. Maka beginilah kondisi Abigail selama lima hari. Gadis itu lemas, kadang bangun tiba-tiba dan muntah banyak. Suhu tubuhnya berubah-ubah. Kalau siang jadi dingin, kalau malam jadi panas. Menurut keterangan Paula, Abigail mengalami trauma parah akibat dikurung hampir dua hari tanpa makan dan minum. Lebih parahnya lagi, ia diikat menghadap mayat perempuan. Bau tak sedap serta perut yang kosong, menciptakan reaksi seperti yang Abby alami saat ini. Belum lagi rasa takutnya berada di ruangan itu, serta pikiran yang terus tertuju pada siapa dibalik pintu kecil ruangan itu. Maka genaplah sakit yang dialami sampai lima hari ia tak membaik. Beruntung tepat pada hari ke tujuh—seminggu—keadaannya berangsur-angsur pulih. Ia tak lagi muntah ketika mengunyah makanan.

Dalam proses penyembuhan, Paula berperan aktif membantu Abigail untuk melupakan kejadian di ruang rahasia. Setiap kali Abby ingin muntah karena tiba-tiba membayangkan kejadian itu, Paula langsung mengalihkan pikiran. Dan usahanya tidak sia-sia, mengingat Abigail sudah lancar menelan makanan. Suhu tubuhnya pun normal, tak berubah-ubah lagi.

"Bagaimana rasanya?" tanya Elizabeth dengan raut senang karena Abby menghabiskan masakan buatannya.

"Kau yang terbaik, Eliz!"jawab Abby antusias. Ia pun senang bisa menikmati makanan tanpa memikirkan hal yang aneh-aneh. "Nanti ajari aku memasak ini, yah?"

"Dengan senang hati."

Elizabeth menatap nanar gadis itu. Ia ingat sekali di hari pertama menemani Abigail makan, bahkan sesendok pun tak bisa ditelan. Namun ia bersyukur sebab Abigail tak pernah mengeluh sekali saja. Abigail selalu diam, menuruti apapun permintaan dengan dalih agar ia cepat sehat.

"Apa kau benar-benar sudah sehat?" Elizabeth kembali bertanya.

"Kau masih belum percaya?" Abigail menyipitkan mata berniat menggoda. "Kau tidak percaya juga meskipun semangkuk makanan yang kau buat sudah masuk ke perutku?"

"Aku hanya khawatir."

"Tidak perlu memikirkan aku, Eliz. Aku benar-benar sudah sehat."

Elizabeth menggenggam erat tangan Abigail seraya bertanya,"Apakah setelah semuanya ini, kau masih belum marah pada tuan?"

"Kalau boleh jujur, hatiku sakit sekali, Eliz. Aku tak tau apa penyebab Gabriel bersikap seperti ini." Abigail meraup udara sebanyak mungkin ketika dirasa dadanya mulai sesak membayangkan sosok Gabriel. "Aku hanya bisa mendoakan semoga Gabriel cepat menyadari sikapnya, dan kembali seperti dulu."

Abigail masih sangat mencintai Gabriel. Namun di sisi lain, ia pun sadar kalau semua perbuatan pria itu membuatnya secara diam-diam menumpuk rasa kecewa di hati. Ia tak tahu sampai kapan mampu bertahan di sisi Gabriel. Gabriel sudah sangat baik padanya selama tiga tahun ini. Mungkin ini saat yang paling tepat bagi Abby untuk membalas kebaikan pria itu.

"Aku tak tau terbuat dari apa hatimu ini. Tapi yang aku tau, kau adalah wanita paling sempurna yang bisa mendampingi tuan,"ucap Elizabeth dengan senyum tersungging. "Aki turut mendoakan semoga hubungan kalian akan kembali baik." Wanita paruh baya itu merasa sakit atas ucapannya sendiri. Bukankah ia juga ikut andil dalam rencana Gray? Apa jadinya kalau Abigail tahu yang sebenarnya, bahwa Elizabeth telah bersekongkol dengan Gray? Rasa bersalah itu semakin menghantui pikirannya, dan Elizabeth hanya berharap satu hal, semoga Gray tak salah dengan pilihannya. Semoga pria itu tak menyesali perbuatannya.

Shadow of the Wound (Completed ✔️)Where stories live. Discover now