01. Him and the Rain

20.2K 1.4K 286
                                    

NASKAH YANG TERSEDIA DI WATTPAD MERUPAKAN NASKAH YANG BELUM PERNAH DI REVISI, MASIH TERDAPAT BANYAK KESALAHAN TERMASUK ADA BEBERAPA KATA ATAU NARASI YANG KURANG NYAMAN DI BACA

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

NASKAH YANG TERSEDIA DI WATTPAD MERUPAKAN NASKAH YANG BELUM PERNAH DI REVISI, MASIH TERDAPAT BANYAK KESALAHAN TERMASUK ADA BEBERAPA KATA ATAU NARASI YANG KURANG NYAMAN DI BACA. VERSI BUKU NOVEL ADALAH VERSI TERBAIK DAN LENGKAP.

~~~

Janlup Vote sebelum membaca, komen-komen juseyo~

Enjoy the reading, Fiavamor!

🛠🛠🛠

Cahaya lampu yang indah berseri, berjejer rapi menghiasi sepanjang jalanan kota Seoul di malam hari. Rintik-rintik hujan yang menari di atas genangan air dingin nan jernih—memahat pantulan gedung-gedung pencakar langit yang seakan hancur tatkala pantulan tersebut terinjak oleh kedua kaki.

Keelokan malam yang begitu bahari, tak ada artinya bagi seseorang yang tengah berjalan cepat sembari menunduk risau. Kupluk jaket, dan masker hitam menjadi peran penolong di tengah suasana ramai yang tak ia suka dan sangat ia benci.

Jantungnya seakan berdegup kencang, rasa khawatir yang muncul tiba-tiba saat mendengar suara banyak orang saling bersahutan dengan ramainya kendaraan berlalu lalang—membuat tubuhnya semakin banyak mengeluarkan keringat dingin.

Alvira masuk ke sebuah apotek, tanpa basa-basi ia langsung memberikan resep tebusan terakhir pada seorang kasir. Di dalam apotek, Alvira sudah merasa nyaman sebab suasana yang ramai seakan perlahan menghilang dan tak sebising saat dirinya tengah berada di luar tadi.

Setelah menunggu beberapa menit, kasir tersebut menjejerkan beberapa plastik yang berisi obat-obatan di atas etalase kaca, manik Alvira tertuju pada salah satu obat yang berperan paling penting yakni—obat pengencer darah.

Dengan ramah, kasir perempuan yang mungkin berprofesi sebagai seorang apoteker atau hanya seorang asisten apoteker itu menjelaskan semua tentang informasi obat dengan mendetail dan sopan. Setelah selesai membayar, Alvira bergegas untuk segera pergi dari apotek.

Selama perjalanan menuju halte bus, Alvira ingin sekali menyapa orang-orang di sana, lalu ingin sekali menunjukkan senyuman hangatnya yang begitu cantik. Namun, ia tidak bisa melakukan itu semua. Mengukir senyuman di hadapan banyak orang, seakan menjadi luka baru yang harus ia lawan dengan tubuh lemahnya yang dipaksa harus selalu kuat dan tegar.

"Semuanya tentangku memang menyakitkan, menyedihkan, dan memprihatinkan. Tetapi, aku selalu ingat dengan perkataan ayahku bahwa kita hidup bukan hanya sekedar untuk merasakan kebahagiaan dan kesedihan. Hidup hanyalah tentang nurani dan naluri. Jangan pernah mengemis pada seseorang yang tak suka dan tak mengerti dengan kesengsaraan yang pernah dialami. Kepercayaan hanya datang dari air mata seseorang yang mendapat derita yang sama, setara, dan sebanding."

VARLENZO: Wound Healer [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now