Bab 8 : Teman Ronda

50 1 0
                                    

Tinggalah seorang laki-laki berusia paruh baya di suatu kampung pedalaman. Namanya adalah Parjo.

Hari ini kebetulan jadwal Parjo meronda. Parjo akan bertugas meronda bersama 3 orang lainnya. Karena kini waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, Parjo pun sudah bersiap untuk pergi meronda.

Jarak antara rumahnya dengan pos ronda sedikit lumayan. Untuk sampai di pos ronda, Parjo harus melewati banyak pepohonan yang menjulang tinggi. Salah satunya adalah pohon beringin yang dekat dengan kali, dan juga pohon bambu yang dekat dengan sebuah lapangan kecil. Dari sana, Parjo masih harus berjalan lurus sekitar 200 meter lagi, barulah ia akan sampai di pos ronda.

Saat berjalan menuju pos, Parjo melihat ke sekeliling. Rasanya seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Terasa sepi. Sangat sepi. Tapi bagi Parjo ini hal yang wajar. Memangnya mau mengharapkan hal apa? Ini sudah jam 11 malam lebih. Ini juga di sebuah kampung pedalaman. Hal inilah yang akan didapatinya ketika saat keluar tengah malam. Apalagi, hujan mengguyur deras tadi. Dan rintik kecil hujannya masih mengguyur saat ini. Menambah suasana malam menjadi terasa lebih hening. Tapi Parjo bersikap cuek dan terus melanjutkan perjalanannya.

Parjo yang meneruskan perjalanannya kini akan melewati pohon beringin dekat kali. Sembari memasukan kedua tangannya ke saku celana, Parjo pun melihat ke sekeliling. Ia tak menemukan apa-apa. Rumah-rumah warga disekitar sudah terkunci rapat. Tak ada satupun warga yang bisa ia temui di sana. Hanya ada sebuah pohon beringin besar, dimana daun rimbunnya seperti menari diterpa angin malam. Juga sebuah kali di bawah jembatan yang airnya mengalir deras karena sehabis hujan.

Lalu Parjo meneruskan langkahnya. Kini ia akan melewati pohon-pohon bambu dekat lapangan kecil. Sembari merogoh pemantik disaku celananya, Parjo pun menyalakan rokok. Dengan santai ia melewati pepohonan bambu di sana sambil melepus rokoknya. Parjo juga tak menemukan apa-apa di sini. Hanya ada dirinya sendiri yang meninggalkan jejak kaki di jalan setapak. Kalaupun ada hal lain, itu adalah suara jangkrik yang berasal dari sela-sela pohon bambu. Juga suara kodok yang saling bersahut dari arah lapangan rumput di seberangnya.

Kurang lebih hanya itulah yang bisa Parjo temukan di sepanjang jalan. Sampai akhirnya, Parjo pun sampai di pos ronda.

Parjo yang sudah sampai di pos ronda pun menggelengkan kepala. Ia melihat pos ronda masih dalam keadaan sepi, semua rekan Rondanya belum ada yang datang. Dibilang kecewa, Parjo memang agak kecewa. Tapi, mau bagaimana lagi? Parjo hanya perlu menunggu di pos hingga rekan rondanya yang lain datang nanti.

Karena merasa sepi, Parjo berinistif untuk menyalakan radio yang ada di pos ronda. Radionya sendiri di simpan di dalam ruangan kecil. Dimana kunci ruangannya diselipkan di salah satu bagian pos ronda. Parjo sendiri tahu dimana letak kuncinya berada, ia lekas mengambilnya. Lalu membuka ruangan kecil di sana dan mengambil radio. Kemudian, Parjo pun menyalakan radio tersebut.

Suasana di sekitar Parjo kini tidak terlalu hening, ada suara radio yang menyala di dekatnya. Parjo terus mencoba memutar penala radio dan berhenti ketika mendapat siaran tembang Jawa. Kini radio itu melantunkan tembang Jawa.

Parjo masih duduk sendirian di pos ronda. Ia pun ikut bernyanyi bersama dengan suara radio yang menemaninya. Membuat suara rintik kecil hujan di sana menjadi terdengar samar. Dan hal itu terus berlanjut sampai beberapa saat. Hingga akhirnya, salah seorang teman rondanya pun datang.

Parjo tahu kalau rekannya yang datang adalah Darmo, meski temannya itu masih berada di ujung jalan sana, yang muncul dari kegelapan malam. Postur tubuhnya agak gempal, punya rambut cepak dan cara jalan yang khas. Itulah yang membuat Parjo mengenali Darmo meski dari kejauhan. Dan Darmo pun lambat laun berjalan semakin mendekat.

"Ketiduran mas?" Tanya Parjo sambil bercanda ketika Darmo akhirnya sampai di pos.

Sejauh ini, Parjo cukup mengenali sosok Darmo dengan baik. Jadi kalau ada satu hal yang mengganjal yang dirasakan Parjo, itu adalah sosok Darmo yang hari ini rasanya terlihat agak pucat. Entahlah, Parjo tahu kalau Darmo adalah pekerja keras, mungkin Darmo hanya kelelahan dan kurang tidur.

Pos ronda kini sudah berkumpul 2 orang, Parjo dan Darmo. Jika melihat jadwal ronda, masih ada 2 orang lagi yang belum datang. Karena itu, Parjo memilih untuk tetap di pos ronda sampai dua yang lainnya datang nanti. Apalagi kini suasana bisa lebih mencair karena ada Darmo yang menemaninya. Parjo pun mulai mengajak Darmo mengobrol. Dan masih ditemani suara radio yang menembangkan lagu Jawa.

Di sela-sela obrolan, Parjo pun berceletuk, "Mas, kamu takut setan nggak?" Tanya Parjo bercanda. Pertanyaan barusan juga tetiba saja muncul di kepala Parjo, saat ia merasa Darmo terlihat seperti setan karena wajahnya yang pucat dan tanpa ekspresi.

Darmo yang duduk berhadapan dengan Parjo pun tidak menanggapinya dengan berlebihan. Darmo hanya menggelengkan kepalanya pelan.

Sebenarnya Parjo merasa aneh sedari tadi. Darmo yang ia kenal rasanya jauh lebih atraktif. Tapi malam ini, rasanya Darmo terlalu kalem. Bahkan temannya itu selama ini hanya mengangguk atau menggeleng saat ditanya. Karena itu, Parjo pun penasaran dan bertanya lagi, "Kamu lagi sakit mas?" Tanya Parjo pada Darmo.

Sekali lagi, Darmo hanya menggelengkan kepalanya. Parjo pun merasa aneh dengan tingkahnya itu. Parjo mulai merasa ada yang janggal dengan gelagat Darmo, apalagi ditambah wajahnya yang pucat dan tanpa ekspresi. Tapi untuk mengakali suasana, Parjo merogoh bungkus rokok dan mengambil pemantik dari sakunya. Lalu Parjo mulai melepus rokoknya beberapa kali.

Suasana menjadi hening sesaat. Tak ada obrolan yang keluar dari keduanya. Baik Parjo atau Darmo masing-masing terdiam. Hingga akhirnya, Darmo memecah keheningan dengan bertanya, "Parjo, kamu takut nggak sama pocong?" tanya Darmo dengan wajah pucatnya.

Parjo yang sedang duduk bersila terdiam sesaat. Ia mencoba memikirkan sesuatu. Lalu Parjo pun menjawab, "Kalau misal saya bilang nggak takut gimana?"

Mendengar jawaban itu, Darmo hanya menggeleng tanpa ekspresi.

Lalu Parjo pun meneruskan, "Terus, kalau saya bilang takut gimana?" Tanya Parjo kepada Darmo yang sedang menatapnya dingin.

Mendengar ucapan Parjo barusan, Darmo kini tersenyum menyeringai dengan wajah pucatnya.

Parjo sepertinya sudah mulai menyadari sesuatu. Ia mulai memahami hal janggal yang terjadi pada sosok Darmo. Untuk memastikan kebenarannya, Parjo bertanya kembali, "Mas, besok aku mau pinjami kamu pancingan. Mau nggak?" Tanya Parjo kepada Darmo yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip.

Ada alasan dasar kenapa Parjo menanyakan hal barusan. Parjo tahu kalau Darmo itu suka sekali memancing. Bahkan kala Darmo hendak memancing, ia akan menemui Parjo, lalu meminjam pancingan Parjo dengan paksa. Tapi Parjo selalu menolak karena pancingan miliknya bagus dan mahal. Jadi seharusnya, tawarannya barusan akan membuat Darmo menjadi sumringah.

Parjo yang menunggu jawaban Darmo mulai agak sedikit merinding, kala hujan mulai turun lebih deras, ditambah dengan tembang Jawa dari radio yang telah berganti lagu. Dan Parjo pun dibuat lebih bergidik lagi, kala Darmo... menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Parjo tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Darmo yang sedang ia hadapi kini bukanlah sosok Darmo yang asli. Pantas saja sedari tadi tingkahnya janggal. Merasa cukup, Parjo pun langsung berdiri dan pamit pulang.

Saat Parjo sudah beranjak berjalan membelakangi pos, Darmo yang ia tinggalkan di pos ronda pun, memanggilnya dengan intonasi pelan, "Parjo, korek api mu ketinggalan."

Parjo yang sadar namanya dipanggil, mencoba menoleh perlahan ke arah belakang. Saat wajahnya menoleh, Parjo pun langsung lari terbirit-birit ketakutan. Karena, sosok Darmo yang sedari tadi menemaninya, kini berubah menjadi pocong.

END.


Note :

Cerita ini juga bisa dinikmati dalam bentuk podcast. Silahkan kunjungi youtube di bawah :

Youtube : Sini Gue Ceritain (Podcast)

https://www.youtube.com/channel/UCFtMSLJ45g63Hou1yZw7Dlw


Thread HorrorWhere stories live. Discover now