4. Offended (1)

49 14 13
                                    


Penerbangan dari bandara Roissy Paris ke Heathrow London yang memakan waktu kurang lebih satu jam lebih lima belas menit, membuat Hobie pagi itu merasa lelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Penerbangan dari bandara Roissy Paris ke Heathrow London yang memakan waktu kurang lebih satu jam lebih lima belas menit, membuat Hobie pagi itu merasa lelah. Duduk dan terjebak selama itu di dalam pesawat, nyaris merontokkan tulang punggung sekaligus mematahkan tulang lehernya.

Awalnya ia tidak begitu merasa tertekan selama penerbangan, mengingat hal tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Sehingga penerbangan hingga luar negeri pun merupakan suatu hal yang biasa bagi dirinya.

Akan tetapi satu hal yang seketika itu berhasil mengubah suasana hatinya menjadi semakin muak sekaligus membuat kepalanya pening adalah, dua pesan singkat yang dikirimkan padanya yang berasal dari orang yang berbeda telah mempengaruhi suasana hatinya.

Dari pesan singkat yang ia baca, ia tahu benar ke mana arah pemberitahuan tersebut. Sehingga pagi hari yang ia yakini akan ia lewati dengan penuh semangat, justru berubah menjadi sebuah tekanan. Walaupun masih dalam bayangan. Berusaha menepis pesan tersebut dan memusatkan fokusnya penuh pada pekerjaan.

Begitu Hobie tiba tepat pukul 10.00 pagi dari perjalanannya yang melelahkan, tujuan utamanya pagi itu bukanlah rumah. Melainkan sebuah gedung perkantoran yang memiliki lima puluh lantai milik Benetnasch Corp.

Sejak masalah yang dibuat oleh Alex Benetnasch, Evelyne Clarence selaku ibunda Hobie, mendesak suaminya agar memindahkan kepemimpinannya sebagai Direktur Utama dari Benetnasch Corp dengan segera sebagai jalur penengah akan pembuktian kesungguhan atas permintaan maaf sekaligus bukti penyesalan dari suaminya tersebut.

Mulanya Hobie yang kala itu masih berusia 18 tahun yang baru lulus dari bangku SMA dengan prinsip kebebasan dalam hidupnya, tidak begitu mengerti mengapa dengan tiba-tiba, sang ayah memintanya agar terus mendampinginya dalam setiap rutinitas kegiatan perkantoran selama satu tahun penuh sebelum penyerahan tanggung jawab yang besar tersebut. Melimpahkan beban berat yang sedikit pun tak mampu ia tolak.

Lebih tepatnya, saat di penghujung musim semi, tepat di saat Hobie harus dipaksa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dan terjun dalam dunia bisnis. Dunia yang sejujurnya tidak begitu ia minati. Namun, pada akhirnya ia menggelutinya. Sehingga mau tak mau, di sinilah dia.

Duduk di bangku putar kebesarannya di balik meja kerja dengan setumpuk dokumen yang menanti untuk dikaji kembali sebelum ditandatangani. Hingga tepat di usianya yang ke 20 tahun, Hobie cukup terkejut dengan kehadiran seseorang yang usianya hanya berselisih dua tahun dengannya. Seorang gadis 18 tahun yang sosoknya mau tak mau harus dipaksakan untuk ia terima kehadirannya.

Mungkin bila didengar, hal ini sejujurnya tidak terlalu akan menimbulkan masalah. Namun, lambat laun, pada akhirnya, siapa sangka, hal ini begitu berpengaruh pada Hobie. Sosoknya yang semula begitu dipenuhi dengan paras yang ceria penuh kasih, justru membentuk perangainya yang baru. Begitu keras dan juga dingin, akan tetapi masih mampu memberikan toleransi dengan pemikirannya yang rasional. Walaupun sejujurnya ia merasa penat.

Helaan napas berat kembali ia embuskan di kala sekelebat bayangan kembali menyusup. Tidak sanggup menyaksikan drama apa lagi yang akan menantinya dan ia lihat malam ini. Hingga tidak terasa, waktu yang bergulir begitu cepat di tengah kesibukan yang menenggelamkannya, membawa Hobie kembali dalam rumah yang dihuni bersama istrinya tepat menjelang senja.

Begitu terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah, Hyeri yang kala itu telah siap menyambut suaminya dalam balutan dress berwarna putih gading di bawah lutut dengan surai gelapnya yang tergerai telah berdiri bersama seulas senyum simpul. Membiarkan bagian kedua bahunya yang terbuka diterpa angin senja.

“Kau pasti lelah,” ucap Hyeri menghampiri suaminya dengan menuruni beberapa anak tangga guna menyambut prianya. Menghadiahi kecupan sekilas tepat di pipi Hobie begitu jarak keduanya begitu dekat.

Bahkan pria itu pun hanya memasrahkan dirinya. Tidak terlalu memaknai kecupan yang biasa itu. Menyerahkan tas kerjanya pada Hyeri seraya melonggarkan dasinya yang terasa sesak. “Sangat. Maaf, begitu tiba, aku tidak langsung kembali ke rumah. Tapi kau tahu benar aku berada di mana.”

Hyeri pun merangkulkan satu tangannya tepat di pinggang suaminya tanpa permisi. Mengabaikan sikap Hobie yang bahkan tidak memberikan ciuman balasan dan cenderung mengabaikannya.

Tidak peduli kala itu suaminya justru mengerlingkan pandangannya dan sibuk sendiri dengan cuvling yang berada di ujung lengan kemejanya. Melepasnya satu per satu sebelum membuka kedua kancing teratas dari kemejanya.

“Tentu saja.” Hyeri tersenyum. Masih bersikap tenang. Meski melihat sikap Hobie yang seperti ini sedikit membuatnya kesal.
Bukan hanya sekali, bahkan hingga usia dua tahun pernikahan keduanya, Hobie lebih terlihat sering mengabaikan dirinya. Walaupun, dari kehidupan rumah tangga keduanya, Hobie selalu berusaha menyesuaikan sikapnya pada Hyeri.

Hanya pada hal-hal kecil yang terlihat wajar dan berjalan sebagaimana mestinya. Seperti duduk berdampingan di kala sarapan dan juga makan malam. Lalu tanpa harus memintanya, Hyeri akan menyiapkan kemeja sekaligus setelan jas yang akan dikenakan oleh suaminya.

Tidak hanya itu. Bahkan di mata Hyeri, Hobie terlalu pandai menyembunyikan perasaannya dalam bersikap. Khususnya di hadapan orang lain. Bila keduanya berada di hadapan keluarga besar, Hobie akan memperlakukan Hyeri sebagaimana mestinya layaknya seorang istri. Namun, setelahnya, dari pada disebut dengan hubungan suami istri, sikap Hobie kepada Hyeri terkesan seperti seorang teman yang menghargai temannya yang memedulikannya. Padahal bukan ini yang Hyeri inginkan.

Walaupun, ada satu hal mengenai hal kecil tersebut yang begitu Hyeri syukuri, Hobie tak lupa untuk selalu mengucapkan terima kasih atas kebaikan dirinya dan juga mengapresiasinya dengan memberi hadiah kecil begitu ia memperlakukannya dengan baik.
Walaupun sejujurnya Hyeri merasa lelah pada titik tersebut. Titik hubungan keduanya yang dirasa masih terlalu jauh dan juga semu. Akan tetapi, jauh dari keinginannya tersebut, ia juga menyadari bagaimana hubungan keduanya bermula, memang tidak begitu baik.

Bukan seperti seorang teman. Namun, justru seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu. Terasa asing dan canggung. Yah, walaupun ia juga tidak bisa menyalahkan sikap Hobie yang seperti ini.

Selang keduanya berjalan beriringan dalam diam melewati ruang tengah hingga berakhir di kamar, kini Hobie mempertanyakan pesan singkat yang dikirim Hyeri.

“Acara nanti malam, kau yakin ingin menghadirinya?” dengan nada bicara yang terkesan santai, Hobie memandang Hyeri yang kini memilih duduk di sisi ranjang. Mengamati dirinya yang sedang menanggalkan kemeja putihnya yang telah ia kenakan seharian.

Walaupun keduanya saling berhadapan dengan posisi yang berbeda, melihat pemandangan yang bagi Hyeri begitu indah tersebut, sedikit pun ia tidak merasa malu. Kenyataannya, meski hubungan keduanya terkesan seperti seorang yang hidup dalam satu atap, keduanya telah melewatkan aktivitas yang menggairahkan bersama. Dan itu pun, terjadi setelah satu tahun setengah pernikahan keduanya dengan intensitas yang bisa dihitung dengan jari. Hanya dua kali.

Entah karena menyesuaikan, atau karena hal lain yang mungkin menahan Hobie untuk tidak melakukannya. Meski di waktu bersamaan, Hyeri juga bisa melihat secara jelas, Hobie tidak pernah menaruh perasaannya di sana. Hanya berpikir bagaimana melepaskan nafsunya yang membelenggu dirinya akan kebutuhan alaminya.

“Bagaimana ya?” jawabnya dengan menghela napas berat. Antara yakin ingin pergi dan juga ragu. “Kau tahu sendiri, ‘kan? Kita tidak pernah bisa menolak permintaan ayah dan ibu ketika mengadakan acara makan malam seperti ini. Meski jujur, topik pembicaraan keduanya tidak pernah terlepas mengenai anak. Susah sekali sepertinya menjadi istrimu.”

Hobie hanya menyeringai. Tahu benar akan situasi yang tidak mengenakan tersebut sekaligus memberikan tekanan mental bagi keduanya. Terutama keadaan yang sangat menyudutkan bagi Hobie yang merupakan seorang pewaris.

Bukan hanya Hyeri, Hobie sendiri juga merasa lelah akan topik pembahasan yang sedikit pun tidak pernah luput disinggung dalam acara makan malam keluarga. Seolah tidak ada pertanyaan lain yang jauh lebih pantas untuk dibahas.

“Kau bisa menolaknya jika kau mau. Karena aku juga tidak terlalu ingin memaksakannya padamu.”

Terdengar perhatian. Namun, faktanya, Hobie juga berharap agar Hyeri menolaknya dengan membuat alasan yang bisa menghindarkan keduanya dari pembahasan yang jujur, begitu sensitif. Sekaligus memukul perasaan Hobie.

Mendengar penuturan Hobie yang terkesan memahami Hyeri, wanita itu pun bangkit berdiri. Tampaknya, dirinya salah mengartikan setiap ucapan suaminya. Sungguh, dari jarak sedekat itu, Hyeri tak mampu mengabaikan pesona yang dimiliki suaminya. Walaupun ia mengerti, mungkin saja sikapnya akan mengalami penolakan.

“Kau tahu? Aku beruntung kau memahami keinginanku. Tapi, jika kita menghindarinya kali ini, tidak menutup kemungkinan besok tidak akan ada hal yang seperti ini lagi.” Hyeri melingkarkan kedua tangannya di balik tengkuk suaminya di mana Hobie justru menarik napas dalam dan sedikit menegakkan tubuhnya.

Netranya yang berwarna gelap hanya bisa memandang lurus ke arah Hyeri dengan penuh arti. Mengerti benar akan apa yang wanita itu pikirkan. Wanita itu dengan lincahnya memainkan jari-jemari lentiknya guna menyentuh tipis permukaan jaringan epidermis Hobie dengan ujung jari telunjuknya, lalu menyusuri dada bidang suaminya yang tampak atletik dan begitu indah di matanya.

Terkesan mengundang dirinya agar semakin masuk di mana aroma keringat Hobie yang telah menghabiskan waktu dengan rutinitasnya seharian terhirup begitu saja, memikat Hyeri. Membuat Hyeri semakin berkeinginan menembus dinding tipis yang selama ini selalu Hobie ciptakan.

Menyadari pergerakan istrinya yang sedang berusaha menggodanya dan menginginkannya, Hobie pun menahan tangan Hyeri agar tidak lebih jauh menyentuh dirinya.

“Maafkan aku.”

Lagi-lagi kata tersebut yang meluncur dengan sopan dari bibir Hobie. Walaupun, sadar atau tidak, Hobie telah melukai istrinya.

“Selama ini aku berusaha memberikan hatiku padamu. Tapi ... kuharap kau mengerti Hyeri.”

Hobie pun menarik dirinya dengan mengambil satu langkah mundur. Mengusap wajah Hyeri pelan, sebelum beralih membersihkan diri. Saat itu Hyeri hanya bisa mengangguk, menyerah dan berusaha memahami situasinya.

Bahkan tanpa Hobie mengatakannya, Hyeri tahu benar bagaimana perasaan Hobie terhadap dirinya. Termasuk seseorang yang telah memiliki hati suaminya, sehingga ruang kosong yang sempat tercipta pun tidak semudah itu tergantikan oleh kehadirannya.



















Hai... happy weekend.
Thanks yah dah mau mampir.
Jangan lupa Voment.

Btw ke napa aku greget part ini... hiks.
Gmna mnrt kalian... boleh spill...😃😃😃
See you soon

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang