33. Speechless (Part 1)

30 10 0
                                    


Bila Hobie boleh mengingat, perasaan hangat tersebut, rasa-rasanya masih begitu jelas terpatri di dalam atmanya

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.


Bila Hobie boleh mengingat, perasaan hangat tersebut, rasa-rasanya masih begitu jelas terpatri di dalam atmanya. Menjaga selalu setiap detik apa yang kala itu tertangkap oleh kedua netranya yang kelam di awal musim semi yang begitu teduh. Meski suasana hari itu tidaklah hening. Namun, melodi yang dihasilkan dengan medium udara terdengar jelas menyapa rungu Hobie.

Bingung, tentu saja. Itulah kesan pertama yang begitu menghangatkan dirinya di tengah aktivitas yang entah sejak kapan, mampu membuat jantungnya berdebar tidak seperti biasanya. Awalnya melewati kelas musik klasik adalah suatu keisengan belaka. Atau bisa juga dibilang sebagai suatu hal yang tidak disengaja.

Entah bagaimana harus menjelaskannya secara gamblang agar mudah dipahami. Kenyataannya, di tengah tekanan yang selalu berusaha Hobie tekan, melodi itu seolah menjadi suatu penyejuk jiwa. Membuainya dalam damai, hingga terkadang, hanya untuk menyelesaikan tugas kuliahnya yang bergelut dengan bisnis, Hobie harus rela duduk di atas bangku besi yang berada di sisi kelas tersebut.

Menggantikan detik jarum jam yang selalu mengingatkannya akan waktu yang selalu memburu dirinya dan membuatnya tergesa tak tenang dengan melodi yang dihasilkan oleh dentingan tuts-tuts piano yang menjadi penyegar di tengah kerumitan akan dunia yang ia geluti. Menyentuh perasaannya dengan mengandalkan rungunya.

Akan tetapi, detik berikutnya, ada masanya ketika suara dentingan melodi itu menjadi pecah sekaligus menarik atensi Hobie yang akhirnya meletakkan laptop yang sedari tadi berada di atas pangkuannya hanya untuk menengok ke dalam. Melihat apa yang terjadi di tengah nada yang pada akhirnya putus, berhenti dalam hening.

Seorang wanita dengan surai panjang bergelombangnya yang berwarna kecokelatan tampak menyugar surai indahnya dengan frustrasi. Awalnya Hobie tidak mengerti. Hanya bisa memandanginya dengan tatapan datar dan tenang seraya tetap berdiri di tempatnya. Namun, begitu wanita tersebut menyingkirkan surai indahnya ke samping, di sanalah Hobie melihat visual wanita tersebut yang tampak dari samping untuk pertama kali. Hingga akhirnya, terukir tanpa ia sadari dan tercetak secara jelas dalam hatinya.

Mulanya tidak begitu jelas, akan tetapi begitu ia melihat secara teliti dan lebih jeli, wanita tersebut ternyata sedang menangis. Entah apa yang membuatnya merasa seperti itu. Ekspresi itu, begitu Hobie kenali karena terkadang ia mengalaminya sendiri. Pemandangan yang tanpa sadar mengetuk pintu hatinya hingga terenyuh.

Bukan karena ketidakmampuan pianis tersebut dalam bermain. Melainkan Hobie merasa, ada sesuatu yang begitu berat membebani dirinya. Hingga akhirnya, Hobie hanya bisa turut bersimpati dari tempatnya. Berharap dalam hati, mungkin esok segalanya akan berubah bagi wanita tersebut.

***

Hobie tidak mengerti, apa yang mendorongnya hingga seperti ini. Fakta yang tidak bisa ia tampik, ia sangat terbiasa melihat wanita tersebut. Hingga saat berjalan dengan Keiyona pun, kedua netra Hobie sama sekali tidak bisa melepaskan pandangannya dari kelas musik klasik tersebut di mana kini keduanya tampak berjalan beriringan untuk menikmati istirahat siang.

Meski keduanya berbeda gedung dan departemen, baik Hobie dan sahabatnya tidak pernah mempermasalahkan akan jarak yang memisahkan gedung departemen mereka. Tidak menganggapnya sulit karena mereka masih bisa saling berkomunikasi dan memutuskan untuk bertemu di suatu tempat seperti sekarang.

Merasa hening cukup berkepanjangan, Keiyona yang kala itu sedang mengutarakan isi hatinya, keluh kesahnya yang mengambil program studi kedokteran dalam universitas yang sama, akhirnya pun menoleh ke arah Hobie yang atensinya telah teralih. Masih tertuju pada ruang perkuliahan yang lain. Hingga tanpa sadar, langkah Hobie yang terhenti turut menghentikan langkahnya.

“Sejak kapan kau berminat dengan orang yang tampak sedang memadu kasih, hm?”

Dari apa yang tertangkap oleh kedua netra wanita tersebut, Keiyona bisa melihat secara jelas, hal apa yang menginterupsi di tengah sesi curhatnya. Sontak Hobie yang gugup di mana sesaat lalu aksinya dipergoki oleh sahabatnya hanya bisa mengusap tengkuknya samar. Mencari kata-kata yang tepat walaupun ia telah tertangkap basah. Namun, mampu menyembunyikan rasa malunya dengan baik.

“Ah ... eoh ... Tidak ada. Hanya sepertinya ... akhir-akhir ini aku suka mendengarkan lantunan melodi musik klasik,” dalihnya menutupi sikapnya yang sebenarnya yang ia beri perhatian adalah wanitanya. Cukup terlihat baik dari pada kemarin yang tampak begitu lelah dan gusar. Tidak ada air mata di sana. Hanya ada wajah dengan visual yang tampak datar dan biasa saja.

***

Kesempatan lainnya, di dalam suatu auditorium pertunjukan di mana dalam ruang tersebut terdapat sebuah panggung pertunjukan, siang itu di balik pintu dari tempatnya berdiri, ia melihat lagi sosok tersebut. Duduk begitu tenang mengamati seorang pria sedang memainkan violinnya.

Semula Hobie yang terdiam tampak ragu. Akan tetapi dengan memantapkan hati dan mengumpulkan keberaniannya, Hobie pun menghampiri wanita tersebut begitu menghela napas samar. Meski wanita ini tidak menyadari kehadiran Hobie yang telah duduk di sisinya walaupun hanya menyisakan satu bangku kosong di antara keduanya.

Untuk sejenak, Hobie mulai menikmati melodi halus yang dihasilkan oleh alat musik gesek yang sedang dimainkan tersebut. Meski sesekali, di tengah permainan tersebut Hobie mencuri pandang pada wanita yang duduk di sampingnya. Masih tampak bergeming dan juga serius mengamati.

Lagi, bukan untuk kali pertamanya, Hobie melihat awan mendung yang selama beberapa hari ini begitu menarik perhatiannya. Hingga tanpa sadar, hanya untuk menghilangkan kabut tipis di dalam netra kecokelatan sang wanita agar tidak berubah menjadi derai gerimis, ia pun membuka pembicaraan. Walaupun jujur, Hobie juga merasa canggung dan gugup kala itu.

Walaupun kedua netra sang wanita saat itu masih tertuju pada sang violinis yang tampak sedang memainkan violinnya dengan penuh penghayatan di atas panggung dan Hobie masih terus memperhatikan dari atas sana. Tersenyum dan berusaha bersikap sopan dalam keramahan yang begitu tenang. Tidak ada maksud mengganggu perhatian wanita ini meski tetap saja sikapnya ini telah mengusik ketenangan tersebut.

“Permainan yang indah, bukan?” Tanyanya mengawali. Menanyakan pendapat yang ia tahu, setiap orang memiliki perspektif sendiri. “Aku baru tahu, ternyata ... alunan melodi yang dihasilkan musik klasik, mampu menenangkan hati yang sedikit merasa kalut,” ucapnya melanjutkan. Memecah keheningan yang hanya terusik oleh melodi tunggal yang dihasilkan dari alat musik gesek tersebut.

“Mungkin bagi sebagian orang yang benar-benar memainkannya hanya sekadar untuk impiannya dan juga yang menyukainya, serta dirimu yang sebagai penikmat, mungkin begitu. Tapi tidak semua orang bisa merasa begitu,” Jawab sang wanita dengan santai. Masih menyaksikan dengan tenang meski batinnya dari luar mungkin terlihat kentara. Tatapan sendu dengan suaranya yang terdengar sedikit gemetar tak mampu menutupi apa pun.
Seketika itu Hobie menoleh, memberikan pandangan menelisik pada wanita tersebut. Ada makna tersirat dari ucapannya yang terdengar memilukan. Meski tiba-tiba saja perasaan tidak enak hati dari dalam diri Hobie seketika datang begitu saja. Namun, sebisa mungkin Hobie tetap memberikan seulas senyum hangat kala itu. Mengendalikan diri dan masih berusaha bersikap sopan.

“Kau benar, karena setiap orang memiliki perspektif sendiri. Maaf bila aku hanya bicara menurut penilaianku. Sama sekali tidak ada maksud  dan tujuan untuk menyinggung penilaianmu.”

Mendengar ucapan Hobie yang terkesan rendah hati, wanita tersebut pun menarik seulas senyum samar. Entah, bagaimana harus menjelaskannya, di waktu bersamaan, Hobie merasa begitu senang melihat secercah cahaya tipis yang seolah mengusik awan mendung di sana. Hingga akhirnya, sang wanita pun kembali menimpali.

“Tidak ada yang harus merasa tersinggung. Kenyataannya, tidak ada yang salah dengan pendapatmu.”

“Begitukah? Syukurlah kalau begitu.” Hobie tersenyum. Sedikit merasa lega karena wanita ini ternyata tidak tersinggung barang sedikit pun. “Eoh, maaf bila aku terbilang tidak sopan. Tapi ... alangkah tetap baiknya bila kita saling mengenalkan nama satu sama lain. Aku Hobie Alioth Benetnasch, senang bisa berbagi perspektif denganmu.”

Wanita tersebut seketika menoleh. Menampilkan senyum terbaiknya yang begitu ramah. Begitu teduh dengan senyumnya bak malaikat. “Heiran Aishley Sargas.” Begitulah Heiran memperkenalkan diri. Tidak ada jabat tangan di sana. Namun, kesan pertama itu disambut keduanya dengan perasaan begitu hangat.

***

Hobie tidak pernah berpikir, ketertarikannya yang bermula hanya sebatas kepedulian akan sesuatu yang sulit untuk ia jelaskan, ternyata tidak hanya berhenti pada perkenalan singkat tersebut. Entah bagaimana awal mulanya, tanpa sadar selama itu Hobie membiarkan hatinya yang bebas mengikuti keinginannya. Mengalir bagai air yang mengikuti arus dan membiarkannya bermuara untuk menemukan ketenangan.

Faktanya, berawal dari sebuah lantunan melodi, paras visual yang tampak samping dengan awan kelabu yang menaungi diiringi dengan derai gerimis, senyuman tulus yang terefleksi bak goresan pelangi yang muncul setelah hujan, lalu berakhir hingga netra kelamnya bertemu dengan netra kecokelatan milik Heiran secara langsung dan terpaku untuk beberapa detik, saat itulah hatinya selalu berdesir. Mempengaruhi fungsi kerja jantungnya yang turut berdebar seirama berikut dengan kewarasan yang sepertinya memiliki jalan pikirannya sendiri.

Suatu fakta yang tidak pernah Hobie duga, bahkan juga Heiran yang pernah mengungkapkannya begitu beberapa tahun terlewat, bahwa keduanya pada akhirnya terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Saling bergantung, yang entah awal mulanya bagaimana hal tersebut bisa terajut.

Bahkan di hari pertunjukan musik klasik yang diadakan sebagai ujian akhir pada tiap semesternya. Tahun kedua, bagi Hobie momen tersebut sebagai penanda bahwa kepenatannya akan dunia yang penuh tuntutan sepertinya memiliki warna.

Mengusik awan kelabu yang selama ini membayangi dalam dirinya dengan memberikan sedikit cahaya. Suatu titik harapan di mana perasaan akan langkah gambaran masa depan yang telah ia hadapi yang terasa memuakkan seolah sedikit melentur. Tidak terlalu banyak kekakuan sebagaimana yang telah dituntutkan padanya selama ini. Menjadi seorang pebisnis meski sedang menjalani masa pendidikannya.

Walaupun tak heran, ada sedikit kekhawatiran bagi Hobie yang kadang-kadang tidak mampu menghadiri perkuliahan secara offline karena urusan perjalanan bisnis bersama ayahnya. Yang sialnya, begitu ia kembali di kemudian hari, kepergiannya memberikan efek rindu bagi wanitanya. Lebih tepatnya perasaan khawatir yang seharusnya, Heiran tidak perlu juga mencemaskannya karena keduanya kala itu tidak memiliki suatu hubungan apa pun.

Namun, ada masanya hatinya berdesir cemas akan seseorang yang selalu berada di sekitar Heiran. Di mana orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah sahabat Heiran sendiri yaitu Suhaa. Seseorang yang eksistensinya seolah berubah menjadi ancaman bagi Hobie. Walaupun mungkin Heiran tidak menyadari, tapi dengan bagaimana perasaan Hobie sebagai pria terhadap wanita tersebut, Hobie mendapati bahwa tatapan yang tersembunyi di balik hubungan persahabatan tersebut seolah tidak hanya sebatas itu. Terkesan protektif.

Hobie menyadari setitik celah di mana pandangan yang diberikan Suhaa sama sebagaimana Hobie memandang Heiran. Terlebih dalam situasi ini, di mana Hobie lebih memilih menunggu di saat Suhaa berada di dekat Heiran yang baru saja selesai melakukan pertunjukan untuk penilaian ujian.

Walaupun sekilas, Hobie bisa menebak baru saja pria tersebut memberikan pujian serta ucapan selamat bagi Heiran. Tidak terhitung dengan ucapan sebelumnya yang terkesan menimbulkan arti mendalam. Namun, begitu netranya bertemu dengan netra milik Suhaa, saat itu ia tetap mempertahankan sikap cool-nya. Hingga Suhaa sendiri yang memilih untuk memberi ruang. Melewati Hobie seolah tidak melihatnya.

Saat itu, kedatangan Hobie yang diharap menjadi sebuah kejutan bagi Heiran, menjadi berubah hambar kala wanita tersebut menyadari keberadaan Hobie. Berdiri menunggunya dengan menjatuhkan atensi penuh. Bagaimana senyum manisnya di kala memandangnya dalam balutan gaun hitam dengan kedua lengan yang terbuka sehingga menampilkan permukaan jaringan epidermis bahunya, jujur membuat Hobie terpesona sekaligus begitu protektif.

Alhasil, merasa sepertinya sudah tidak ada lagi alasan untuk bersembunyi, Hobie pun melangkahkan tungkainya guna menyapu jarak. Mendekati Heiran dengan penampilan resminya yang juga sama ia kenakan di waktu bekerja. Sembari memberikan seulas senyum, Hobie pun seraya menyerahkan sesuatu pada Heiran.

“Untukmu. Permainan yang bagus,” pujinya di waktu bersamaan.

Dengan senyum tersipunya, Heiran masih menelisik benda berukuran 14x21 sentimeter tersebut. Mengerutkan kening tak ingin menebak.

“Apa ini? Sebuah partitur untuk aku mainkan?”

Walaupun terasa begitu nyata dalam genggamannya, Heiran tetap saja tak mampu menebak isi dari benda yang terbungkus rapi dalam balutan kertas kado berwarna cokelat susu tersebut. Terasa garis-garis samar yang membuat bahwa kertas tersebut begitu istimewa. Terlebih pita hitam berbentuk bunga yang menempel di bagian salah satu ujungnya, jelas hadiah ini benar-benar dipersiapkan begitu matang untuknya.

Hobie menyunggingkan seulas senyum tipis seraya menanggalkan jas terluarnya yang berwarna hitam lalu mengenakannya tanpa permisi untuk menutupi kedua bahu Heiran yang begitu terbuka sembari menjawab.

“Memang apa lagi yang bisa kuberikan selain benda tersebut untuk seorang pianis hebat sepertimu dengan permainan indahnya? Lagi pula ... aku bukan tipikal pria yang akan memberi sebukat bunga dan juga sebatang cokelat hanya untuk hadiah kecil. Lebih memikirkan ke arah ... bagaimana seseorang ini meninggalkan impresinya atas apa yang aku berikan padanya. Kau menyukainya?” Hobie menaikkan sebelah alisnya begitu selesai dengan jasnya.

Saat itu Heiran hanya tersenyum geli. “Sebenarnya ... kehadiranmu bahkan melebihi dari apa yang kau berikan.”

Merasa tersanjung akan ucapan tulus yang begitu jujur, Hobie yang tersipu tersenyum sembari menunduk, mengusap belakang lehernya yang tidak gatal hanya untuk mengusir sedikit rasa malunya. Jantungnya semakin berdebar di saat Heiran melakukan hal tersebut. Bukan hadiahnya. Namun, eksistensinya yang ternyata jauh lebih dinilai begitu istimewa dari apa pun.

Saat itu, Hobie pun kembali menjatuhkan pandangan lurusnya pada Heiran. Mengulurkan tangan kanannya sekaligus menyingkirkan beberapa helai anak rambut wanitanya tepat ke belakang telinga dengan penuh perhatian.

RetrouvailleOnde histórias criam vida. Descubra agora