36. Speechless (4)

33 9 4
                                    

Mungkin mulanya sikap Hobie di awal setelah kejadian tersebut terkesan memaksa dan keterlaluan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mungkin mulanya sikap Hobie di awal setelah kejadian tersebut terkesan memaksa dan keterlaluan. Namun, ternyata masih ada hal lain lagi yang membuat Hobie pada akhirnya memberikan kelonggaran dan turut membantu Heiran. Meski tidak begitu mengerti mengapa wanitanya begitu bersikukuh tidak ingin memberitahukan berita apa pun mengenai pernikahannya.
Bila hal tersebut berkaitan hanya sebatas hubungan relasi, mungkin Hobie bisa memakluminya. Akan tetapi kali ini berkaitan dengan siapa yang akan menjadi perwalian dari Heiran. Seseorang yang seharusnya keberadaannya begitu penting bagi keduanya di hari yang sakral tersebut di mana pelaksanaannya masih dua bulan lagi.

“Kau yakin tidak ingin memberitahu ayahmu mengenai pernikahan kita? Jika alasanmu hanya pada karena kau tidak mengetahui keberadaan Tuan Sargas, aku bisa mencari informasinya untukmu bila memang seperti yang kau ucapkan bahwa beliau memang sedang dalam melakukan perjalanan bisnis.”

Saat itu, Heiran tidak langsung menjawab. Masih terus berkonsentrasi membantu Hobie memasangkan dasinya yang hendak berangkat bekerja. Meski belum resmi menikah, akan tetapi keduanya telah memutuskan untuk tinggal bersama begitu hubungan keduanya menginjak satu tahun. Menjalani kehidupan yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

“Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahukannya padamu,” ucap Heiran menimbang. Begitu tidak yakin ingin mengungkapkan maksud hati yang terbilang sensitif tersebut. “Untuk sementara ini, aku ingin kau mempercayai apa yang aku katakan mengenai ayahku. Hanya cukup mempercayai bahwa beliau dalam perjalanan bisnis.”

Hobie sontak mengernyitkan dahi. Masih begitu penasaran akan sosok ayah seorang Heiran yang sepertinya masih berusaha untuk ditutupi keberadaannya. Mengingat Heiran hanya sekali pernah menyinggung mengenai ibunya yang telah meninggal dan ayahnya sedang dalam perjalanan bisnis. Meski ia begitu penasaran, tapi tetap ia telah memutuskan dan bersumpah akan membahagiakan Heiran apa pun permintaannya. Menahan diri selagi ia bisa.

“Kau bahkan hanya memberitahuku tentang kematian ibumu. Tapi, kenapa kau tidak mau menceritakan tentang ayahmu?”
Bahkan hingga keduanya akan melangsungkan pernikahan, Heiran tidak pernah sekali pun menyinggung mengenai ayahnya. Walaupun hanya dengan ucapan, rindu yang semestinya terlihat umum akan sosok seseorang yang begitu dekat hubungannya dengan Heiran. Ikatan darah yang sampai kapan pun tidak akan pernah putus.

Seketika itu, Heiran yang merasa tidak ingin dibantah hanya mencoba memberikan alasan secukupnya. Terkesan memohon hanya untuk mendapatkan pengertian sekaligus dipahami.

“Bisakah untuk sementara ini kau tidak membahasnya? Aku akan memberitahukan segalanya begitu kita menikah. Beri aku waktu untuk mempersiapkan diri karena ... beberapa waktu lagi aku akan membuka luka itu kembali.” Heiran mengalihkan pandangannya, enggan.

Ya, Hobie paham benar mengenai wanitanya sehingga selama ini ia berusaha membuat Heiran tertawa. Meski baru dua kali, Hobie menciptakan air mata untuk wanitanya. Saat itu, Hobie mengelus kedua lengan Heiran. Tidak ingin memaksa wanitanya lebih jauh di mana kini Heiran justru tertunduk. Tahu benar akan sesuatu yang masih membebani wanitanya.

“Aku akan melakukannya sesuai keinginanmu. Aku akan mengatakan pada orang tuaku bahwa Elinor telah diutus oleh ayahmu sebagai perwakilan sekaligus sebagai walimu. Aku akan meminta orang untuk menelepon ayah dan ibu untuk meyakinkan mereka bahwa ayahmu memang tidak bisa hadir dalam pernikahan kita dan segalanya akan beres. Jangan cemberut begitu,” pintanya lembut, membujuk, seraya menangkup kedua pipi Heiran untuk menghadapnya. Memberikan ciuman sekilas di bibir hanya untuk menenangkan wanitanya. “Kau marah padaku?” tanyanya. Meski tanpa bertanya harusnya Hobie lebih mengerti.

“Sudah tidak lagi, karena aku mencintaimu. Lagi pula, usiaku sudah cukup untuk memutuskan secara sepihak untuk menentukan jalan hidupku. Aku tahu kau juga mengalami situasi yang begitu sulit karena kesempurnaan yang dipandang keluargamu. Jadi, meski aku takut, aku akan berusaha melawan rasa takut itu untuk tetap dekat dan berada di sisimu.”

“Terima kasih Heiran.” Hobie tersenyum. Bersyukur akan sikap pengertian wanitanya. “Aku berjanji akan membahagiakanmu dengan hidupku.”

Setelahnya, tidak ada lagi perdebatan yang terjadi di antara keduanya dan Hobie membuktikan setiap ucapannya. Memperjuangkan segalanya dengan persiapan yang begitu matang sehingga keduanya dapat melangsungkan pernikahan yang begitu mewah di mana hari yang begitu bersejarah bagi hidup Hobie dan Heiran hanya dihadiri oleh kerabat dekat mereka. Terutama keluarga inti dari keluarga besar Benetnasch. Sedangkan dari pihak Heiran, hanya Elinor yang dinilai penting bagi Heiran.

Wedding dress, garden party, gereja dengan nuansa putih yang begitu lekat dengan aroma rose dan lavender, segalanya ingatan tersebut masih begitu segar terpatri dalam pikiran Hobie. Hingga setelah upacara pernikahan, mereka pun pergi berbulan madu ke Jepang. Mengunjungi beberapa distrik wisata yang menjadi kearifan lokal yang begitu menarik bagi turis mancanegara yang tersaji pada negara matahari terbit tersebut.

Namun, selama itu, Hobie memilih menetap di sebuah penginapan yang begitu tradisional lengkap dengan ciri khas yang menjadi daya tarik tersendiri baginya. Sebuah penginapan dengan pemandian air panas yang begitu terkenal di Kyoto.

Bahkan Hobie ingat benar, selama keduanya berbulan madu di sana, Hobie melihat bagaimana usaha Heiran yang begitu ingin membahagiakan dirinya dengan begitu memaksakan diri. Pernah suatu ketika, Hobie mendapati beberapa notifikasi mengenai pengeluaran Heiran di Jepang dari transaksi yang telah dilakukan dari beberapa butik di sana yang memang khusus menyediakan perabotan pedalaman seorang wanita. Sungguh, momen itu berhasil membuat hati seorang Hobie menghangat. Tidak mampu mengucapkan kata apa pun selain rasa syukur.

Beberapa kali Heiran bersikap begitu dominan terhadap dirinya. Menunjukkan dirinya mulai dari sikapnya yang begitu manja hingga setiap tingkah lakunya yang selalu berhasil membuat Hobie menegang. Menyembunyikan senyumnya padahal dirinya telah dibuat panas dingin. Nyaris, Hobie kehilangan fungsi otaknya yang meski sejenak, rasanya sempat tergeser.
Bagaimana tidak. Selama berbulan madu, beberapa malam dengan jeda beberapa hari yang berselang-seling, Hobie bahkan mengakui bahwa wanitanya terlihat begitu cantik dengan apa pun yang melekat pada diri seorang Heiran.

Mengenakan pakaian tipis minim bahan yang semula terlihat terawang, hingga berujung pada beberapa model lingerie yang benar-benar tak mampu menutupi setiap inci lekuk tubuh wanitanya sedikit pun. Dalam diamnya yang masih bersikap begitu datar, hanya bisa menghela napas samar dan menelan salivanya dengan susah payah.

Terlebih di saat Heiran yang hanya berbalut bathrobe dengan rambutnya yang menjuntai basah dan sengaja menurunkan bathrobe-nya pada bagian salah satu sisi lengannya. Menampilkan kulit bahunya yang begitu mulus, hingga Hobie sendiri hanya bisa menghadiahi sebuah kecupan sekilas di sana.
Menghirup begitu dalam aroma khas wanitanya yang semerbak bunga kamomil. Sadar benar, sikapnya telah memberikan dampak bagi wanitanya yang pada akhirnya memilih menyerah dan bersikap seperti biasanya.

Malam itu, keduanya hanya duduk di sisi ranjang di mana Hobie menjadi sandaran bagi Heiran. Sedangkan Hobie, hanya mengandalkan sisi ranjang yang ia tiduri sebagai sandaran. Duduk menghadap jendela balkon yang sengaja ia buka. Memeluk Heiran dari belakang seraya mengusap punggung tangan wanitanya.

“Kenapa hari ini kau begitu pendiam, hm? Apa lagi-lagi aku membuatmu merasa tidak nyaman?” tanya Hobie lembut. Menghadiahi sisi kepala Heiran dengan kecupan sekilas. Bahkan aroma apel dari surai wanitanya sanggup membuat Hobie sendiri meremang.

Diusap dan dibelai sehalus itu, Heiran hanya terdiam. Pandangannya masih tertuju lurus pada langit di luar sana yang tampak bercahaya akibat refleksi pantulan cahaya bulan yang berpendar. Menghiasi gelapnya langit Kyoto dalam perpaduan langit yang berbintang. Membalas sentuhan Hobie dengan semakin mengeratkan dirinya dengan memeluk lengan suaminya yang sedang terduduk di belakangnya.

“Hobie, boleh aku bertanya?” suara lembut Heiran berhasil memecah kesunyian yang menenangkan tersebut.
Hingga suara berat Hobie pun turut menyambut. “As you wish, Babe. What’s going on?”

Selama beberapa detik keduanya terdiam. Hingga helaan napas Heiran yang begitu lembut akhirnya menginterupsi. “Aku tidak mengerti. Lebih tepatnya, entah bagaimana, aku berpikir ... kau begitu lain dari biasanya.”

“Memang apa yang aku lakukan padamu? Aku masih Hobie-mu. Tidak ada yang berubah. Mungkin hanya perasaanmu saja,” ucap Hobie dengan melembutkan suaranya. Membelai surai Heiran secara perlahan. Membuat Heiran memejamkan mata dan begitu menikmati sentuhan itu. Sampai-sampai, untuk menguasai dirinya yang seolah terhanyut karena gelenyar hangat yang tercipta, Heiran pun kembali menarik napas dalam dan berusaha mengutarakan pikirannya. Bahkan Hobie begitu paham, akan sikap Heiran yang seperti ini.

“Setelah pernikahan ... kau bahkan,” Heiran menggantungkan ucapannya di udara. Seolah tak sanggup untuk meneruskan. Namun, otaknya masih terus berpikir dalam kesadarannya. Bagaimana pun, ia sekarang ini telah terikat dengan Hobie. Masih tidak menyangka bahwa dirinya kini telah menyandang status sebagai seorang istri. Dengan ragu, Heiran pun kembali membuka mulutnya. “Oppa tidak menyentuhku.”

Hobie seketika itu mendengkus. Tersenyum seraya mengusap area tulang hasta milik Heiran. “Aku bahkan terlampau sering menyentuhmu. Memelukmu, menciummu, apa lagi yang salah?” Jawaban Hobie terbilang jujur. Meski selama itu, memang Hobie sedikit pun tidak pernah membatasi skinship dengan Heiran.
Seketika itu Heiran memutar tubuhnya. Berbalik, menangkup sebelah pipi Hobie dan memberikan ciuman sekilas di sana. Bahkan sedikit pun Hobie tidak menolaknya. Memberikan ciuman balasan meski bukan ini yang Heiran mau.
Dengan lekat, netra keduanya pun bertemu. Memandang intens visual masing-masing yang masih berbalut dengan piama tidur mereka yang berbentuk kimono dengan warna senada. Berwarna hitam dan terbuat dari satin yang begitu lembut.

“Bukan sentuhan yang seperti ini. Aku yakin Oppa tahu benar maksudku. Mungkin Oppa tidak menyadarinya, tapi aku ....”

“Bermaksud menggodaku?” tandas Hobie dengan tepat. Heiran yang bersemu akhirnya pun mengangguk. Membuat Hobie akhirnya kembali mendaratkan sebuah kecupan di bibir Heiran. Hanya saja, semakin lama, ciuman lembut itu berubah begitu menuntut. Hingga saat itu Heiran meloloskan satu desahan di kala ia merasakan puncak dadanya diremas begitu kuat.

Dengan wajah yang tersipu, Heiran pun menjawab begitu Hobie menyudahi ciumannya. Menarik diri dan semakin terfokus pada Heiran. “Oppa menyadarinya?”

“Tentu saja. Aku tergoda melihat tubuhmu yang seksi itu. Hanya saja, saat kau mengenakan pakaian tipis minim bahan dengan lingerie yang menurutku tetap saja aku lebih suka melihatmu telanjang, aku hanya menahan diri saja. Bersikap seolah tidak melihatmu padahal aku begitu ingin menyentuhmu. Terlebih, histori penelusuranmu.” Lagi Hobie tersenyum. Memandang Heiran dengan begitu teduh yang masih duduk di antara kedua pahanya.

Untuk yang satu itu, Heiran pun bersemu. Tidak menyangka Hobie akan mengetahuinya. “Lalu, kenapa? Kenapa Oppa tidak mau menyentuhku? Bukankah ini tidak melanggar prinsipmu karena kita sudah menikah?” tanya Heiran penasaran. Sungguh, Hobie paham benar akan pertanyaan itu.

Hobie pun menyandarkan kepalanya pada sisi ranjang seraya menghela napas samar. Terkekeh pelan karena melihat wanitanya tampak overthingking. “Hanya tidak ingin membuatmu menangis,” jelas Hobie yang menyebutkan alasannya yang seketika itu membuat Heiran semakin naik dan mengubah posisinya untuk berada di atas pangkuan Hobie.

“Maksud Oppa?”

Setelah mengambil jeda sejenak, Hobie pun kembali menanggapi. “Aku begitu ingin memasukimu, Sayang. Sangat. Tapi ... aku telah bersumpah tidak akan membuatmu menangis.”
Kali ini Heiran mendapati ekspresi Hobie yang begitu serius. Namun, masih belum mengerti akan setiap ucapan prianya. Memang apa yang akan membuatnya menangis? Apa karena dirinya sudah tidak menarik karena Hobie sudah pernah memilikinya?

Melihat kerut wajah yang sarat kekhawatiran pada wanitanya, Hobie pun menjelaskan. “Tidak seperti yang kau pikirkan. Apa kau berpikir karena aku sudah pernah melakukannya denganmu maka aku tidak ada ketertarikan sama sekali?”

“Bagaimana Oppa bisa membaca pikiranku? Terkadang aku cukup penasaran dengan hal ini.”

“Dari ekspresimu. Dan dari perubahan sikapku yang sepertinya menarik perhatianmu. Aku yakin tanpa harus aku menjelaskan kau menyadarinya. Tapi sungguh, bukan seperti itu.” Hobie menekankan sekali lagi. Meski masih menangkap rasa ketidakpuasan dari dalam diri Heiran.

“Kalau bukan begitu, lalu apa, Oppa? Kuharap, kau memiliki alasan yang bagus untuk hal ini.”

Hobie pun justru tersenyum melihat paras wanitanya yang masih mencecar dirinya dalam rasa was-was. Bersamaan dengan menjawab setiap pertanyaan Heiran, Hobie menggunakan tangan kirinya untuk menarik ikatan piama kimono yang dikenakan oleh wanitanya.

“Kau pikir karena apa? Tidak ada hal khusus meski aku memang menganggapnya begitu serius. Sejak bertemu denganmu, hingga perjuanganku mencapai titik ini, kau tahu ‘kan mengenai segala usahaku untuk membuatmu terus bahagia? Menyembuhkan lukamu yang selama ini aku bahkan tidak mengerti apa yang sebenarnya menjadi penyebabnya dan membelenggu hatimu, karena kau masih belum ingin mengutarakannya.”

Sejujurnya, dalam hati pun Hobie mungkin sanggup mencari tahunya sendiri. Terlebih informasi mengenai ayah mertuanya. Namun, Hobie begitu memahami, alangkah lebih baiknya bila ia mendengar secara langsung dari wanitanya agar dirinya tidak merasa kecewa. Satu karena hal tersebut, kedua, ia juga tidak ingin membuat Heiran membenci dirinya akan ranah privasi yang memang belum diberikan izin oleh wanitanya bagi dirinya untuk mengetahui hal tersebut. Sehingga, sikap terbaik dari dirinya dengan menimbang secara bijak adalah menunggu dan memberi ruang bagi Heiran yang memang masih belum siap.
Seketika itu Heiran terenyak. Bibirnya yang semula terkatup nyaris terbuka bila Hobie tidak menginterupsinya secara langsung.

“Aku hanya tidak ingin membuatmu menangis.” Satu kalimat itu meluncur begitu saja dengan lembut. Begitu Hobie berhasil mengurai ikatan piama tersebut, dengan perlahan, Hobie menurunkan bagian sisi area bahu. Menampilkan permukaan bahu Heiran yang kini terekspos sebagian. Menyadari, bahwa setiap sentuhan tipisnya membuat Heiran menarik napas panjang hingga kedua netra kecokelatan milik wanitanya pun tertutup sempurna. Ia tahu, istrinya kini meremang akan invasi yang ia lakukan.

Saat itu, dengan lembut Hobie mengusapnya seraya kembali meneruskan. “Aku tahu, telah banyak air mata yang jatuh saat kau terjebak dalam kesendirianmu dan entah berapa banyak itu. Saat aku pertama kalinya membuatmu menangis, kau ingat ‘kan, aku tidak akan menyentuhmu lagi? Karena saat itu aku telah bersumpah, Sayang. Bahwa sejak hari itu, sejak aku memilikimu secara utuh, aku bersumpah pada diriku sendiri, air matamu ... adalah tanggung jawabku. Aku begitu benci di kala untuk kedua kalinya membuatmu menangis karena sikapku yang begitu ingin memilikimu. Jadi karena hal tersebut, aku tidak sampai hati untuk menyentuhmu bila kau akan meluruhkan air mata itu lagi.”

Kedua netra Heiran yang bergetar pun berhasil menarik seulas senyum di kedua sudut bibirnya. Tatapannya terkesan hangat bagi Hobie. “Jadi kau takut, jika kita bercinta, kau akan membuatku menangis?”

Hobie mengangguk mengiyakan. Membenarkan ucapan Heiran yang menangkap dengan sempurna penjelasannya. Tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya yang kini tampak memindai keindahan wanitanya. “Seperti itulah. Aku begitu membenci diriku sendiri yang membuatmu terluka. Padahal aku berusaha untuk menyembuhkannya.”

“Kalau begitu ... kali ini aku yang memintamu. Aku merindukannya. Merindukan setiap sentuhanmu yang menguasai diriku hingga aku terhanyut dalam surga yang kau ciptakan.”
Tanpa terlihat seperti sebelumnya, meski Hobie melihat usaha keras Heiran yang berusaha meletakkan rasa malunya, kini tanpa sadar menuntun tangannya untuk kembali menyentuh dada wanitanya. Saat itu, Hobie yang sontak mengerlingkan bola matanya justru kembali menggoda Heiran.

“Benarkah? Nanti kau justru akan menangis saat aku melakukannya.” Hobie tertawa kecil. Membuat Heiran akhir justru memukul lengan prianya dengan melayangkan protes.

“Ya! Kau merusak suasana. Kalau begitu tidak usah sajalah!” Heiran nyaris bangkit berdiri bila Hobie tidak menahan pergelangan tangannya. Kali ini Hobie benar-benar dihidangkan makan malam yang jauh lebih menarik. Wanitanya benar-benar tidak melapisi apa pun di dalam piama tidurnya. Tepat begitu wanitanya sempat berdiri, piama yang Heiran kenakan merosot jatuh di atas pangkuan Hobie.

Sontak Hobie menampilkan smirk-nya yang sialnya membuat perasaan Heiran semakin kalang kabut. “Kau yakin akan keputusanmu, Nyonya Benetnasch? Aku bisa pastikan, sisanya aku tidak akan berusaha menahan diri seperti sebelumnya.”
Heiran yang benar-benar terlihat polos tanpa sehelai benang pun yang kini berada dalam pangkuan Hobie, hanya menganggukkan kepalanya. Terfokus dari bagaimana suaminya yang kini melihatnya begitu intens dengan penuh hasrat. Bersamaan dengan sentuhan samar yang kini menyusuri bagian belakang tulang punggung Heiran yang begitu mulus.

“Bahkan meski kau membuatku tidak bisa berjalan atau mati sekalipun, aku tetap akan berada di bawah kuasamu.” Heiran memprovokasi. Semakin menghasut sisi liar Hobie yang masih berusaha ditahan oleh pria tersebut.

Hobie mendengus. Benar-benar pikirannya kini hanya dipenuhi oleh istrinya. “Good girl.”

“Tapi sebelum itu, Hobie ....” Heiran menyela. “Aku ingin memberitahumu mengenai ayahku. Sepertinya tidak adil, bila selama ini hanya kau yang berusaha bersabar menunggu. Karena kau suamiku, kau harus mendengar ini.”

“Aku akan mendengarkanmu Sayang. Apa pun yang kau katakan,” yakinnya terhadap wanitanya agar tidak meragukan dirinya.

“Tapi ... apa setelahnya, hal ini akan mengubah cara pandang atau pun persepsimu mengenai diriku?”

Seketika itu Hobie menimbang. Semakin menelisik lebih jauh ke dalam netra kecokelatan milik Heiran. Sepertinya kali ini memang bukan hal sepele yang begitu umum. Bahkan dari perubahan sorot mata Heiran yang begitu serius dan bergetar, jelas, hanya untuk menjelaskan hal ini, Heiran membutuhkan waktu nyaris empat tahun selama berhubungan dengannya.

Tapi Hobie kembali berpikir bijak. Yang Hobie lihat hanyalah Heiran. Hanya wanitanya yang kini menjadi masa depannya dan telah menjadi istrinya. Tidak peduli begitu buruk masa lalunya, mengingat hal ini hanya mengenai ayahnya, bukan wanitanya.
Hobie pun mengangguk, hingga Heiran pun kembali angkat bicara.

“Sebenarnya ....”

Saat itu Hobie menjatuhkan atensi penuhnya bersamaan dengan menajamkan telinganya. Mendengarkan secara saksama dengan penuh perhatian tanpa menginterupsi setiap kalimat yang disampaikan oleh istrinya. Awalnya Hobie begitu memahami bagian mengenai alasan mengapa ibunya meninggal. Namun, begitu sampai pada titik di mana ia menangkap secara jelas alasan mengapa Heiran begitu membenci ayahnya, sungguh, dalam diamnya Hobie sempat terenyak. Bergeming dengan bergidik ngeri. Begitu bingung bagaimana harus menanggapi kesulitan Heiran walaupun hanya untuk memberikan reaksi. Bahkan dalam menceritakannya, emosi wanitanya begitu meluap hingga Heiran kembali meluruhkan air matanya.

Seketika itu, Hobie mengulurkan kedua tangannya guna meraih Heiran yang gemetar. Turut merasakan pilu akan kepedihan wanitanya yang selama ini ia simpan. Hingga beberapa menit berselang, di mana Hobie memberikan ruang ketenangan bagi Heiran untuk mengendalikan diri, Hobie sendiri yang akhirnya kembali menenangkan Heiran dengan kalimat pernyataan yang penuh peyakinan.

“Kau tidak perlu khawatir. Aku bukan tipikal pria yang akan meninggalkanmu hanya karena masalah sekecil ini. Kau ingat apa yang aku ucapkan saat kita berkeliling di sebuah kuil ternama di sini, aku pernah memberitahumu tentang istilah Wabi-Sabi, bukan? A way of living that focuses on finding beauty within in imperfections of life and accepting peacefully the natural cycle of growth and decay. Aku begitu membenci pemikiran mengenai makna kesempurnaan. Aku mencintaimu apa adanya dirimu. Menjadikanmu sempurna dengan keberadaanku dan mencintai setiap kekuranganmu. Jadi berhenti berpikir aku akan meninggalkanmu setelahnya hanya masalah mengenai ayah, hm? This is not about your father but us.”

Sisanya Hobie hanya membungkam Heiran dengan menyatukan bibirnya pada wanitanya. Mengungkung Heiran yang begitu memasrahkan dirinya untuk disentuh. Perlahan, melebur menjadi satu dalam sentuhan yang memabukkan. Berbagi kehangatan dalam deru napas yang kian memburu.
Sesuai ucapan Hobie, malam itu dirinya benar-benar membiarkan sisi liarnya bergerak bebas. Melepaskan kendali atas hasrat yang terpendam seraya menginvasi melalui setiap sentuhan dengan mewujudkan fantasi yang terbayang dalam pikiran. Heiran pun berusaha mengimbangi, meski pada akhirnya dirinya sendiri yang dibuat kewalahan oleh suaminya. Kali ini Hobie menikmati wanitanya dengan menggiringnya untuk melakukan berbagai macam posisi hanya untuk mencapai titik kepuasan.

Di dalam lenguhan yang terdengar merdu, Hobie berusaha mencari posisi stabil dengan menahan berat tubuh Heiran yang sempat gemetar akan hujaman yang tiada mengenal jeda, berhasil membuat istrinya kehilangan kewarasannya. Semakin menekan wanitanya dan terus mendorong hingga menjangkau lebih dalam. Sampai-sampai hanya suara desahan wanitanya yang semakin membuat Hobie menggila.

Yang ada dalam pikiran keduanya malam itu hanyalah mengikuti naluri alami dan menikmati keberadaan satu sama lain di tengah hawa dingin yang begitu sejuk. Saping menghangatkan, tidak peduli akan masa lalu yang sejujurnya juga membuat Hobie begitu nyeri.


















Good morning everyone, have a nice day😘😘😘🌻🌻🌻

RetrouvailleWhere stories live. Discover now