29. Autumn Love (2)

18 10 19
                                    

Menjelang hari H, seperti biasanya, dalam seharian itu baik Suhaa maupun Heiran disibukkan dengan mengikuti geladi resik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Menjelang hari H, seperti biasanya, dalam seharian itu baik Suhaa maupun Heiran disibukkan dengan mengikuti geladi resik. Hingga tiba saatnya malam ini keduanya tampak beradu kebolehan dalam memainkan pianonya masing-masing. Terdiam dalam heningnya perkataan. Namun, terhanyut dalam gema alunan melodi.

Di bawah lampu sorot panggung yang terpusat menyoroti, para pemain musik tersebut tampak begitu menikmati setiap lagu yang mereka mainkan sesuai dengan arahan konduktor yang memandu mereka. Melewati setiap tebal dan tipisnya nada yang diinginkan, menjadi satu kesatuan melodi yang utuh yang mampu menghanyutkan perasaan para penonton yang turut berubah menjadi melankolis pada malam hari itu.

Sesekali di tengah permainannya yang begitu serius, tetapi santai, Heiran mengerlingkan netranya hanya untuk mencuri pandangan sekilas akan paras tampan seorang Suhaa yang sedang terhanyut dalam permainan pianonya. Terlihat begitu serius dan larut dalam setiap tangga nada yang ia mainkan.

Tak heran, bila hanya untuk menikmati melodi yang menggema dalam ruang yang megah itu, bahkan Suhaa rela memejamkan matanya dan hanya menajamkan rungunya. Kenyataannya, melodi yang dihasilkan oleh alat musik klasik itulah yang menjadi alasan mengapa pria yang akan terlihat begitu perfeksionis dalam memainkan piano tersebut begitu mencintai pekerjaannya. Seolah alunan musik yang dihasilkan merupakan denyut nadi dalam setiap kehidupannya.

Bahkan, Heiran juga tidak pernah melupakan akan kisah cinta pertama seorang Suhaa terhadap pianonya. Sesuatu yang di awal jujur membuatnya iri di mana kala itu Suhaa benar-benar mencurahkan seluruh perasaannya dalam memainkan alat musik klasik tersebut.

Begitu malu bila membandingkannya dengan alasan dirinya yang hanya berusaha menjadi berbeda dan juga agar tidak terbawa dalam bayang ibunya yang seorang violinis. Meski ia sendiri juga sadar, bahwa Heiran sama sekali tidak bisa terlepas dari jejaknya. Namun, di tengah permainan itu yang pada akhirnya berujung pada penghujung acara, Heiran tersenyum.

Teringat akan perkataan Suhaa hari itu setelah orkestra di London berakhir.

“Mungkin hatimu berusaha menolak untuk menerima persamaan yang sudah terjalin antara dirimu dan ibumu yang merupakan sebuah takdir yang terjalin dalam ikatan ibu dan anak. Tapi satu hal yang tak akan pernah mampu kau tepis sedikit pun bahwa darah musisi dan seorang seniman turut mengalir dalam setiap nadimu. Aku tahu kau terluka setiap memainkan violinmu. Tapi bisakah kau memahami perasaan ibumu? Bahkan aku yakin, saat memainkannya, beliau juga membayangkan dirimu yang merupakan napasnya. Aku tidak mengerti bagaimana hubunganmu dengan ibumu yang selama ini terjalin. Namun, aku yakin, entah di mana pun ibumu berada, ia juga menunggumu dan merindukanmu melalui violinnya.”

Sejak saat itu Heiran mengerti. Mau seberusaha seperti apa pun, seseorang di dekatnya akan menyadari hal itu. Menyadari dirinya yang diam-diam akan memainkan violinnya di kala rasa rindu akan sosok tersebut hadir dan mengusik benaknya.

Meski di waktu bersamaan, Heiran juga tidak mengerti mengapa ia memainkannya hari itu. Kenapa tiba-tiba saja ada rasa menyesal di sana. Akan tetapi, begitu ia memegang kembali alasan sebenarnya, perasaannya yang buruk mulai membaik. Hingga akhirnya, pertunjukan yang sengaja disuguhkan untuk para petinggi negara Prancis pun berakhir pada malam hari itu.

***

Tepat beberapa bulan kemudian di mana keduanya menikmati sisa musim gugur di awal bulan November, di tengah aroma lembab yang begitu mengusik hidung itu, Heiran tampak kesal.
Tidak mengerti alasan di balik permintaan Suhaa yang kala itu memintanya untuk menunggu di sebuah vila yang jujur, di tengah perasaannya yang sedang berkecamuk ingin melayangkan protes, Heiran di waktu bersamaan juga menyukai pemandangannya begitu tiba di sana. Mungkin akan lain ceritanya bila Suhaa yang menjemput Heiran secara langsung dan mengantarnya ke tempat tersebut.

Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Suhaa dengan sikap misteriusnya hanya meninggalkan sebuah petunjuk melalui tulisannya di dalam secarik kertas yang sengaja ia selipkan di bawah ponsel Heiran hingga menuntun Heiran ke tempat semacam ini. Sengaja meletakkannya di sana di waktu Heiran masih terlelap.

Dalam balutan kaos kasualnya yang berwarna putih yang sengaja ia padukan dengan kardigannya yang berwarna cokelat dan terasa nyaman, Heiran tampak duduk bersantai di sisi teras belakang vila tersebut. Di mana tepat di bagian tengah taman belakang terdapat semacam perapian kecil lengkap dengan kayu bakar di dalamnya.

Beberapa kursi malas yang dikhususkan untuk taman dan juga kursi hias yang terbuat dari rotan yang menggantung di ujung pangkalnya tampak berdiri bagai ayunan.

Hanya tinggal menata beberapa bantal dan selimut, sepertinya menikmati udara di malam hari di tengah hutan pohon pinus juga merupakan opsi yang tidak terlalu buruk. Entah berapa kali Heiran harus berusaha melawan perasaan ini, kenyataannya antara kesunyian yang sepi dengan harapan yang harusnya bisa menenangkan dirinya agar keluar dari rasa takut tak pernah bersahabat.

Inilah salah satu alasan mengapa Heiran ingin sekali memaki Suhaa yang harusnya mengerti bahwa Heiran tidak menyukai kesunyian yang seperti ini. Namun, untuk melawan rasa takut akan kesepian itu atas kesendiriannya yang sedang terduduk di sana, Heiran hanya kembali membaca bukunya untuk menenangkan dirinya.

Buku yang entah sudah ke berapa kalinya ia baca dan masih senantiasa menemani dirinya. Every word you cannot say. Di bawah naungan langit yang sudah beralih ke senja, Heiran dalam diamnya masih menikmati ketenangan hari itu. Membaca setiap kalimat yang selalu berhasil membuat dirinya merasa lebih baik.
Namun, di saat waktu terlewat di tengah hening yang melanda, entah mengapa air muka Heiran mendadak berubah. Terlihat bimbang begitu netranya mendapati beberapa kalimat yang begitu merefleksikan dirinya. Seolah kata-kata tersebut berusaha mengingatkan dirinya. Atau lebih tepatnya, seolah memberikan saran di tengah rasa luka yang jujur, Heiran seolah masih belum bisa melepaskan bayang-bayang dari sosok tersebut.

You love again. Recycle your heart. Someone out there needs it. – Remember this.

Kedua bahu Heiran yang semula bergeming kini sedikit terangkat ke atas begitu ia menarik napas berat. Netranya mengerlingkan pandang meski buku yang ia baca di dalam pangkuannya masih terbuka. Seolah berusaha menengadah untuk menangkap secercah harapan bagi Heiran.

Di saat Heiran sedang bergeming sejenak, sesuatu yang hangat menyapa bibirnya sekilas. Sebuah kecupan singkat yang tak lain dan tak bukan berasal dari sosok seseorang yang ia tunggu kehadirannya. Saat Heiran menoleh dengan air mukanya yang masih bimbang dan bingung, seulas senyum simpul telah menyambut dirinya.

Sesosok pria dengan surai blonde-nya kini tampak duduk di sisinya.

RetrouvailleWhere stories live. Discover now