28. Autumn Love (1)

31 8 15
                                    


Satu bulan kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Satu bulan kemudian.

“Besok,” ucap Heiran meraih sebotol minuman penambah ion yang diberikan oleh Suhaa di mana kala itu, pria tersebut bersandar tepat di sisi grand piano milik Heiran.

Entah sudah berapa jam, nyaris mereka semua hampir melupakan waktu istirahat. Terlampau serius dan terhanyut dalam alunan musik yang dimainkan selama geladi resik yang berlangsung. Sampai-sampai alarm yang menandakan waktu istirahat pun terabaikan begitu saja oleh pihak pengawas latihan.

Dalam jeda waktu yang tersedia tersebut, netra keduanya saling terkunci dalam beberapa detik. Sebelum pada akhirnya setelah latihan berat, keduanya dapat menemukan seulas senyum masing-masing dalam paras keduanya. Menjadikannya penyejuk di tengah penat yang menuntut konsentrasi penuh.

“Hm, besok.” Suhaa menimpali. Menyetujui satu kata itu yang benar-benar merefleksikan apa yang akan mereka hadapi esok.
Sesekali netranya yang gelap mengerlingkan pandang hanya untuk melihat ke arah para pemain musik yang lain yang juga tampak sedang menikmati waktu istirahat mereka. Lalu beralih untuk duduk di sisi Heiran di mana sang wanita telah sedikit bergeser dari duduknya tanpa diperintah dan menyisakan ruang untuk prianya. “Aku mengakui, aku begitu gugup.”

Dengan satu tangannya, Suhaa menyandarkannya ke sisi pinggiran piano tersebut. Meletakkan kepalanya di sana seolah menjadikan satu tangannya sebagai bantalan ternyaman. Menahan kepalanya yang tiba-tiba saja berdenyut pening.
Padahal ia sudah terbiasa tampil di depan khalayak umum dari gedung opera yang satu ke gedung opera yang jauh lebih bergengsi yang lain. Tapi tetap saja, di balik sosok tenangnya yang dingin, terbersit rasa gugup yang sengaja ia sembunyikan. Padahal permukaan telapak kakinya pasti sudah terasa panas dingin.

Heiran pun meletakkan botol minumannya tepat di sisi kaki kursinya lalu memeluk punggung prianya yang tampak begitu lebar. Terasa begitu hangat begitu ia menyandarkan kepalanya di sana.

“Tidak biasanya kau segugup ini. Bukankah kau sudah terbiasa? Aku yakin suasananya terasa sama.”

Seolah ingin menguatkan. Bahkan diri Heiran sendiri sejujurnya juga merasa begitu cemas akan acara esok hari. Demam panggung yang biasa hadir begitu mereka menghadapi pertunjukan nyata. Namun, keduanya akan kembali menghangat begitu permainan telah berlangsung.

Hanya perlu menyesuaikan diri di tengah kekhawatiran yang melanda. Memang seharusnya, mereka tidak perlu terlalu mencemaskannya karena keduanya telah melakukan persiapan yang begitu matang sebelumnya. Termasuk hari ini. Hari geladi resik terakhir setelah satu minggu berlatih.

Suhaa pun menghela napas samar. Tidak yakin mengenai hal tersebut hingga Heiran merasakan punggung itu terangkat. Lalu sang pria pun beralih untuk menegakkan tubuhnya. Memalingkan wajahnya menatap teduh wanitanya yang tampak begitu cantik sejenak.

“Tentu saja tidak sama. Kemarin hanya orang-orang biasa dengan pakaian formal mereka terlepas dari jabatan yang melekat. Tapi ini ... kau tahu, ‘kan? Mereka para petinggi sekaligus pejabat negara Prancis,” tekannya sekali lagi mengungkapkan rasa gugupnya. Menitik fokuskan letak perbedaannya. “Terlebih di sampingmu, aku jadi tambah semakin gugup.”

Ada secercah gelenyar hangat yang baru saja menyentuh kalbu wanita bermata kecokelatan itu. Namun, Heiran bersikap mengimbangi. Tidak ingin semakin menambah ketegangan Suhaa akan demam panggung yang sempat terbersit.

Heiran pun dengan santainya mengulas senyum miringnya seraya menaikkan sebelah alisnya. Pernyataan macam apa itu. Menggarisbawahi ucapan Suhaa yang terakhir yang sempat membuat kedua pipinya memanas, meski tidak kentara.
“Hei, Tuan Suhaa. Haruskah aku mengingatkan kembali, bukankah jauh lebih gugup saat bermain violin untuk pertama kalinya di depan umum, terkhusus untukku?”

Suhaa sontak terkekeh bila teringat akan hal itu. “Haruskah aku mengatakan saat itu aku mendapatkan sentuhan ajaib dari Vivian?”

“Berengsek kau! Kalau begitu ikuti saja dirinya sana!” Heiran mencebikkan bibirnya. Mengalihkan atensinya akan perasaan aneh tersebut. Bimbang. Heiran terlampau sulit menggambarkannya.

Suara dentingan piano kembali terdengar. Heiran akhirnya mengambil sikap untuk mengabaikan Suhaa sejenak. Sekali lagi, Suhaa menyebut nama itu. Jika mengingatnya, mengapa dalam benak Heiran segalanya menjadi tumpang tindih. Masih tidak mengerti ke mana perasaannya kala itu terpatri.

Di tengah lamunan yang hanya Heiran sendiri yang menyadarinya, Suhaa pun mengusik. “Hei, aku cuma bercanda. Kenapa kau selalu seserius itu?”

“Habisnya, kau masih berhutang penjelasan padaku akan tanda kepemilikan itu. Tidak mungkin hanya sebatas berlatih violin. Aku tidak percaya.” Heiran merajuk. Meski sebenarnya ada gelenyar aneh yang begitu hangat turut menyusup dalam dadanya. Ingatan akan perlakuan hangat seseorang yang sempat menyita kewarasannya. Sikap Hobie kala itu yang berhasil merengkuhnya terlampau nyaman.

Meski begitu, Heiran sebenarnya juga tidak ingin terlalu mempermasalahkan apa yang telah diperbuat oleh Suhaa dengan Vivian mengingat dirinya sendiri yang juga memiliki rahasia. Tapi, mengapa Heiran merasa perasaannya begitu terombang-ambing? Semakin Heiran terdiam, wanita tersebut tidak menemukan jawaban apa pun atas keraguan itu.
Mengapa dengan adanya Suhaa di sisinya, ia justru semakin sulit melupakan Hobie? Terlebih kepekaannya yang masih tidak berubah terhadap dirinya. Lalu, apakah hubungan Hobie dengan istrinya juga baik-baik saja? Jika benar malam itu Hobie menemaninya, apa Hyeri juga tidak terluka?

Berpikir mengenyahkan perasaan bimbang yang akan berhasil mengubah ekspresinya sekarang, Heiran semakin hanyut dalam permainannya. Helaan napas samar turut mengiringi sikap tenangnya yang berusaha ia pertahankan. Dalam hati, sisi lainnya terlampau mengakui bahwa pertanyaan akan rasa penasarannya mengenai kondisi rumah tangga Hobie juga terlampau lancang untuk ia pikirkan di mana ranahnya bersifat pribadi.

Dengan susah payah, Heiran menelan salivanya yang tiba-tiba saja terasa pahit setelah memikirkannya. Akan tetapi, parasnya yang begitu meneduhkan, lagi, kembali menyelamatkannya. Terlihat dari sosoknya saat ini di mata Suhaa, begitu menikmati permainan pianonya padahal ia sedang menyembunyikannya agar Suhaa tidak menyadarinya.

Suhaa akhirnya menyandarkan kepalanya tepat di bahu wanitanya. “Haruskah aku segera menghamilimu agar rasa cemburumu mereda?”

Sontak Heiran menoleh ke arah Suhaa dan menghentikan permainannya. Siapa yang tidak akan tersentak mendengar penuturan prianya yang selalu berhasil mengejutkannya dan mengacaukan konsentrasinya.

“Sepertinya aturannya sangat jelas Tuan. Berawal dari pernikahan. Baru membicarakan masalah anak.” Heiran terlihat memperingatkan. Atau lebih tepatnya, mengingatkan Suhaa bagaimana caranya bersikap semestinya akan perasaan seorang pria memandang seorang wanita dengan terhormat dan bertanggung jawab.

“Cih, bukankah aturan dibuat untuk dilanggar? Bukankah lebih menyenangkan menunggangi dirimu terlebih dahulu sembari bercocok tanam. Itu baru luar biasa.”

Suhaa berusaha menggoda wanitanya. Membuat Heiran akhirnya berpaling dengan wajahnya yang telah bersemu, panas. Padahal, satu kedipan mata Suhaa yang begitu nakal menggodanya sudah meruntuhkan perasaannya. Meleleh hingga Heiran untuk sejenak sempat terperangkap dalam buaian tersebut. Tetapi tetap berusaha menarik kesadarannya.

Namun, untuk menghindari itu, Heiran pun kembali menimpali.

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang