20. Violin's Heart (4)

31 10 19
                                    

🔞🔞🔞🔞🔞

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


🔞🔞🔞🔞🔞











You’re tired eyes keeping wanting to leave me.

I can’t breathe. I can’t see or hold onto you

More exhausted now, stop, stop, stop

Get out of everything, step, step, step

There is no return

Even though ending it will cause tears

Heiran ingat benar secara jelas mengenai hari itu. Hari di mana musim dingin mengantarkan derai kristal berwarna putih hasil dari proses evaporasi untuk pertama kalinya. Salju pertama yang begitu indah dan sayang untuk dilewatkan. Momen yang di dalam ingatan sejatinya terasa begitu hangat bagi pasangan sejoli yang sedang memadu kasih di dalam ruang hangat dengan hujan salju yang begitu lebat sebagai pendukung suasana.

Tepat pukul 03.00 pagi dini hari, suara dentingan yang berasal dari tuts-tuts piano yang ditekan kala itu memenuhi sepenjuru ruangan. Memecah keheningan yang sunyi di mana ruang yang cukup luas tersebut terhubung secara langsung dengan kamar utama keduanya.

Hanya tinggal menuruni beberapa anak tangga yang tersembunyi di balik pintu yang berada di dalam ruang tidur keduanya, ruang tersebut begitu mudah untuk dimasuki. Sebuah ruang di mana hanya ada sebuah grand piano yang sengaja diletakkan tepat di tengah ruangan lengkap dengan fasilitas mini bar yang terdapat tepat di bagian sudut.

Bahkan tidak jauh dari sana, tepat di balik meja bar tender terdapat sebuah lemari kecil yang berisikan berbagai macam jenis minuman beralkohol dengan kadar yang berbeda. Berikut sebuah ruang tamu kecil yang memang dikhususkan untuk seseorang menikmati permainan piano Heiran secara pribadi. Bisa dibilang, ruang persinggahan rahasia yang khusus diciptakan oleh seseorang di mana berbagai aktivitas memabukkan dengan kehangatan yang intens terjadi di sana. 

Sama dengan halnya yang terjadi di antara keduanya hari ini. Bercinta di tengah melodi yang sedang mengalun secara bersamaan. Akan tetapi, untuk kali ini posisi keduanya tidak sedang dalam mode mencari kepuasan untuk melepaskan hasrat satu sama lain. Melainkan benar-benar menikmati melodi yang Heiran ciptakan dengan jari-jemarinya yang lentik yang tampak lihai menari di atas jajaran tuts pianonya. Menghasilkan alunan melodi yang saling menghangatkan perasaan satu sama lain.

Di tengah pencahayaan yang begitu minim dari ruang tersebut, posisi keduanya tampak begitu intim. Tanpa balutan sehelai benang pun yang melekat di badan, di atas sofa tunggal berukuran sedang tersebut keduanya tampak berbagi kehangatan, duduk di dalam satu sofa yang sama guna mencari kenyamanan yang begitu menenangkan. Hanya mengandalkan cahaya bulan yang masih tersisa dan meneruskan cahayanya melewati jendela berukuran besar tersebut yang berwarna gelap.

Masih di tengah kesadaran yang masih terjaga, pria itu semakin erat memeluk wanitanya dari belakang seolah enggan melepaskan wanitanya. Semakin merapatkan selimut tebal dengan rasa ingin berbagi yang kini membalut keduanya dalam balutan kain putih yang sama.

Bahkan tak heran, bila sesekali Heiran merasakan embusan napas prianya yang samar menyapa kulit punggungnya. Walaupun jujur, Heiran sedikit terganggu dengan sentuhan prianya yang sedikit pun tidak ingin memberikan ketenangan bagi Heiran dalam memainkan pianonya.

Sehingga tak ayal, kala Heiran merasakan prianya sedang berusaha meninggalkan jejak di balik permukaan jaringan epidermis bagian bahunya, sesekali suara desahan lolos begitu saja dari bibir Heiran. Membuat sang pria tersenyum puas dan semakin merapatkan tubuhnya begitu melihat respons wanitanya. Merasakan dada bidangnya semakin bersentuhan secara langsung dengan punggung wanitanya.

Di tengah alunan melodi yang semakin terdengar lembut itu, sang pria pun mengusik wanitanya dengan usapan tipis yang terasa lembut. Berbisik lirih meminta atensi.

“Terima kasih, Heiran-ie. Kau telah menuruti keinginanku hari ini.”

Saat itu Heiran hanya tersenyum dan terus melanjutkan permainannya. Tidak memedulikan gangguan sekecil itu yang kapasitasnya tidak sama dengan beberapa waktu yang lalu. Benar-benar Hobie membiarkannya menyelesaikan satu lagu yang Heiran ingin mainkan untuk suaminya.

“Bukankah aku ini begitu penurut? Bagaimana? Apa kau begitu senang?” Tanyanya seduktif, hingga Heiran kembali memejamkan matanya.

Prianya tidak sedikit pun ingin berhenti dari aktivitasnya. Terus mencumbui bagian punggungnya dengan kecupan sekilas dan juga gigitan yang samar. Perlahan menyapukan bibirnya dengan lembut menyusuri tiap jengkal permukaan epidermis milik istrinya. Seperti memeta sekaligus memberi warna di balik sana hingga Heiran pada akhirnya menghentikan aktivitasnya dengan mengakhiri permainannya. Menyadari bahwa perlakuan suaminya akan meninggalkan jejak kepemilikan di sana.

Saat itu Heiran pun menghela napas samar. Merasakan dirinya semakin direngkuh lebih dalam yang mengakibatkan kupu-kupu di dalam perutnya kembali bergejolak di saat gelenyar hangat itu kembali hadir. Hingga di saat Heiran memalingkan wajahnya, bibir tipisnya pun kembali terpaut dengan bibir lembut milik suaminya. Menyambutnya dengan pasrah dengan membiarkan prianya melakukan semaunya.

Bukan hanya sebuah ciuman biasa. Namun, ciuman tersebut perlahan berubah semakin menuntut di mana pergerakan suaminya kini semakin aktif. Menjangkau apa pun dan mengklaim apa yang ia sentuh merupakan miliknya yang sialnya kembali menenggelamkan Heiran dalam hasrat.

Posisi Heiran pun perlahan berotasi. Beralih pada posisi terbaring dan menjadikan sandaran lengan sofa tersebut sebagai bantalan kepalanya yang nyaman. Keduanya pun mengambil jeda sejenak begitu sang pria memilih menarik diri dan memberi ruang bagi wanitanya.

Di tengah embusan napas keduanya yang saling bertukar udara di mana prianya kini menindih tepat di atasnya, bayangan keduanya yang sedang tenggelam dalam perasaan murni tampak berusaha mengisi iris netra keduanya satu sama lain. Memandangi visual masing-masing dalam beberapa detik.

Hening. Keduanya pun saling terdiam. Dua detik kemudian, sang pria pun memberikan kecupan sekilas tepat di kening, lalu menyusuri paras wanitanya yang begitu cantik dengan tangan kanannya. Menyentuh tipis berikut dengan kedua netranya yang turut mengikuti setiap pergerakannya.

Merasakan uluran tangan sang pria yang kini mengusap wajahnya dengan lembut, Heiran pun menarik napas pelan. Meraih tangan tersebut dan mengecupnya sekilas hingga ia bisa melihat seulas senyum simpul menggantung di wajah prianya.

Sang pria pun tampak memberikan pandangan kagum dan memuja pada paras elok wanitanya. Begitu bersyukur bahwa dirinya bisa memiliki anugerah terindah yang diciptakan Tuhan untuk berada di sisinya. Begitu melihat wanitanya yang turut tersenyum, sang pria pun kembali menjawab pertanyaan yang sempat terjeda akibat buaiannya yang tiada hentinya menyentuh Heiran.

“Haruskah aku menjawabnya? Sepertinya, tanpa aku harus menjawabnya, ucapanku sebelumnya telah merefleksikan segalanya.”

Heiran tersenyum tipis. Seraya mengulurkan tangannya guna memainkan surai prianya dan  membelainya lembut. “Hobie, bagaimana kau bisa sepicik itu, hm? Hanya sebuah piano. Kenapa kau begitu cemburu dengan keberadaannya?”
Dengan menunjukkan smirk-nya, Hobie pun menjawab. “Bila aku tidak ada di rumah, bukankah waktumu terlampau banyak kau habiskan dengan sainganku itu?”

Heiran semakin terkekeh. Kembali menegakkan posisi duduknya dengan mendorong suaminya pelan. “Jadi itu alasanmu untuk meminta jatahmu dengan cara seperti itu?” dengan perasaan heran, Heiran menaikkan sebelah alisnya. Seolah masih tidak menyangka akan sikap suaminya beberapa waktu lalu yang memintanya begitu terang-terangan.

Akan tetapi, bagaimanapun juga sikap suaminya begitu menggemaskan di mata Heiran ketika merasa cemburu. Kali ini bukan pada sosok pria lain yang keberadaannya membuat Hobie tersisih, melainkan pianonya yang sudah menemani wanitanya layaknya seorang teman di kala Heiran sedang merasa sendiri.
Hobie pun kembali mengulurkan selimutnya. Menutupi tubuh keduanya dari hawa dingin yang walaupun samar masih terasa menembus ruangan. Padahal, penghangat dalam ruang tersebut berfungsi begitu baik. Akan tetapi, kenyataannya tetap saja, baik Hobie dan juga Heiran masih merasakan dingin meski keduanya telah melewati aktivitas yang menggairahkan untuk menghangatkan diri satu sama lain.

Saat itu, Hobie pun menyandarkan kepalanya tepat di atas bahu istrinya. Meraih tangan istrinya dalam genggaman dan mengusapnya perlahan. Menghirup aroma kamomil dari sang wanita yang tanpa sadar terpatri jelas di dalam benak.

“Wae? Bukankah tidak ada yang salah dari tindakanku. Aku hanya mengucapkan apa adanya.” Lalu Hobie pun menoleh ke arah istrinya di mana istrinya turut memandangnya dengan atensi penuh. Mengulang kembali kalimat yang pada akhirnya berhasil membuat Heiran kembali bersemu. “Mainkan aku layaknya kau memainkan pianomu.”

Hobie menggerakkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah dengan senyum nakalnya. Bermaksud menggoda istrinya dan membuat Heiran tersenyum hingga terpaksa memalingkan wajahnya. Menghindari tatapan suaminya yang seketika itu membuatnya malu sekaligus geli di waktu bersamaan. Bersemu, membuat kedua pipi milik Heiran kembali memerah dan terasa panas.

Tentu saja, bahkan baik Heiran mau pun Hobie, keduanya baru kali ini melewati proses bercinta yang jujur membuat Hobie merasakan sesuatu yang tak sanggup ia lukiskan. Kenyataannya, bagaimana Heiran memperlakukannya, Hobie merasakan surga yang ditawarkan oleh istrinya. Memasukkannya ke dalam dunia di mana Hobie seolah melihat dunia yang benar-benar merupakan milik seorang Heiran.

Menghanyutkannya untuk turut tenggelam dan membayangkan ke dalam fantasi yang belum pernah Hobie lakukan sebelumnya. Sang istri pun memainkannya layaknya alat musik, lalu membuainya dalam balutan melodi dan semakin menenggelamkannya. Memberikan sentuhan tipis yang semula samar dan beralih dengan penekanan yang nyata.

Di tengah deru napas dan juga desahan yang memabukkan serta begitu candu, Heiran mengabsen setiap jengkal tubuh milik suaminya dan menjadikan Hobie sebagai objek yang hanya benar-benar menjadi milik Heiran. Masih tidak menyangka, Heiran benar-benar menenggelamkannya hingga menyentuh dasar dalam kenikmatan di mana kala itu Hobie hanya meloloskan satu nama yaitu nama istrinya.

Bahkan untuk satu hal itu, Heiran hingga sengaja menyandingkan prianya dengan grand piano miliknya. Benar-benar seorang pianis yang sedang mengerahkan seluruh kemampuannya guna memikat seluruh perasaan Hobie. Di antara perasaan kagum sekaligus tercengang, sepertinya Hobie sama sekali tidak bisa melupakan hal tersebut.

Sontak Heiran pun memukul dada Hobie pelan dengan kesal. “Berhentilah menggodaku. Jika tidak, aku tidak mau melakukannya lagi.”

Di pukul semanja itu, Hobie pun menahan tangan wanitanya dengan tertawa geli. Meski pelan. Namun, bila dilakukan dengan konsisten, tetap saja terasa sakit. “Hentikan. Meski pelan itu juga sakit tahu.” Hobie melayangkan protes. Namun, dengan nada yang melembut sehingga tidak menyinggung perasaan istrinya.

“Benarkah? Sepertinya kau terlalu menikmati rasa sakitnya,” sindir Heiran pada suaminya yang entah sepertinya sudah kehilangan rasa malunya bila sedang berhadapan dengan dirinya.

“Tentu saja. Jika tidak, kau tidak akan segila itu menyentuhku.” Hobie mengakui dengan senang.

Dalam kehangatan dan keharmonisan yang begitu intens serta terasa damai di waktu bersamaan, keduanya pun kembali terbalut dalam rasa hangat, bergeming dalam merasakan keberadaan satu sama lain dengan cara seperti itu. Hingga menciptakan jeda sejenak bagi keduanya guna melawan rasa kantuk yang sejujurnya telah menghinggapi.

Namun, seperti inilah sikap keduanya. Satu di antara keduanya tidak ingin mengakhiri malam yang panjang ini. Di mana sisanya, keduanya lebih suka menghabiskan waktu untuk saling bicara dari hati ke hati dan menjangkau lebih dalam perasaan masing-masing. Heiran pun semakin merapatkan tubuhnya. Bergerak secara perlahan dan semakin bergelayut manja. Menjadikan dada bidang suaminya sebagai sandaran ternyaman sekaligus mencari kehangatan lebih di dalam pelukannya.
Sedangkan Hobie, merasakan hatinya menghangat kala istrinya semakin merengkuh dirinya seolah tak ingin melepaskan. Di tengah-tengah ketenangan yang tercipta, Hobie pun menghela napas samar di mana di waktu bersamaan, ia yakin kini detak jantung keduanya seolah semakin berdetak seirama, menyatu dalam kehangatan yang seintim itu.

Selang sepuluh detik terdiam, Hobie akhirnya menemukan cela untuk bertanya dengan mengusap pelan lengan istrinya yang polos dengan penuh kasih sayang.

“Chagiya, boleh aku bertanya?” suara beratnya yang begitu candu bagi seorang Heiran pun berhasil menarik perhatian wanitanya.
Sontak Heiran pun mendongakkan kepalanya. Menatap suaminya yang kini memandangnya dengan tatapan penuh arti. Dari sana Heiran bisa melihat, bahwa kali ini sepertinya ada hal lain yang ingin dibahas oleh suaminya. Terlihat dari ekspresi mukanya yang terlihat serius.

Saat itu Heiran kembali menunduk. Menjilat bibir bawahnya yang terasa kering seraya mengusap dada bidang suaminya dan semakin merapatkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya di sana seolah ingin mengenyahkan rasa kantuk yang sebenarnya masih terus menyerangnya. Namun, ia tidak berniat untuk menghancurkan harapan suaminya yang kini tampak mengkhawatirkan sesuatu. Sehingga sebisa mungkin kala itu Heiran mengimbangi. Mempertahankan kedua kelopak matanya agar tetap terbuka. Begitu penasaran akan apa yang hendak ditanyakan oleh suaminya.

“Eung. Memang Oppa ingin bertanya tentang apa?” responsnya memberikan suaminya kesempatan untuk bertanya. Mempersilakan meskipun dirinya sendiri sedang berusaha mempertahankan kesadarannya agar tidak menyinggung hati suaminya yang masih tampak bergeming. Seolah menimbang apa yang harus ditanyakan.

Seketika itu, dengan yakin, Hobie pun menandas. “Tentang perasaanmu.”

Satu detik. Dua detik. Hobie memperhatikan pergerakan Heiran yang masih terlihat tenang. Bahkan deru napasnya yang lirih juga terasa begitu teratur. Entah memahami atau bahkan berpikir, di balik diamnya, Hobie yakin istrinya sedang bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh suaminya ini yang tampak berhati-hati. Namun, tidak ada jawaban. Sehingga Hobie memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya.

“Sebenarnya, lebih tepatnya mengenai apa yang sebenarnya sedang kau rasakan. Di antara sekian banyak alat musik, aku ingin mengetahui alasan di balik mengapa kau memilih piano untuk kau mainkan. Padahal, meski terlihat tidak memperhatikan, tapi aku tahu kau bisa memainkan alat musik yang lain.”

Heiran menghela napas samar, lalu mendongak memandang suaminya kembali yang kini menatapnya. “Memang apa yang bisa aku mainkan selain piano?” tanyanya datar.

Heiran mulai menegakkan duduknya. Memilih beranjak dari posisinya untuk duduk bersisian dan menunggu. Seperti meragukan sesuatu yang tak mampu ia jelaskan. Apa yang sebenarnya Hobie perhatikan di saat dirinya sendiri seolah tidak menyadari sesuatu. Atau lebih tepatnya, mengingkarinya di dalam hati.

Dengan wajah sendunya, Heiran kembali membuka mulutnya untuk angkat bicara. “Hanya alat musik itu saja yang tampak mudah untuk dipelajari. Sisanya ....” lagi Heiran menarik napas berat. Begitu enggan membicarakan hal ini. “Terlalu sulit untuk dipelajari.”

Melihat perubahan ekspresi yang begitu kentara seperti melihat awan mendung mulai menaungi di atas kepala istrinya, Hobie pun menarik kembali Heiran dalam pelukannya. Berusaha memberikan ketenangan walaupun tidak terlalu banyak yang bisa ia lakukan. Mungkin situasi ini merupakan momen yang kurang tepat untuk membahas masa lalu.

Tapi, bagaimana pun Hobie yakin, baik buruknya masa lalu itu, kenangan tersebut tetaplah menjadi milik Heiran, wanitanya yang kini masa lalunya pun turut menjadi milik Hobie.

“Aku yakin ... Heiran-ku tidak seperti ini,” ucapnya menenangkan. Menautkan kembali jemarinya di sela jemari milik wanitanya sembari berbagi kehangatan. Meyakini satu hal yang ia yakin hal tersebut bukanlah bagian dari dalam diri Heiran. Yang Hobie tahu, Heiran-nya bukanlah seseorang yang begitu mudah memutuskan sesuatu mengenai penilaian dirinya.

Bola mata Heiran kala itu hanya tertuju pada genggaman tangan itu, meski rungunya masih berkonsentrasi akan detak jantung suaminya yang jauh lebih menenangkan perasaannya. Sebelum pada akhirnya Hobie memberikan kecupan sekilas di bagian punggung tangan kanan milik istrinya. Lalu meletakkannya tepat di dada seolah ingin menyampaikan perasaan tulusnya pada Heiran akan keberadaannya yang nyata.

“Bukan sulit untuk dipelajari,” lanjut Hobie yang kini menyandarkan kepalanya tepat di atas kepala wanitanya. Menatap kosong ke arah grand piano yang baru saja dimainkan oleh wanitanya dengan datar. Atensi penuhnya hanya tertuju pada wanitanya yang kini mencari posisi ternyaman di tengah perasaan yang tak menentu.

Lalu Hobie, pun melanjutkan. “Lebih tepatnya ... aku tahu, diam-diam kau mempelajarinya. Memainkannya di saat aku tidak ada. Aku tahu kau bisa memainkan sebuah violin.”

“Tidak ada yang semacam itu,” tampik Heiran seraya menelan salivanya dengan susah payah. Tidak mengerti akan dirinya sendiri, gamang.

Tiba-tiba saja punggungnya terasa meremang. Bukankah harusnya ia begitu tenang menanggapi ucapan suaminya yang kini sedang ia refleksikan secara terbalik. Entah bagaimana harus menjelaskannya.

Di saat di dalam sana batin Heiran sedang berbisik memohon pengakuan jujur, tapi di dalam situasi seperti ini, wanita itu enggan untuk mengakui. Lalu, dengan tegas, Heiran mengulang. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya memainkan sebuah violin karena aku tidak memilikinya.”

Hobie pun menarik napas pelan dengan mengangguk, dalam hati ingin tertawa. Berusaha memahami. Namun, ia menghormati perasaan wanitanya. “Benarkah? Jika begitu, apa kau mau bilang bahwa pendengaranku salah? Heiran-ie berhentilah berkhianat pada hatimu. Jika kau sungguh tidak tahu cara memainkannya dan juga beralasan bahwa kau tidak memilikinya, lalu ... tas violin berwarna hitam yang berada tepat di atas rak gantungan bajuku, apa itu milikku? Aku melihatnya, nama yang tertera di sana. Mrs. Sargas.”

Seketika itu Heiran bergeming. Satu nama itu berhasil membuatnya tersentak. Teringat kembali akan kematian ibunya yang sungguh hingga hari ini ia masih menolaknya. Begitu enggan mengakui kebenaran tersebut dan berjalan dalam bayangan kenangan ibunya. Kenangan akan kebenaran bahwa ibunya telah tiada yang selalu berhasil membuat sekujur tubuhnya berdenyut nyeri dan terasa kaku di persendian.

Saat itu, dalam diamnya air mata Heiran kembali meluruh tanpa ia sadari. Membasahi kedua pipinya yang dingin berbaur dalam hangatnya derai gerimis. Seolah sesuatu baru saja memukul pusat dadanya.

Bahkan usapan kecil suaminya yang begitu hangat dan juga lembut semakin memperparah isak tangisnya. Perlahan punggungnya yang semula tampak mencoba bertahan dalam benteng ketegaran, kini bergetar begitu benteng itu telah hancur.

Bagaimana, bagaimana Hobie bisa menyadarinya di saat selama ini Heiran telah berpikir menyembunyikannya dengan baik? Bahkan, saat memainkannya pun, Heiran selalu memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya di dalam sana. Menangis dalam gelap seorang diri, meraung guna melepaskan rasa sakit yang mendera dirinya.

Di kala netranya yang sembab mengerjap mencari bayangan jelas dalam ruang hampa yang menyesakkan, memori sejati yang terpendam di dalam sana laksana sebuah file yang pada akhirnya kembali terbuka di luar kendalinya. Menyaksikan kembali kilas balik akan kenangan yang begitu hangat, bahwa kesempurnaan akan bayangan keluarga yang ditunjukkan padanya selama ini seolah hancur hanya pada malam yang kelam itu.

Heiran pun memilih mengurai pelukannya. Dan kembali memeluk kedua lengannya. Jika mengingatnya, ia merasa begitu hancur. Namun, bila begini bukankah hal ini semakin menyakiti suaminya? Kenyataannya, di tengah batinnya yang berperang, ia tahu selama ini Hobie berusaha menyembuhkan lukanya.

Mengulurkan tangan agar menarik Heiran dari lembah yang begitu gelap. Tiba-tiba saja Heiran tersenyum hambar. Faktanya, apa yang ia lakukan sedikit pun tak pernah mengikis rasa sakitnya akan rindu yang tak mampu ia luapkan. Dengan menjadikan bibir bawahnya sebagai korban dari gigitan giginya yang tajam, Heiran tertawa miris.

“Kau ... melihatnya, ya?” ucapnya pelan. Berusaha memperjelas suaranya yang terdengar gemetar. Bagaimana pun, hal ini terlalu menyesakkan. Bahkan untuk meluapkan emosinya, terlampau sulit bagi Heiran untuk berkata jujur.

Dengan lemah, Hobie pun mengangguk. Sedikit menyesal telah menyinggung hal ini. “Hm. Aku tahu kau lelah. Hingga detik ini, aku yakin kau tidak bisa melupakannya. Tapi, bukankah kau tidak sendiri dalam menghadapinya? You are not alone, Honey,” yakinnya sekali lagi.

“Sungguh kau ingin tahu?” dengan kedua netranya yang telah basah, Heiran memandang suaminya yang ekspresinya kini terlihat teduh, memahami.

Hingga ia melihat sebuah anggukan dari suaminya. “Hm.” Hanya jawaban non verbal yang bisa Hobie berikan.

Melihat kesungguhan suaminya, Heiran kini pun mengulurkan tangannya. Meletakkan tangan kanannya tepat di pipi suaminya dengan pandangan yang masih menunduk. Tidak yakin ingin mengakui hal ini. Setelah beberapa detik menimbang dengan menarik napas berat dalam satu tarikan napas, Heiran pun memilih menarik suaminya. Menyatukan keningnya dengan kening suaminya guna mencari pegangan agar tidak jatuh. Ya, kali ini Heiran merasa begitu rapuh dan takut akan kebenaran hal tersebut.

“Kau benar. Bukan tidak bisa. Namun ... memang aku yang begitu enggan mengakui. Jika seperti ini, aku menyedihkan, bukan? Kau benar, meski aku lelah, aku mengakui, aku masih ingin menggapai dirinya yang kenyataannya sulit untuk kuraih. Kau juga benar, aku bisa memainkannya. Memainkan violin milik ibuku yang keberadaannya pun kini telah kau ketahui. Aku ....”

RetrouvailleWhere stories live. Discover now