16. Escape (2)

20 9 8
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.








Tiada terasa, langit yang semula dinaungi awan gelap dengan dinginnya atmosfer di luar sana, kini berubah dengan pagi yang masih belum menampakkan matahari seutuhnya. Dari pada eksistensi mentari yang begitu hangat yang sangat diharapkan, suasana pagi itu cenderung didominasi oleh awan mendung yang perlahan berjalan, mencoba menjangkau seluruh permukaan wilayah negara tersebut dengan kabut tipis.

Sudah pukul 06.00 pagi, kesendirian Heiran berhasil mengusik pikirannya yang tenang. Tidak biasanya, Suhaa akan meninggalkannya tanpa kabar. Bahkan sejak semalam, ponsel milik kekasihnya pun sulit untuk dihubungi. Antara rasa khawatir dan overthinking yang berlebihan, Heiran kala itu tidak bisa berpikir jernih.

Dalam ingatan Heiran, setelah mengantarnya pulang terlebih dahulu, Suhaa pun kembali ke gedung opera tersebut dengan dalih latihannya hari itu masih belum selesai. Karena Suhaa merasa tidak tega melihat Heiran yang tampak menunggu dengan bosan. Bahkan sayup-sayup kedua kelopak matanya nyaris terlelap. Suatu bukti yang tak mungkin Heiran hindari bahwa malam itu dirinya memang begitu lelah.

Dalam balutan baju tidurnya dengan motif bergaris biru horizontal yang menggradasi warna utama piama tersebut yaitu putih, Heiran tampak duduk di sudut sofa dengan menggenggam sebuah buku dalam genggaman. Akan tetapi, netranya yang berwarna kecokelatan masih menghadap ke arah pintu masuk yang ia harapkan akan segera terbuka dan menampilkan sosok seseorang.

Alih-alih merasa tenang, ingatannya yang turut menyaksikan akan kehadiran seseorang yang eksistensinya entah kapan membuat Heiran merasa terganggu, membuat Heiran kembali berpikir. Apa mungkin Suhaa kembali hanya untuk wanita tersebut? Ah, tidak. Tidak mungkin begitu. Lagi pula, apa haknya yang masih begitu mengkhawatir hal tersebut? Sedangkan dirinya sendiri, baik hati dan juga pikirannya masih terus tertuju pada Hobie.

Benar, jika mengingat nama tersebut, seketika itu kenangan menyakitkan mengenai pria tersebut kembali hadir. Namun, seperti hal-hal yang sudah ia lakukan untuk mengenyahkan rasa sakit itu, Heiran menarik napas berat dan berusaha menutup celah kesempatan yang akan kembali membuatnya dirundung derai gerimis.

Di tengah lamunannya yang ia alihkan dengan segera membuka halaman buku yang ia pegang, suara kenop pintu yang diputar dan didorong masuk ke dalam pun mengusik Heiran. Terlebih beberapa waktu lalu sebelum pintu terbuka, ia sempat mendengar seseorang sedang menekan tombol untuk memasukkan kata sandi agar bisa masuk ke dalam apartemennya. Menampilkan sosok yang semalam ia tunggu kehadirannya.
Dengan langkah ringan dan tanpa beban, Suhaa melangkahkan kakinya untuk mendekati Heiran. Memberikan kecupan hangat selamat pagi tepat di kening wanitanya sebelum duduk di sisinya. Dengan malas dan tubuh yang serasa remuk, Suhaa menyandarkan kepalanya begitu menguap sekali. Tidak bisa menyembunyikan rasa kantuknya yang masih menghinggapi.

“Selamat pagi,” ucapnya di pagi hari hingga membuat Heiran menoleh. Seolah tidak menyadari kekhawatiran Heiran yang telah menunggunya semalaman. Terjaga dalam tidur yang tidak mengenakkan. Terbangun di tengah malam lalu kembali terlelap. Tergugah kembali setiap satu jam terlewat.

“Kau! Kau baru kembali pagi ini tanpa memberiku kabar? Bahkan aku begitu sulit menghubungimu semalam.”

Ekspresi yang sangat mudah ditebak dan telah diprediksi oleh Suhaa begitu ia kembali. Sudah jelas Heiran akan bersikap seperti ini dan mencecarnya dengan berjuta pertanyaan. Masih dengan bersikap tenang, Suhaa menyugar surai blonde-nya dengan malas sembari memejamkan mata.

“Memang sejak kapan kau mulai mengkhawatirkan aku? Bahkan terkadang kau lebih mengkhawatirkan hal lain yang jauh dari dirimu ketimbang diriku yang berada di dekatmu.”

Terenyak. Jawaban balasan yang Heiran dengar seketika itu membuatnya bergeming. Lebih-lebih di saat melihat Suhaa kembali dengan kemejanya yang sedikit turun dari bahunya. Tampak lusuh dan berantakan. Lalu ...

Heiran kembali tersentak kala mendapati kissmark di dekat leher. Meski jujur kemarin ia terhanyut dalam kenikmatan. Namun, Heiran masih dengan kesadaran penuhnya untuk mengingat apa pun yang ia tinggalkan pada kekasihnya. Entah mengapa, tiba-tiba saja melihat tanda kepemilikan tersebut membuatnya tercekat. Sampai-sampai hanya untuk bicara saja ia kesulitan. Sebuah palu baru saja dihantam begitu keras tepat ke pusat dada. Memutus jalurnya napas yang semula bebas lalu beringsut menjadi sesak.
Seolah tidak ada rasa bersalah dari ucapannya, Suhaa pun bangkit berdiri, hendak beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya seraya mengusap puncak kepala Heiran dengan sayang. Hingga suara Heiran yang terdengar sedikit gemetar menginterupsi. Tanpa menatapnya dan masih menunduk ke arah buku yang ia genggam.

“Mungkin ... kau tidak menyadari aku memperhatikan atau tidak. Tapi ... bisakah aku mengatakan bahwa kau semalam bersama Vivian? Apa yang kalian lakukan semalam?”

Lelah, Heiran begitu lelah akan perasaan yang pernah singgah dan nyaris membunuhnya. Lagi, entah mengapa di waktu bersamaan saat mengucapkannya Heiran merasakan denyut nyeri menyentuh atmanya. Menjalar ke sekujur tubuh hingga tidak menyisakan ruang. Apa lagi ini? Apa perasaan ini yang kembali meruntuhkan Heiran? Wanita tersebut menggigit bibir dalamnya sebagai sasaran. Berusaha menahan isak tangis yang nyaris meledak. Dengan berat hati ia menahan perasaannya yang entah, sulit untuk ia artikan.

Detik itu juga, tanpa berbalik, masih dengan santainya, Suhaa pun menjawab. “Memangnya apa yang akan dilakukan seorang pria dan wanita yang tinggal dalam satu atap untuk semalam, hm? Lagi pula ... aku pria normal, Heiran-ie, yang masih begitu mudah terangsang jika seorang wanita menggodaku.”

Seolah memperjelas ptongan-potongan bayangan yang ada dalam kepala Heiran dan membuatnya teringat akan ucapan sama persis yang begitu Heiran benci, ekspresi tanpa ragu, begitulah yang dilihat oleh Heiran terhadap Suhaa yang bahkan keinginan untuk menyembunyikannya pun tidak ada. Hening. Begitu tidak terdengar lagi respons yang diberikan oleh Heiran, Suhaa pun dengan enggan kembali melanjutkan langkahnya.

“Aku ingin membersihkan diri,” tandasnya terakhir kali untuk menutup konversasi mereka pagi itu.

Saat itu Heiran menghela napas kasar di tengah pertahanannya yang goyah dan diiringi air mata yang meluruh, saat itu jaga sosok tersebut meloloskan napas sesak yang sedari tadi ia tekan. Netranya yang sedari tadi terasa panas akhirnya kini berada di puncaknya. Bersamaan dengan punggung Suhaa yang pergi menjauh.

Tanpa pikir panjang, selang beberapa saat menunggu guna memastikan Suhaa benar-benar menghabiskan waktunya untuk membersihkan diri, Heiran pun mengambil tas ranselnya dan mulai mengemasi pakaiannya. Tanpa berpamitan, atau apa pun. Tanpa pikir panjang, yang ada dalam pikirannya kala itu hanya melarikan diri guna menenangkan pikiran.
























RetrouvailleWhere stories live. Discover now