37. Speechless (5)

76 10 2
                                    

Tidak terasa, waktu yang bergulir begitu cepat bagi Hobie dan juga Heiran di mana selama itu hanya ada kedamaian dalam rumah tangga keduanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak terasa, waktu yang bergulir begitu cepat bagi Hobie dan juga Heiran di mana selama itu hanya ada kedamaian dalam rumah tangga keduanya. Masih dalam pemikiran yang rasional dan juga kewarasan penuh, Hobie selalu berusaha menepati janjinya. Menjadikan Heiran sebagai prioritas utama yang sedikit pun sejak pernikahan keduanya tidak ada konflik yang memaksa Heiran untuk menangisi sesuatu hal. Ya, Hobie menepati janjinya untuk membahagiakan Heiran, hidupnya dan juga napasnya.

Meski sadar benar, terkadang ada rasa cemas yang menyelubungi keduanya akan suatu hal. Awalnya Hobie tidak mengerti, entah apa yang membuat Heiran selalu mengendap-endap menghilang dari pandangannya begitu selesai bercinta dengannya. Namun, tidak sedikit pun Heiran menutupi apa pun dari Hobie. Bahkan Hobie juga membenci dirinya yang selalu merasa lelah luar biasa disertai pening dan juga gejala yang mirip flu pasca bercinta.
Saat itu, Heiran yang berada dalam balutan piama tidur berwarna merah dengan model kimononya yang berbahan satin keluar dari kamar mandi dengan langkah enggan. Ekspresinya memang terkesan lelah, akan tetapi Hobie menemukan kekhawatiran di sana. Tidak mengerti apa yang terjadi pada wanitanya hingga terdiam seperti sekarang ini.

Begitu Heiran mendapati sisi ranjang, wanita tersebut pun perlahan kembali ke posisinya semula. Menyelusup di balik selimut. Namun, seraya menyusun bantal tidurnya untuk disandari. Masih dengan ekspresi cemberutnya yang tampak begitu bingung.

Lantas Hobie pun menggeser tubuhnya. Meletakkan kepalanya di atas pangkuan wanitanya dan memeluk kedua kakinya. “Kau dari mana, hm? Aku jadi kehilangan gulingku yang nyaman beberapa waktu lalu.”

Saat itu, dengan penuh perhatian, Heiran mengusap kepala suaminya dengan sayang yang sedang bergelayut manja padanya. Dengan seulas senyum hangat, Heiran pun menjawab, “Hanya sedang membersihkan area yang terasa kurang nyaman.”

“Apa aku terlalu kasar memasukimu?” tanya Hobie dengan suara khas bangun tidurnya yang terdengar serak dan masih memejamkan matanya. Bersamaan menahan pening di kepalanya yang masih terus berdenyut dan jelas terasa. Tubuhnya terlalu lelah hanya untuk sekadar membuka mata. Jadi hanya menanggapi Heiran dengan posisi ternyamannya. Meski hanya berbalut selimut guna menutupi tubuhnya yang tidak mengenakan apa pun.

“Bukan masalah itu. Hanya saja, aku tidak mengerti apa yang kurasakan. Tiba-tiba saja aku merasakan area kewanitaanku terasa tidak nyaman. Kau tahu, seperti rasa gatal yang pada akhirnya menyebabkan ruam, seperti alergi. Sepertinya aku menderita alergi. Mungkin karena aku salah makan sesuatu. Karena bukan hanya bagian itu, ada juga ruam di bagian perut dan juga dada.”

Mendengar sesuatu menyentak hatinya, Hobie pun membuka mata. Mendongak pada wanitanya yang kali ini tertunduk dan terlihat murung. “Sejak kapan kau merasakan seperti itu?” akhirnya Hobie bertanya. Mulai menyadari sesuatu yang dirasa sama. Namun, hanya dirinya yang tahu. Tidak ingin mengungkapkan apa pun pada istrinya.

Heiran mengembuskan napas pelan. Mencoba mengingat kapan ia merasakan hal seperti ini. Namun, ingatan lemah Heiran yang sepertinya memang tidak terlalu peka terhadap dirinya sendiri pada akhirnya membuat dirinya menggeleng lemah. “Aku tidak ingat. Sepertinya baru setelah menikah, aku merasakan seperti ini karena sejak kecil aku juga tidak memiliki riwayat alergi apa pun.”

Saat itu Hobie hanya berusaha menggarisbawahi seraya mencerna. Tidak terlalu menitik beratkan hal tersebut hingga di kemudian hari. Mengetahui fakta bahwa kenyataannya wanitanya menderita human seminal plasma hypersensitivity atau human seminal plasma allergy yang jujur, cukup menghantam batinnya di mana baik dirinya sendiri atau pun juga Heiran sama-sama merasakan kepedihan yang luar biasa. Mengingat bahwa kondisi inilah yang menjerumuskan rumah tangganya terjebak dalam masalah.

***

Sejak saat itu, rasa-rasanya Hobie tidak dibiarkan barang sedikit pun memperoleh ketenangan. Setahun, dua tahun, mungkin Hobie tidak terlalu mempermasalahkan masalah keturunan mengingat kesibukannya sendiri yang terlampau padat. Hanya bisa menyisakan akhir pekan dengan waktu yang berkualitas bersama Heiran dan tahu bagaimana caranya untuk tetap membahagiakan istrinya. Memegang sumpahnya akan apa yang pernah ia ikrarkan.

Namun, begitu ia mendapatkan tekanan dari ibunya, seketika itu Hobie kehilangan sikap bijaknya untuk terus berpikir rasional sekaligus ketenangan secara emosional. Bagaimana tidak, setiap perihal acara apa pun, baik ibu dan juga ayahnya terkesan menuntut agar segera memberikan keduanya seorang cucu yang jelas, meski keduanya tidak memintanya sekalipun, Hobie dan Heiran sedang berusaha untuk hal itu. Berusaha mengupayakan cara apa pun agar keluarga kecilnya segera sempurna sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun, Hobie juga pada akhirnya tidak bisa membuat Heiran menderita setiap kali bercinta dengannya.

Berat, segalanya terasa begitu menekan Hobie dan juga Heiran, sehingga kehidupan tenang rumah tangganya yang begitu jauh dari pertikaian, kini nyaris setiap harinya rumah besar itu dipenuhi dengan suara bernada tinggi milik mereka. Tak terkecuali tangis Heiran yang selalu pecah dan berakhir dengan Hobie yang selalu melarikan diri. Meninggalkan Heiran dalam masalah yang membelit kehidupan keduanya tanpa adanya pelukan di sana. Tidak seperti Hobie yang biasanya akan berusaha menenangkan wanitanya dengan tetap merengkuhnya dan memberikan perasaan aman. Berbanding terbalik dengan saat ini di mana setiap harinya hanya hawa dingin yang selalu menyelimuti seorang Heiran. Tidak ada kehangatan yang menenangkan sedikit pun.

Bahkan Hobie ingat benar akan setiap teriakan yang memenuhi rumahnya yang semula begitu damai hingga berubah seperti lembah neraka. Tepat di usia pernikahannya yang menginjak empat dan lima tahun. Perdebatan pun selalu terdengar nyaris setiap harinya karena masalah yang sama.

“Aku sudah tekankan padamu, bahwa masalahnya ada padamu, Heiran!” suara bariton Hobie yang membentak Heiran menggema dalam ruang peraduan keduanya. Menyisakan ketegangan yang mampu merontokkan tulang dan melumpuhkan seluruh persendian Heiran.

Kilat mata Hobie yang begitu tajam sedikit pun tiada niatan untuk sedikit saja memberikan keteduhan batin untuk Heiran. Sesuai ingatannya, Heiran yang kala itu menghadapi dirinya yang begitu keras menunjukkan kedua netra kecokelatannya yang sedikit pun tak lolos dari genangan air mata. Bergetar seolah hanya melalui tatapan mata saja, Hobie bisa melihat segalanya akan refleksi yang tercipta di dalam sana.

Bahkan Hobie yakin, hanya untuk memandangnya dengan tegar saja, pasti-lah pandangan Heiran dipenuhi kabut tebal dan akan kembali memberikan penglihatan yang jelas begitu ia meluruhkan cairan bening tersebut. Meluruh melewati kedua pipi wanitanya yang menegang. Sesak dan nyeri, Hobie pun merasakannya. Seolah Hobie benar-benar lupa akan sumpahnya mengenai setiap air mata Heiran yang meluruh. Bertanggung jawab atas derai gerimis tersebut yang selalu berjalan beriringan dengan goresan luka baru.

Hobie ingat benar bagaimana ekspresi wanitanya yang tampak begitu lelah dan berusaha membela diri untuk memohon perlindungan, menyerah. Bodohnya, Hobie justru enggan mengulurkan tangan dan semakin menelanjangi harga diri wanitanya yang kala itu terlihat begitu kuyu akan situasi yang menekan.

“Kau pikir aku ingin?! Sedikit pun aku tiada niatan untuk tidak memberikanmu keturunan!”

Hobie justru menyeringai mendengar jawaban Heiran yang terdengar menggelikan. Padahal segalanya begitu jujur. “Oh, ya?! Faktanya kau selalu memaksaku menggunakan pengaman setiap kali kita bercinta! Itu artinya kau menolakku! Menolak benihku!” Hobie mencengkeram kedua lengan istrinya begitu kasar hingga dirinya bisa melihat wanitanya meringis nyeri.

Dengan napas yang terisak, Heiran pun membalas, bingung. “Tidak seperti itu Hobie! Katakan, aku harus bagaimana?! Selama ini aku sudah berusaha agar terbiasa dengan ....” Heiran terjeda. Tidak bisa menyebutkan cairan yang harusnya sanggup menjadikannya seorang wanita yang sempurna. Sungguh, Heiran merasakan tenggorokannya seperti tercekik, sesak, bila diperlakukan seperti ini. Meski terasa pening, suara lemahnya berhasil menuturkan ucapannya yang tertahan. “Benihmu.”

Netranya yang berkaca-kaca masih menatap Hobie dengan pilu. Lalu meneruskan, “Apa sekali saja kau tidak ingin memahami perasaanku?! Aku sama sepertimu! Aku juga terluka! Aku tahu kau begitu menginginkan anak dariku! Aku bahkan begitu benci pada diriku yang tak mampu membahagiakanmu! Bukankah selama ini kita telah berusaha?! Aku telah melakukan cara apa pun sesuai petunjuk dokter agar aku terbiasa dengan cairan milikmu! Segalanya membutuhkan waktu! Tapi bisakah kau bersabar?!”

“Cih, bersabar?! Lima tahun Heiran-ie, lima tahun!” Hobie seraya menunjukkan jumlah jarinya yang menunjukkan usia pernikahan keduanya untuk menekankan setiap ucapannya. “Kau pikir aku tidak bersabar?! Kau pikir ibu bisa menunggu?! Bagaimana aku bisa menahan diri bila keluargaku terus mendesakku?!” Hobie semakin menekan Heiran. Nyaris, memberikan bekas di kedua lengan istrinya.

Air mata Heiran semakin meluruh. Begitu lemas, tak sanggup memandang suaminya yang terus menyudutkannya. Berasumsi bahwa hal ini adalah kesalahannya. Padahal, Heiran tidak menginginkannya. Bagaimana pun, selama ini ia sudah berusaha. Melakukan segalanya sesuai petunjuk dokter. Berusaha mendukung dirinya sendiri agar tidak menyerah. Namun, selalu, selalu saja Hobie tanpa peduli selalu menghancurkannya dengan kalimat-kalimat pedasnya.

Bahkan dirinya sampai harus menelan pil anti alergi hanya untuk mengurangi efek yang dihasilkan oleh alergen yang begitu mengganggu dirinya. Sampai-sampai Heiran yang berputus asa ingin sekali saja mengucapkan bahwa dirinya ingin mengakhiri hal ini. Namun, faktanya, Tuhan memang memberikan ujian tersebut untuk dihadapi oleh keduanya dan sedikit pun keduanya tak bisa menghindarinya.

“Kumohon Hobie,” ucap Heiran lemah. Terkesan memohon hanya agar Hobie sedikit memberi pengertian. Suaranya terlampau serak untuk membantah. Berusaha melepas cengkeraman itu. Namun, ia memberontak seperti apa pun, Hobie semakin menggenggam erat dirinya. “Dengan aku melakukan pengobatan, kau pikir aku tidak berusaha?! Aku berusaha untukmu! Untuk keluarga kecil kita!”

Entah apa yang merasuki Hobie. Bukannya mengerti, Hobie semakin tertawa menghina. Tidak ada kelonggaran sedikit pun di sana. “Benarkah, Sayang?”

Entah mengapa, mendengar bagaimana Hobie menyebut wanitanya, terdengar begitu sakit di telinga Heiran. Terlebih sisanya, dari bagaimana Hobie memperlakukan Heiran dengan begitu biadab.

“Kalau begitu tunjukan padaku! Apa hasilnya dari pengobatanmu yang terus membuatku harus menunggu dan bersabar?! Bahkan aku juga menemanimu agar kau bisa menggunakan aku. Menggunakan cairan milikku agar kau terbiasa!”
Heiran melebarkan mata, tak menyangka. Tidak pernah melihat Hobie yang seperti ini.  Detik berikutnya, Hobie pun dengan kasar menelanjanginya dan ingin menikmati tubuhnya. “Hobie, kumohon tidak seperti ini!” pekik Heiran akan pergerakan Hobie yang tiba-tiba dan mengejutkannya. Suara robekan akan gaunnya yang ditarik paksa kala itu pun seolah lesap oleh kemarahan suaminya.

“Bukankah kau ingin membuktikannya?! Kalau begitu kau harus bisa melahirkan anakku!”

Hobie mulai menyapukan bibirnya secara paksa tepat ke bibir Heiran. Berusaha mengabsen apa pun dengan penuh penekanan. Heiran berusaha meloloskan diri. Memberontak dengan cara apa pun yang Heiran bisa sebelum Hobie memaksakan dirinya masuk. Tidak ingin membiarkan Hobie menyentuhnya dengan cara seperti ini. Akan tetapi setiap usahanya sia-sia. Semakin ia berusaha melarikan diri, Hobie akan mengungkungnya lebih erat. Kembali memosisikannya agar mudah untuk dimasuki.

“Hobie, tidak! Kumohon!” Heiran berusaha mendorong di tengah posisinya yang tersudut. Namun, perbedaan tenaga jelas terlihat. Hingga yang Heiran takutkan pun terjadi. “Ah!”

Heiran pun tak kuasa memekik. Menjerit ‘sakit’ di saat milik suaminya menyusup masuk secara paksa ke dalam pusat tubuhnya. Heiran berusaha menahan kedua lengan suaminya yang semakin mengungkungnya dengan erat. Berusaha membelenggunya tanpa ingin memberi ruang gerak.

Namun, sayang, jeritan Heiran yang memenuhi ruang peraduan tersebut semakin menjadi setiap Hobie memasuki dirinya secara beruntun dan memainkan miliknya secara brutal. Tidak ada kelembutan di sana sekaligus pemanasan. Betapa setiap hujamannya terasa begitu perih dan nyeri di pusat tubuh wanitanya. Bahkan Hobie sendiri. Ia tahu telah menyakiti wanitanya. Ia tahu dirinya telah menorehkan luka. Namun, rasa frustrasinya jauh lebih mampu untuk menguasai dan menutup matanya.

Meski dalam aktivitasnya yang seharusnya dirasa begitu menyenangkan dan menggairahkan yang dibalut dengan berbagi kehangatan sekaligus kelembutan, segalanya telah terselimuti dalam bayangan gelap. Rungunya sedikit pun tak menaruh atensi, tuli terhadap argumen apa pun yang selalu mencecar dirinya dan menggunakannya sebagai media penengah agar dirinya seharusnya tetap bersikap bijak dan berkepala dingin.
Akan tetapi, mau bagaimana pun, sindiran sarkasme sang ibu yang selalu merendahkan wanitanya dengan desakkan yang membuat Hobie sesak, serasa tumpang tindih dengan permohonan Heiran yang ingin diberi pengertian. Pada akhirnya, dirinya juga-lah yang menulikan segala argumen yang selalu berhasil menyulut dan membuat emosinya meledak. Hitam dan putih, segalanya tampak sama di mata Hobie yang kini diselimuti oleh pekatnya kegelapan.

Di saat ia memeluk Heiran agar tidak memberontak dan menenggelamkan wajahnya di antara area perpotongan bahu dan leher Heiran, tanpa diketahui wanitanya Hobie pun turut menangis. Bahkan setiap jeritan Heiran semakin menggerus perasaan Hobie yang turut begitu sakit.

Namun, dirinya yang masih gelap mata dan dipenuhi nafsu serta amarah, hanya bisa menanggalkan logika dan pemikiran rasionalnya. Memaksa Heiran melayani dirinya dengan posisi apa pun yang ia inginkan dengan cara yang terbilang buruk. Sedikit pun, sedikit saja Heiran tidak merasakan kelonggaran di sana hingga Hobie membalik tubuhnya. Memunggungi dirinya meski pusat tubuhnya masih terus terkoyak. Tidak sedikit pun memberi jeda hanya untuk menghilangkan rasa nyeri yang pada akhirnya melebur dalam kenikmatan dan keterpaksaan.

Tidak seperti wanitanya yang tidak mengenakan apa pun, kemeja Hobie yang begitu berantakan membuat Hobie tersadar kala itu. Dirinya begitu biadab meniduri istrinya seperti seorang jalang. Hal yang sungguh tidak seharusnya Hobie lakukan dan melanggar nilai kepantasan. Begitu Hobie mendapatkan pelepasannya, saat itu ia begitu enggan meninggalkan Heiran yang kini tidak berdaya.

Merasa tidak memiliki muka, Hobie yang memeluk Heiran pun berbisik di mana wanitanya masih dalam posisi memunggungi dirinya. Tertelungkup seraya mengeratkan pegangannya. Dengan perlahan Hobie menarik miliknya. Meraih selimut untuk menutupi punggung wanitanya yang masih bergetar hebat. Di tengah aktivitas keduanya yang bergairah, Heiran tiada hentinya terisak. Menjeritkan nama Hobie untuk sedikit saja memberikan pengampunan. Akan tetapi, apa yang terjadi tidak bisa kembali. Sekujur tubuhnya terlampau sakit akan setiap sentuhan yang memuakkan sebelumnya.

Dengan rasa menyesal, Hobie yang memeluk punggung Heiran hanya bisa berucap. “Maafkan aku. Aku bersalah. Aku membuatmu takut dan melukaimu.”

Hingga dalam kondisi seperti ini pun Heiran masih merintihkan kalimat yang sama. “S-sakit Hobie. Kenapa kau seperti ini?” Suara Heiran terdengar lemah. Menggenggam erat seprei yang menjadi saksi bisu kebiadaban suaminya. Air matanya pun tiada hentinya meluruh melalui kedua sudut matanya yang kini kepalanya ia posisikan dalam keadaan miring. Berusaha menstabilkan degup jantungnya dan meredakan isak tangisnya yang terasa sesak. Sungguh, Heiran tidak bisa membayangkan dan berpikir apa pun saat ini. Ia hanya tahu sekujur tubuhnya terasa remuk dan sakit. Begitu letih hanya untuk semakin mengungkapkan apa yang ia rasakan. Tidak terkecuali pusat tubuhnya yang terasa panas dan perih.

Hobie pun masih bergeming, turut menahan tangisnya. Meski samar, Heiran bisa mendengar suaminya yang turut terisak. Namun, suaranya terkesan ditahan. Tidak ada kata yang lebih pantas untuk Hobie ucapkan selain kata maaf. “Maaf, Heiran-ie.”





























Hai.... long time no see🌻🌻🌻
Really miss u guys...
Btw... udah mulai menangkap sesuatu?
Jangan lupa spill n comment yag

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang