PAGI hari selalu tiba lebih cepat di Koneng. 

Taslimah akan menandai cahaya yang berangsur-angsur merayap ke dalam gubuk mereka. Titik-titik berkas kecil yang menembus setiap lubang dari anyaman bambu, dinding rumah mereka yang melesak karena sering ditendang para bocah iseng yang melintas. 

Matanya mengerjap-ngerjap saat berusaha memastikan di luar tanah sudah cukup terang. Pagi itu, seperti pagi bertahun-tahun sebelumnya sejak dia menginjak usia 7 tahun, dia harus keluar sendiri, memicingkan mata di terang tanah, menimba air di sumur desa dan membawanya ke bilik mandi mereka.

 Jaraknya cukup jauh. Angin pagi yang bertiup semilir mengeringkan ujung-ujung rok panjangnya yang basah karena percik air dari dua ember kecil yang dijinjingnya. Taslimah mandi berdikit-dikit, memastikan masih ada cukup air di loyang besar yang terbuat dari ban truk itu. Ebu kadang-kadang mandi, meski yang paling sering hanyalah berwudhu--sebelum dia pergi bekerja ke pabrik pengolahan kedelai di pinggiran desa.

Saat masuk kembali, di dalam keremangan gubuk, Taslimah mencium seraut bau apak selimut dan seprai di tengah aroma tanah gubuk yang sudah terlalu familiar baginya. Taslimah melihat sebuah peti kecil telah terbuka. Di tepi dipan, lebih dekat ke ke kepala Ebu, gelas air yang sisa setengah terletak di sana. Kaplet obat yang baru dibelinya sore kemarin terbungkas di dekat gelas. 

Taslimah berpakaian dengan cepat, lalu bergerak ke dapur menyalakan tungku. Dia kembali ke ranjang dan meletakan gelas yang berisi air teh hangat. Taslimah duduk di samping dipan, Menyentuhkan tangannya yang dingin ke betis Ebu dan memijatnya lembut.

"Ebu...."

Sebuah erangan terdengar. Dari balik selimut, Ebu menggerakan kepalanya dan menatap Taslimah dari ekor matanya. Entah bagaimana, hari-hari telah meraut wajah Ebu seperti pensil yang biasa dipergunakan Taslimah untuk menulis. Dua tulang pipinya menonjol, membuat cekungan matanya terlihat lebih dalam. Rambutnya kering dan semakin banyak helai yang akhir-akhir ini bisa ditemukan Taslimah tersapu keluar dari gubuk mereka. Ada sesuatu, berwarna putih di dua ujung bibirnya.

"Ebu tidak bekerja?"

Meski merasakan kepahitan dari pertanyaan itu, membuatnya seperti anak yang selalu membebani ibunya, Taslimah mau tak mau harus menanyakannya. Beberapa waktu lalu, Ebu menyalahkan dirinya yang tidak membangunkannya saat akan berangkat sekolah. Yang terjadi sebenarnya adalah Taslimah terlalu iba. 

Kerja sebagai buruh pengolah kedelai itu telah membuat Ebu menjadi wanita yang selalu terlihat kelelahan. Dari waktu ke waktu, Taslimah mendengarkan keluhan ibunya yang mengatakan dia terlalu lama berdiri, terlalu kencang menginjak adonan, pinggangnya yang nyeri, ujung-ujung jarinya yang kesemutan, matanya yang selalu berkunang-kunang.

Tangan Ebu keluar dari balik selimut dan menggapai-gapai sesuatu di bawah ranjang. Taslimah mengambilkannya untuk Ebu. Bokor peludahan. Dan kemudian, dengan sebuah kejang, Ebu muntah. Cairan kental bertali di bibirnya. Mulutnya masih terbuka dan tenggorokannya naik turun. Matanya yang saat ini dilihat Taslimah hanya bulu lentik yang hitam, tak berhenti memandangi bokor dengan napas naik turun. 

Taslimah memindahkan pijitannya ke punggung ibunya, merasakan semakin banyak tulang yang bertonjolan bisa disentuhnya.

"Apa sebaiknya Imah tak usah turun sekolah, menjaga Ebu di sini?"

Dengan mata yang kini terpejam, Ebu menggeleng samar.

"Kau harus sekolah, pergilah."

"Tapi Ebu...."

"Tidak apa-apa, aku bisa tahan. Pergilah."

Dengan satu helaan napas, Taslimah bangkit dan keluar dari gubuk itu. Sebelum menutup pintu, dia masih melihat setitik kristal di ujung mata Ebu,  berkilauan seperti embun yang menempel di permukaan daun.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now