LELAKI itu adalah Paman Kalil. Kata Ebu, Paman Kalil adalah kakak ayahnya. Dia memiliki sebuah toko yang berjualan alat-alat pertanian di pusat kota Sampang yang ramai. Pada suatu waktu, Abi dan Ebu semasa remaja datang ke sana dan Abi memaksa Paman Kalil untuk memanggil penghulu dan para keluarga lainnya untuk menjadi saksi pernikahan mereka. Dari Ebu, Taslimah mengetahui, Paman Kalil-lah yang memiliki andil menyuruh Abi pulang ke pesantren karena akan meneruskan trah keluarga mereka memimpin pesantren.

 Cerita itu beberapa kali didengar Taslimah, tentang Abi yang akhirnya diberangkatkan Kakek ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Abi pergi hanya beberapa hari setelah dia mendengar kabar Taslimah telah dilahirkan.

Taslimah mencoba menghindar saat Paman Kalil akan memeluknya. Tapi, tangan Paman Kalil akhirnya menggamit bahunya, membuatnya berkedik untuk sesaat.

"Ebu ada?"

Taslimah mengangguk. Paman Kalil sedikit terkejut saat dia mengatakan Ebu sedang sakit. Meski begitu, saat Taslimah membuka jendela dan membangunkan Ebu, Paman Kalil masih menunggu di beranda rumah mereka. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong kemejanya. Saat Taslimah menyuruhnya masuk, lelaki itu membuang rokok yang baru beberapa kali diisap.

Mereka duduk di bangku panjang di dalam ruangan itu, Taslimah, Ebu, dan Paman Kalil. Paman Kalil mengatakan sesuatu dan Ebu terdiam sesaat. Ebu menyuruh Taslimah ke belakang untuk menyeduh air panas. Taslimah masih mendengarkan percakapan mereka saat dia, tanpa membantah, melangkah ke belakang rumah. Sesuatu tentang marah dan aman, tinggal sementara.... 

Dia juga mendengar beberapa kali Paman Kalil menyebut namanya. Tanpa diketahuinya, mendadak hatinya menjadi cemas. Selama ini Ebu selalu menolaknya dengan tegas, apakah kali ini, Ebu akan membiarkan Taslimah pergi ke pesantren kakeknya?

Suara Ebu memanggilnya. Taslimah bergegas menuang air panas ke dalam gelas dan meletakannya ke dalam nampan. Dia membawanya ke depan. Pama Kalil memperhatikannya saat meletakan gelas itu di meja. Ebu menahan tangannya saat Taslimah akan berlalu."Pamanmu menawarkan... untuk tinggal di rumahnya di Sampang, dia... kita," ucap Ebu.

 Beberapa kali dia terengah-engah, Ebu terus-terusan berdehem seperti sesuatu telah mengganjal tenggorokannya. Taslimah menyodorkan segelas air hangat. Ebu meminumnya dan sejenak mengambil napas. Dari tempatnya duduk, Taslimah mendengarkan suara lengkingan kecil setiap kali Ebu menarik nafasnya.

"Nah, Imah, apakah kau ingin ikut bersamanya. Hanya... untuk beberapa waktu."Taslimah melihat Paman Kalil mengangguk dan menunggu jawabannya dengan tegang. Ebu, setelah mengucapkan kalimat itu, menyandarkan kepalanya ke dinding gubuk mereka. Dia terlihat sangat letih, seakan-akan dia telah mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk mendengarkan Paman Kalil dan menyampaikan tawaran itu kepada Taslimah. 

Sebelum ini, Taslimah tahu, Ebu akan menolak tegas setiap permintaan Paman Kalil untuk membawa Taslimah. Perubahan sikap Ebu membuat ketakutan Taslimah semakin membesar. Ebu sudah tak bisa lagi merawatnya. Bahkan, saat ini Ebu seperti tak bisa merawat dirinya sendiri.

Taslimah menggeleng dan dia seakan-akan bisa mendengar desahan Paman Kalil dari bangku di depannya.

"Ebu sakit, hanya saya yang bisa merawatnya."

Paman Kalil mencoba lagi. "Kita bisa merawat ibumu di Sampang, di sana ada rumah sakit yang bagus, dokternya bagus, dinding-dindingnya bersih dan...."

Tapi meskipun Paman Kalil belum selesai dengan kalimatnya, Taslimah tahu Ebu tak akan pernah meninggalkan gubuk itu. Dia tak akan meninggalkan desa mereka, Koneng, dalam keadaan bagaimana pun. Itu terlalu rumit baginya. Dan, jika Ebu bisa bertahan dengan kehidupan mereka, tidak ada jalan lain bagi Taslimah selain mengikuti Ebu tetap tinggal di sini.

 Taslimah kembali menggeleng. Kesunyian menggantung di sana. Paman Kalil menarik rokoknya lagi, tetapi kemudian memasukannya lagi ke dalam kotaknya.

"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya sesaat kemudian.

"Baik," sahut Taslimah.

"Apakah kau kekurangan buku, seragam, apa saja?"

Ya, aku ingin memiliki tas ransel dan bukan kresek bekas wadah sepatu. Tapi, kata-kata itu ditelannya. Taslimah melihat wajah Ebu yang memandanginya dengan tatapan hampa.

"Tidak, Paman Kalil, aku tidak kekurangan apapun, kami baik-baik saja," ucapnya. Itu dan kata, "Terima kasih."

Paman Kalil berdiri dan saat Taslimah mengantarnya ke luar dia berbisik, "Kau yakin, tidak akan ikut denganku?"

Taslimah mengangguk.

"Lian sekarang punya sepeda dan baru-baru ini dia sedang bermain dengan boneka," kata Paman Kalil. Lian, sejauh yang diingat Taslimah, adalah putri bungsu Paman Kalil. Dia sepantaran dengan Taslimah. Terakhir kali, dua tahun lalu, saat Paman Kalil membawanya ke gubuk mereka, Lian hampir membakar rambut Taslimah dengan lilin.

"Boneka bermata biru, kamu pasti suka."

Alih-alih terbujuk, Taslimah malah mengingat tawaran Selma untuk bermain bersamanya.

"Barbie."

"Apa?" sahut Paman Kalil.

"Namanya Barbie. Boneka itu. Yang dimainkan Lian."

Paman Kalil memandanginya dengan raut wajah masygul. Dia membiarkan Taslimah mencium tangannya. Lalu, begitu saja, Paman Kalil berjalan gontai keluar dari pekarangan rumah itu diiringi tatapan Taslimah. Dia menghentikan sebuah angkot berwarna merah, kemudian melambaikan tangannya sebelum naik. 

Paman Kalil hilang di sudut jalan seiring dengan perasaan kosong yang hadir di dalam dada Taslimah.

Suara batuk dari dalam rumah. Taslimah buru-buru masuk. Dia melihat tangan Ebu kembali terjulur keluar dari dalam selimut. Entah bagaimana, tangan Ebu menjadi demikian kurus setiap harinya. Dengan sabar, Taslimah menarik bokor peludahan itu. Seperti pagi tadi, Ebu kembali muntah, kali ini dia hanya meludahkan cairan-cairan keruh bercampur merah pekat. "Sekarang, Imah... " katanya dengan payah, "tolong ambilkan obat itu."

Taslimah mengetahui, seperti juga ibunya, bahwa obat yang sedang diminum itu tidak akan memberikan kesembuhan apa pun. Taslimah telah melihat darah yang semakin banyak dimuntahkan ibunya. Tapi, meski demikian, mereka sama-sama menyadari bahwa tidak ada lagi harapan yang tersisa sejak mereka menolak permintaan terakhir Paman Kalil untuk ikut bersama ke kota.

Dan, untuk itu mereka harus berpura-pura. Taslimah memberi obat itu dan Ebu meminumnya, mengembuskan napas dengan lega, sedikit memamerkannya kepada Taslimah.

"Ebu sudah mulai agak baikan, mungkin Ebu sudah bisa bekerja besok pagi. Insha Allah."

Taslimah menyelimuti ibunya. Menunjukan wajah secerah mungkin, sepercaya mungkin, bahwa apa yang dikatakan ibunya benar.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now