DI sepanjang jalan yang berbatas dinding lempung, di kaki pegunungan Zagros yang berbatu-batu, Soudabeh melangkah. Dia terus mempercepat jalannya dan hanya sesekali berhenti saat angin 90 mil khas Isfahan yang basah, bertiup mengibarkan burqa yang dipakainya. Dia melihat langit September yang mendung, pohon-pohon poplar mengarahkan dedaunan dan sang bayu menyambutnya, membuatnya melayang ke sana kemari. 

Seperti ilusi.

Dia tahu dia merindukan hal ini. Selama di Teheran, dia selalu mengenang pemandangan ini hanya sebagai background desktop laptopnya. Setiap cuti pertengahan tahun, Soudabeh hampir-hampir tak sabar untuk pulang mengunjungi kampung halamannya, rumah ayahnya, Fadar, dan almarhum Madar, tempat dia dibesarkan sebagai seorang anak bungsu dari keluarga kecil petani yang makmur di desa. Soudabeh selalu menanti saat-saat dia menghapus seluruh riasan di wajahnya dengan air dingin yang mengucur dari lembah Zagros dan mengganti celana panjang dan jas dengan burqa.

Lalu, seperti sebuah rutinitas, dia menyusuri jalan berbatu yang sama selama seminggu untuk mulai mengajar di madrasah desa. Dia diberikan kehormatan oleh kepala dan semua penduduk desa. Baru-baru ini, dia mendapat predikat sebagai ilmuwan wanita paling cemerlang di Iran. Tesisnya di bidang nanoteknologi beberapa tahun sebelumnya telah mengantarnya ke kursi kepala pusat penelitian di sebuh laboratorium farmasi di Teheran. Posternya dipajang di depan rumah ayahnya yang sederhana. Saat Soudabeh tiba, dia menyuruh pesuruh Fadar untuk melepasnya.

Soudabeh tahu bahwa cara ayahnya membanggakannya, secara atraktif dan cenderung berlebihan, adalah upayanya untuk menunjukan kepada warga desa bahwa dia telah membayar atas kesalahannya. Semua orang di lembah Zagros akan selalu ingat kepergian Farah. Kakaknya itu telah melakukan sesuatu yang menurut tetangga mereka belum pernah dilakukan oleh seorang wanita yang pernah tinggal di mana pun di provinsi itu. Dia melarikan diri pada malam pertunangannya.

Saat Farah ada bersama mereka, Soudabeh tidak pernah mendapatkan perhatian seperti yang diberikan Fadar kali ini padanya. Farah selalu mendapatkan semuanya. Dia sangat pintar—karenanya sekolah kedokteran dianggap Fadar layak untuknya—dan selalu menjadi teman Fadar sat menikmati chai di beranda rumah. Soudabeh selalu mendengarkan apa yang mereka perdebatkan: sejarah Persia, revolusi Iran, nama rudal yang disebut-sebut mampu menjangkau Amerika dan Israel sekaligus dalam satu waktu, hingga perempuan dalam film-film Iran modern yang memakai celana pendek dan datang ke lapangan bola.

Saat mendengarkan percakapan itu, Soudabeh selalu bisa menemukan gairah pengetahuan sekaligus kepatuhan dan kebanggaan akan tradisi dalam diri Fadar. Sebaliknya, Farah bahkan sejak kecil telah menjadikan American Dream sebagai masa depannya. Dia selalu hidup dengan cerita-cerita tentang film-film Iran feminisme yang berjaya di festival film Hollywood dan makanan cepat saji Amerika yang tidak bisa ditemukan di Iran. Soudabeh melihat meski chai yang mereka minum diaduk dengan bahan yang sama, tetapi selera mereka berbeda. Soudabeh tak ingin mengatakannya, tetapi Fadar meski selalu memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Farah—dan semakin parah setiap harinya—diam-diam memuja putri sulungnya itu.

Dan, itu membuat Soudabeh iri. Dari waktu ke waktu dia merasa tersisih. Merasa salah. Tak banyak berguna. Orang-orang selalu mengatakan dia mewarisi kepasrahan dan ketabahan ibunya yang tertib, dan Farahlah yang menuruni kekeraskepalaan Fadar. Sepeninggal Madar, Soudabeh merasakan dia hanya sebuah saputan warna dari lukisan abadi hubungan ayah-anak, musuh-sahabat antara Fadar dan Farah.

Hingga akhirnya Soudabeh menemukan bahwa cara terbaik untuk membuat Fadar terkesan adalah dengan menjadi lebih baik daripada Farah. Soudabeh belajar sepenuh hati dan kemudian menjadi siswa paling potensial di Isfahan. Dia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah untuk bersekolah ke Oxford.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now