Rahimeh terjaga hampir sepuluh jam kemudian di sebuah ruangan dengan dinding yang dicat dengan pilihan warna hangat. Dia meringis saat menyadari kesakitan kepalanya kini telah ditekan oleh kain kasa yang dibebatkan memutari kepalanya. Dengan berat, Rahimeh menoleh ke sisi kirinya saat merasakan kehadiran seorang lain di tepi ranjang itu.

"Scar... let?

Seorang wanita dengan rambut hitam yang dijalin  seperti seorang indian dan hidung bertindik, memandanginya, berbisik pelan mengiyakan.

"Jangan katakan mereka menjahit kepalaku lagi."

Ironisnya, kata Scarlet, itulah yang mereka katakan saat mengusirnya di kesempatan pertamanya tiba di rumah sakit itu. Dia harus menghubungi seorang dokter yang dikenalnya di rumah sakit itu utuk bisa masuk ke ruangan Rahimeh.

"Apa yang terjadi?" tanya Scarlet sambil lalu.

"Fansku melempari kepalaku... dengan botol."

"Kita harus menuntutnya dengan hukuman berat." Sebuah suara menimpali dengan aksen Inggris ortodoks yang telah mereka kenal. Rahimeh dan Scarlet melihat pintu terbuka. Seorang pria dengan sisiran rambut pirang klimis dan mata sebiru safir, masuk. Dia membawa aroma manis yang untuk sementara mengubah bebauan hidrogern periksodine di dalam kamar itu.

"Mengancam nilai-nilai kebebasan berpendapat, percobaan pembunuhan, penodaan terhadap hak-hak warga...."

Rahimeh mengangkat tangannya yang dialiri selang infus, mengacungkan telunjuknya.

"Todd, tidakkah kau ingin menanyakan pendapatku?"

Lelaki itu berhenti. Mengangkat tangannya, "Come on ma...."

"Tidakkah kau mengetahui tentang apa yang kulakukan? Sudah berapa kali aku mengalami hal seperti ini?"

"Mari kita lihat, tiga kali dalam enam bulan terakhir ini. Belum menjadi rekor terbaikmu?"

Scarlet tertawa memperlihatkan gigi putihnya yang berbaris rapi. Tepat di depannya, Rahimeh meringis.

"Cukup untuk tahun ini, aku tidak ingin menjadikan para penyerang itu menjadi pahlawan, atau apa? Inspirasi bagi yang lain, seakan-akan aku ini adalah samsak poin mereka."

"Mereka merasa menjadi bintang hanya dengan menyerangmu?"

Rahimeh terbatuk. Merasakan nyeri lagi di kepalanya.

"Tentu saja, di langit dan di bumi. Itu adalah jalan jihad bagi mereka. Orang-orang itu. Jihad. Ya Tuhan...."

"Kita tidak akan lagi memberi kesempatan bagi mereka kali ini. Kita akan melawan supaya orang-orang ini tak seperti memainakan Call of Duty ketika melihatmu berbicara di podium."

"Kalau begitu, lakukanlah, pers akan menekan peradilan, wanita itu..."

"Lelaki itu," ucap Todd mengoreksi.

Rahimeh memegang kepalanya saat sebuah denyut kecil cukup untuk membuat kepalanya berdenging.

"Dia... seorang lelaki?"

Todd menatapnya.

"Baiklah, dia akan menderita, jaksa wilayah akan menuntutnya dengan sangat berat. Mungkin dia tak akan melihat Manhattanhenge seumur hidupnya lagi."

Todd menatapnya, merapikan berkas dan kembali memasukannya ke dalam tas. Dia mengusap rambutnya ke belakang.

"Aku ingin mendengar data tentang dia. Siapa namanya?"

"Robert Mulligan."

"Robert apa?"

"Bukan orang yang kau inginkan untuk membocorkan kepalamu?"

Rahimeh tersenyum penuh arti kepada Scarlet. "Nama bisa saja menipu, aku mendengar banyak orang yang mengganti namanya agar negara ini menerima mereka."

"Well, sejauh ini dia Robert Mulligan."

Rahimeh menggeleng, mengeluarkan bunyi dari tenggorokannya. Todd menyodorkan gelas berisi air putih.

"Lupakan, Todd, kau bisa keluar, sebelum aku mulai terharu dengan usahamu."

"Ohm, ya. Baiklah kalau begitu, kau jangan bicara apa pun, biar aku yang hadapi pers."

"Ini bukan apa-apa, aku tetap akan menanggapi wawancara eksklusif," kata Rahimeh menyipitkan mata dan menyeringai. "Mungkin New York Times akan menaikan reputasiku lagi. Mungkin aku akan menambahkan bandana dan mengembalikan mereka ke mode 80-an. mereka akan mengatakan luka di kening ini adalah tren terbaru."

"Ya, dan semakin bagus reputasimu, tantangannya bagi mereka akan semakin menarik."

Rahimeh menolakkan tangannya.

Todd melangkah ke luar. "Berharaplah. Para wartawan itu ada di luar rumah sakit ini. Mereka selalu menguntitmu, menguntitku juga." 

Dia menatap Scarlet dan menunduk untuk menyembunyikan senyuman yang tiba-tiba terbersit. Arti tersembunyi dalam tatapan mata birunya yang dalam tak terselami oleh Scarlet dan Rahimeh.

Dia berlalu.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now