Andai saja dua pekan ini sakit Ebu tidak mengganggu pikirannya, Taslimah pasti akan menyukai hari itu. 

Di hari Rabu, mereka mendapat pelajaran agama. Ustaz Aliansyah, adalah seorang guru yang paling disukai Taslimah. Dia selalu bercerita tentang hikayat para nabi dan orang-orang suci, tentang tujuh pemuda yang tertidur di dalam gua selama ratusan tahun. Ustaz Aliansyah mengatakan, bahkan anjing yang menyertai para pemuda itu di gua adalah satu dari sedikit binatang yang akan masuk surga. "Tuhan maha penyayang, maha pemurah kepada semua ciptaannya, bahkan kepada sekadar anjing," katanya dengan suara serak dan wajah yang teduh.

Ustaz Aliansyah mengatakan tidak ada kelebihan suatu kamu atas kaum lainnya, manusia dari manusia lainnya, kecuali ketaatannya kepada Tuhan. Lalu dengan fasih, dia akan menyitir hadis Rasulullah tentang keutamaan berbuat baik. "Sebaik-baik kalian," ucapnya melangkah di lajur-lajur bangku, dengan irama di ujung jarinya, "adalah dia yang paling baik kepada manusia lainnya."

"Jadilah manusia yang berguna, Anak-anak. Berbuatlah baik kepada orang lain. Angkatlah tangan kalian dari berbuat apa pun yang kalian tak ingin orang lain lakukan kepada kalian. Terpujilah orang-orang yang hidup dengan kebaikan. Seisi dunia akan memujinya dan penduduk di langit langit menyayanginya."

Hari itu, Taslimah tak mampu berkosentrasi pada pelajarannya.

Dia terus teringat pada mata sayu Ebu saat mereka saling berpandangan. Ketakutan dalam sinar matanya, kecemasan yang terkandung dalam nada suaranya. Lalu, Taslimah tahu, sangat sadar, bahwa Ebu mengkhawatirkan masa depannya. 

Ebu menghawatirkan saat Ebu tak akan mampu lagi bekerja untuk menopang kehidupan mereka. Taslimah masih terlalu kecil untuk bekerja dan dia sangat bersemangat untuk belajar. Setiap kali dia membuka bukunya, meruncingkan ujung pensil, mengerjakan pekerjaan rumah, membaca buku pelajaran sekolah, akhir-akhir ini, semua itu dirasakannya memberi suatu pukulan kecemasan bagi Ebu. 

Taslimah mencoba menepis ketakutannya sendiri saat dia membayangkan ibunya terlalu lemah untuk bangkit dari ranjang. Makanan, satu-dua sendok nasi jagung, yang disuapkan Taslimah pada malam hari selalu dimuntahkan Ebu di pagi harinya.

Seseorang mencolek punggungnya.

"Ya," Taslimah menoleh.

Di belakangnya, Selma menatapnya dengan mata membelalak. Selma adalah teman akrabnya. Dia memiliki mata yang galak dan selalu menyulitkan ibunya untuk menemukannya pada siang hari. Rambutnya selalu dikuncir, dan—tidak seperti Taslimah—dia tidak mengenakan kerudung. Sekarang, kepalanya tersentak-sentak memberi tanda. Taslimah menyadari kealpaannya, dia kembali menatap ke depan. Di dekatnya saat ini, Ustaz Aliansyah telah berdiri.

"Taslimah sudah sampai ke mana?"

Taslimah panik dan melihat ke kanan-kirinya. Seluruh mata di kelas itu dirasakannya sedang memandanginya. Dia kembali menatap Ustaz Aliansyah dengan raut wajah bingung.

"Kata saya tadi, Taslimah, lafalkan surah Al Alaq."

Taslimah berdehem. Meminta maaf. Dia melantunkannya hampir tak terdengar.


Bismilahirrahmanirrahiem...

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah

Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah,

Yang mengajar manusia dengan perantaran kalam,

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.


"Kamu terlihat aneh di kelas tadi," kata Selma. Mereka sedang duduk di dahan pohon jambu yang menjulur rendah menyentuh tanah. Taslimah baru akan menjawabnya ketika Selma melepas tas sekolahnya dari bahunya. 

Untuk sesaat, Taslimah merasa iri saat melihat ransel berwarna merah muda berbentuk kelinci dengan dua telinga berbulu lembut itu. Dia telah mendambakan memiliki ransel sepertiitu sejak kelas 1 SD. Sekarang, saat dia duduk di kelas 4, dia masih belum memilikinya--sepertinya tidak akan pernah bisa memilikinya. Dia telah berganti-ganti tas, kebanyakan hanyalah sak plastik, wadah sisa belanja pakaian milik Selma yang diberikannya kepadanya.

Dari ransel kelinci itu, Selma mengeluarkan sebuah boneka yang belum pernah dilihat Taslimah. Boneka wanita dengan kulit kemerahan setinggi telapak tangan. Rambutnya yang keemasan dikuncir panjang hingga ke pinggang. Dia mengenakan pakaian terusan yang dibuat dari kain satin halus menutupi betisnya yang jenjang. Di kedua belah kakinya, boneka itu mengenakan sepatu hak tinggi.

"Ini boneka Barbie," kata Selma. "Ibu membawanya dari Surabaya."

Taslimah menelan ludahnya.

"Namanya Siti Fatima, panggil dia Siti," kata Selma lagi.

Taslimah dan Selma bergantian mengelus Siti. Merasakan tekstur kainnya yang licin di telapak tangan mereka. Selma mendudukannya di dahan jambu dan menyisir rambut boneka itu dengan sisir kecil. Taslimah menanyakan apakah ada bedak khusus untuk boneka itu. Taslimah biasa memakai bedak bayi saat akan berangkat sekolah.

"Tentu saja tidak, dasar bodoh," seloroh Selma dengan tertawa. "Ini, kan, cuma boneka."

Mereka menggendongnya di kedua tangan, meninabobokannya dan bernyanyi. 

Saat bersama Selma dan Siti pada masa istirahat itu, Taslimah bisa melupakan permasalahannya. Dia menjadi seorang ibu yang merawat bayi boneka bernama Fatimah. Mengelusnya, dan berlagak hidup dalam dunia dongeng. Tapi, tidak saat dentang lonceng sekolah berdentang. Kerisauannya kembali. Taslimah berjalan dengan cepat sambil mengepit sak berisi buku-bukunya di jalan menuju pulang.

"Taslimah, Taslimah..."

Selma berlari-lari di belakangnya. Tangannya menggenggam Siti dan tas kuping kelincinya terayun-ayun di punggung. Taslimah menunggunya dengan pandangan tak sabar hingga Selma menyajarinya.

"Ibumu masih belum sembuh?"

Taslimah mengangguk.

Selma terdiam, dia menimbang-nimbang. "Aku akan meminjamkan Siti kepadamu jika kau mau."

Taslimah menggigit bibirnya. Boneka itu memandanginya dengan matanya yang biru.

"Terima kasih. Tapi tak perlu."

"Tidak, maksudku, kita bisa memainkannya di rumahmu," kata Selma.

"Aku tak bisa." Taslimah teringat cairan kuning kemerahan dalam wadah bokor peludahan. "Aku tak bisa bermain karena harus merawat Ebu."

Mereka berpisah di belokan yang bersimpangan. Dari jauh, Taslimah melihat seseorang berdiri di pekarangan rumahnya. Lelaki itu jangkung, mengenakan kemeja putih, dengan rambut dipotong cepak.

Paman, batin Taslimah. 

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now