TELEPON berbunyi pada jam makan siang. Selama sekian detik membekukan kegiatan apa pun yang sedang terjadi di atas meja makan. Kunyahan terhenti di mulut, sendok dan garpu tergantung di udara, sebelum kemudian seorang wanita muda berkacamata menjumput serbet linen dan meloncat dari tempat duduknya. Wanita itu mengangkat telepon, mendengarkan dengan saksama, lalu kembali ke meja makan.

"Apakah ada yang bernama Hawa di rumah kita?"

Wanita lainnya, yang mengenakan kalung emas di leher berlemaknya melirik ke arah lelaki yang mengenakan kemeja panjang bergaris-garis di sisinya. Sudut bibirnya tertarik membentuk cibiran.

"Coba lihat apa yang dilakukannya, apa yang telah diajarkan opanya kepadanya selama liburan kemarin."

Lelaki itu, yang berjanggut jarang dengan rambut hitamnya tumbuh lebat tak beraturan dari setiap pori-pori berminyak di kepalanya, menjawab dengan gelengan kepala dan decakan tak berminat. Piring kembali berdenting beradu dengan sendok. Wanita itu kembali menghadapi makananannya, tetapi saat melihat yang bertanya belum beranjak, dia memaksakankan satu senyuman di bibirnya.

"Tidak lucu," katanya.

"Yah Mom, aku kan sedang bertanya," sahut wanita muda itu.

"Tidak lucu."

"Maksudku," dia akhirnya nyengir, "Apakah ada Hawa lain selain aku di rumah ini? Karena si penelepon mencari Hawa yang beberapa waktu lalu mendaftar di acara—"

"Putri Nusantara?" Wanita di meja makan itu melonjak.

"Putri Nusantara," lanjut Hawa, menyipitkan mata di balik kacamatanya, "Mom tahu?"

"Apa yang dikatakannya?" tanya Mom meluncur dengan cepat ke ruang tengah. Di sana, di atas sebuah meja solid hitam berukir, gagang telepon diletakan miring di atas permukaannya yang licin mengkilap.

"Maksud Mom, Hawa... itu aku?" "Siapa la—" Mom tak sempat menjawab karena dia mendengar seseorang dari seberang telepon menyapanya.

Mom menyeringai tertahan.

"Ya."

Mom hanya menjawab pendek-pendek, kebanyakan dengan suara berlebihan.

Ya dan baiklah, terima kasih, kemudian kami akan datang.

Hawa bersedekap dan bersandar di sebuah jambangan bunga raksasa yang disandarkan di sebuah pilar.

"Apa itu maksudnya, 'ya' dan 'kami akan datang'?"

Mom menoleh, menangkupkan kedua tangannya, lalu menggosok-gosokannya. Gelang emas di tangannya meluncur ke bawah.

"Oh, my dear, artinya memang seperti itu. Ya, kita akan datang ke Audisi Putri Nusantara!"

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now