"Aku mendengar ada suara tawa," kata Mom saat mereka berjalan keluar dari gedung itu menuju tempat parkir. "Apakah kau kembali menceritakan salah satu lelucon anehmu kepada mereka?" 

Di rumah, Hawa selalu bercerita kepada Mom. Cerita-cerita yang selalu sukses bikin Mom terpingkal-pingkal.

"Mom."

"Aku ingin tahu...."

"Mom, please."

"Oke. Oke. Jadi mereka menyukaimu."

Mom memiliki ekspektai yang besar, Hawa merasakan itu. Tentu saja. Terkadang-kadang, hal itu membuatnya malu. Beberapa hari kemudian, saat Garin mengejutkannya  dengan fotonya di depan ruang audisi, Hawa tak bisa menahan rasa gemas. Dia pasti mengambilnya dari akun instagram milik Mom.

Garin...

Sudah berapa lama?

Dia bahkan tidak ingat, apakah daftar kontak di handphone-nya menyimpan nama itu atau IG mereka saling terhubung. Tentu saja, Hawa yang lebih dulu mengikutinya dan kemudian baru diconfirm oleh Garin selama beberapa bulan, yang sering dibanggakannya sebagai masa training untuk setiap cewek yang meminta mengikuti Instagramnya.

Jika ada pria yang mempunyai kesombongan seperti itu, serta cukup licin untuk menembus hati Hawa, Garinlah orangnya. Hawa tak tahu, kapan dia terpesona. Sudah sekian lama, mungkin ketika dia masih SD dan melihat senyum cemas Garin adalah satu-satunya yang membuatnya merasa lebih kompeten dibanding yang lain. 

 Sekian lama, mereka berteman, berbagi bekal bersama, minum dari sedotan yang telah dikotori oleh ludah masing-masing. Garin bersekolah di SMA 81,  Hawa juga. Hawa menuduh Garin mengikutinya, meski dia sadar, dialah yang mengikuti Garin. 

Lalu ada serangkaian putus-nyambung dan penrnyataan maaaf, selalu Hawa yang melakukannya. Mereka berada dalam kompleks perumahan yang sama dan nyaris mustahil tidak tahu siapa yang sedang jalan dengan siapa di malam Minggu. Saat sebuah mobil melaju dengan music berdentam dan Garin di dalamnya bersama teman wanitanya, Hawa merasakan seluruh dunia telah diputus dari kehidupannya.

Pertengahan tahun di SMA adalah masa-masa terbaik bagi Garin, setahu Hawa. Dia tumbuh dengan cepat dan sialnya, begitu tampan. Seakan, mancung hidungnya, rambut panjangnya yang lurus dan tatapan dari bola mata coklatnya, adalah ranting yang terjulur secara alamiah dari pohon ketampanan yang ditanam Tuhan.

 Lalu, kemudian Tuhan meletakan bola basket di tangan kirinya dan gitar di tangan kanannya, juga serangkaian skill lain yang entah bagaimana, antre untuk dikendalikannya. Garin masuk dalam tim yang memenangi kontes robot Nasional dan tangannya bisa menarik kelinci dalam topi, membengkokan sendok, dalam setiap pesta-pesta resmi maupun tak resmi.

Lalu di sana ada Hawa yang biasa-biasa saja. Sementara tubuh proporsional dan wajah tak berdosa Garin mendapatkan ribuan like di IG, Hawa terlihat seperti setiap wanita sekolah yang keluar masuk perpustakaan dengan buku di dada, memandang dari balik layar setiap histeria gadis-gadis untuk sosok yang diterangi lampu sorot di panggung. Merasakan entah bagaimana, Garin yang terlalu cepat, atau dia yang terlalu lambat, saat mereka bergandengan tangan berjalan bersama di kelokan kecil kompleksnya, di suatu masa dulu ketika ketenaran dan kegemilangan belum dimonopoli oleh salah satu dari mereka.

Tapi apa yang bisa diperbuatnya? Jika hidup ini adil, Tuhan akan memberikan Garin untuknya. Sayangnya, alih-alih itu, dia memberikan kekurangan-kekurangan yang semakin parah setiap tahunnya : kacamatanya yang semakin menebal (untunglah dia kadang-kadang tak harus memakainya), tubuhnya yang semakin kurus karena dia memang membenci karbohidrat (yang membuatnya justru semakin keren) dan kerudung yang dibebankan harus dipakainya (Opa, kata itu saja sudah cukup). Sembari itu terjadi, Hawa menyiapkan dirinya. Atau kalau boleh bilang, Momlah yang melakukan semuanya dan Hawa menyetujuinya. Memberi amunsi dirinya dalam dunia kejam wanita dewasa yang harus siap dengan tren gadget terbaru, fashion, dan gaya hidup. Hawa mengepit Hermes di lengannya,  dibungkus oleh burqa sutra Turki dan membiarkan dirinya kadang-kadang ditopang secara rawan oleh Jimmy Choo dan Tabitha Simmons, tergantung dari apa yang dibaca oleh Mom hari ini di Vogue.

Dia membiarkan kehidupannya berjalan pada sisi aman Mom, bertanya-tanya sebanyak mungkin sampai kapan dia bisa menarik perhatian Garin. Sekian lama, sampai akhirnya, Garin seperti sisa meteor yang hilang di langit dalam sebuah malam yang gelap. Kabar terakhir yang didapatkannya dari temannya, Garin telah kuliah di Australia, pulang beberapa kali, menjalin hubungan dengan seorang None Jakarta teman kuliahnya. Setelah menunggu sekian lama, Hawa tahu, itu adalah saat tepat baginya untuk melupakan cinta satu-satunya dari masa kecilnya.

Sampai saat ini, saat Garin kembali menghubunginya.

Pada awalnya, dadanya berdebar karena untuk pertama kalinya sejak entah kapan, Garin kembali menghubunginya. Dia melihat untuk pertama kalinya bulatan kecil hijau dan titik-titik yang berkerlap-kerlip di akun Garin. Sebentar kemudian, Garin telah mengirimnya pesan.

Ikut audisi Putri Nusantara?

Jari-jari Hawa yang telah menyentuh tuts tak bergerak. Sejuta perasaan membuncah di dadanya. Kursor masih berkerlap-kerlip tanda Garin masih menulis dari seberang.

Harusnya kamu bilang dulu kalau mau ikut audisi ;-)

Akhirnya, Hawa membalasnya.

Dari mana kamu tahu?

Hanya itu yang bisa dipikirkannya untuk menjawab. Hawa merasa dirinya pintar, tapi setiap kali dia berbicara dengan Garin, IQ-nya drop ke titik terendah.

Garin kemudian mem-paste sebuah link. Hawa mengkliknya dan tak lama kemudian sebuah dinding maya terbuka, di foto itu dia melihat dirinya berdiri tersenyum dilatarbelakangi spanduk cerah yang bertuliskan Audisi Putri Nusantara 2019. Hawa ingat foto itu diambil Mom saat mereka baru masuk ke dalam ruang tunggu.

Kamu masih di sana?

Hawa mengetik pendek.

Ya.

Aku berdoa. Semoga kamu memang dalam audisi itu.

Debar itu lagi.

Apakah aku mengganggu?

Tidak.

;-)

:-)

Oke, aku cuma mau bilang itu. Selamat, aku yakin kamu pasti terpilih.

Warna chat akun Garin meredup, pertanda Garin telah meninggalkan percakapan. Dia mungkin merasa Hawa tak menyambutnya dengan baik. Tetapi apa yang bisa dikatakan, jika Hawa sendiri tak tahu apakah dia hanya sedang memimpikannya. Pada suatu titik dari hidupnya, segalanya tentang Garin adalah angan-angan. Dia selalu teringat saat-saat dia bangun dari tidur di pagi hari, tak sabar ingin pergi ke sekolah, dan selalu tak yakin dengan penampilannya. Bajunya yang terlalu kusam, kacamatanya yang terlalu tebal, wajahnya yang tanpa riasan, dia mencoba mencium bahunya saat akan berangkat, dan setiap kali pula saat bertemu Garin di sekolah, dia merasa semua yang ada dalam dirinya tak sempurna.

Lalu, saat Hawa berhasil menyeret kakinya sendiri ke sekolah, dia melihat wujud nyata dari dinding-dinding pertahanan yang dibangun Garin untuk menghindarinya. Dia melihat ujung kemejanya yang melambai memunggunginya saat dia datang, kibasan rambut saat dia berbalik, lirikan melalui ekor mata dari balik punggung teman-temannya di klub Basket. Cibiran. Dan, lebih dari itu Hawa melihat ketakutan, mungkin saja, kebencian dari seorang remaja lelaki yang baru tumbuh dewasa yang takut dibayang-bayangi oleh jejak-jejak masa kecilnya, yang dekil, memalukan dan tahu semua tentangnya.

Sekarang, setelah semua itu, mungkin jauh setelah semua itu, Garin telah mengirimi Hawa pesan lewat IG. Sebuah sinyal kerlap-kerlip untuk kembali.

Dia memujimu.

Dia mengatakan ingin membantumu.

Dan, yang lebih penting dari itu, lebih penting dari segalanya bagi Hawa, kali ini dia yang memulainya.

Dia yang memulainya.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now