Soudabeh sudah mengatakan semuanya kepada anak-anak itu. Nyaris semua keberhasilannya. Kecuali hal yang juga disembunyikannya dari ayahnya, Fadar, sepanjang tahun ini. Bahwa kini dia akhirnya telah menemukan pria yang tepat untuk dirinya. Dia, tentu saja, akan mengatakan nama pria itu, hampir mengatakannya pada sore itu. Andai saja ayahnya tidak mengatakan nama yang berbeda.

"Percayalah, dia seorang lelaki sederhana yang bertanggungjawab. Dia seorang guru di Hauza di Isfahan. Masih muda, mungkin dua tahun di atasmu, dan dia sangat dihormati. Aku mengenal mullah yang menjadi direktur di sana. Dia adalah guruku di saat-saat pertama aku mempelajari ilmu agama di sana. Sejujurnya aku telah melakukan pembicaraan itu.... Kau dengar, Soudabeh? Ayahmu ini, aku telah berbicara kepadanya... tentang kalian. Kau dan pria itu."

Soudabeh duduk mencengkeram pergelangan kursi. Melihat betapa ironisnya kejadian yang menimpanya setelah segala ceramahnya kepada anak-anak di sekolah tadi tentang perjuangan melawan takdir. Dia dengan gamang mengakui, memang benar, tidak ada gunung yang terlalu terjal, selain dari titah ayah yang sangat dihormatinya.

"Kau tahu, Soudabeh, kau tahu bagaimana ayahmu. Sumpah yang telah kulakukan kepada almarhum ibumu. Aku pernah menceritakannya kepadamu. Saat ibumu akan meninggal, dia memintaku untuk berjanji mengurus segala keperluanmu. Dia mengatakan aku harus memenuhi setiap permintaanmu. Semuanya! "

"....Dan, kau lihat sendiri, apa yang telah kulakukan untukmu. Aku tidak bisa menolakmu. Apa pun yang kau pinta, kau menginginkan sekolah yang tinggi, ke Teheran, ke Eropa, aku menjual hampir segalanya di sini, bekerja di seluruh sisa umurku untuk memastikan kau tidak kekurangan apa pun, bahkan hanya sekadar kaus tangan untuk melindungimu dari musim dingin di London. Setiap kali, aku merasa letih, aku selalu mengingat, aku membayangkan kau menderita di kota-kota jauh, putri tunggalku yang hanya punya satu cita-cita dalam hidupnya yaitu menjadi ilmuwan. Sekarang...." Fadar terbatuk.

"Sekarang lihat dirimu, anakku, kau telah memiliki semuanya."

Fadar terbatuk lagi.

"Akhir-akhir ini aku merindukan ibumu. Aku melihatnya dalam mimpiku. Dia mengatakan terima kasih karena aku telah merawatmu dengan baik. Kau tahu, aku sangat merindukannya. Ibumu...."

Fadar membuang pandangannya, menarik nafasnya dalam satu desahan panjang.

"Aku sangat khawatir, dengan umurku yang tinggal... aku akan menemuinya beberapa saat lagi, sementara kau... jika kau selalu di sana, di Teheran, tidak ada yang akan menjaga rumah ini. Lebih dari itu, aku mengkhawatirkanmu. Berapa umurmu, Soudabeh? 27? 28? Aku harus menulikan telingaku mendengar gunjingan tetangga-tetangga kita, bagaimanapun kau bagian dari desa ini. Ibumu tidak akan menyukainya, kau mengerti, Soudabeh? Ibumu tidak akan menyukainya."

Soudabeh ingin menggeleng. Tapi, dia mengerti, sangat mengerti apa yang dikatakan ayahya. Merasakan ketakutan terbesar yang menghinggapi hati setiap orangtua bahwa rumah mereka akan sunyi dan telantar tanpa seorang pun yang akan menjaganya. Bahwa mereka akan meninggalkan dunia dengan pengetahuan tidak ada jodoh untuk putra-putri mereka.

"Bagaimana pendapatmu, Soudabeh?"

Meski tahu, bahwa Fadar akan menerima penolakannnya, tetapi yang bisa dilakukan Soudabeh hanyalah mengatupkan mulutnya rapat-rapat, mengangkat setiap sudut matanya yang panas, menahan sekuat mungkin air mata yang akan menetes.

Dia mengangguk.

Menghitung Luka di LangitWhere stories live. Discover now