BUNYI lonceng berdentang di lapangan sekolah. Belum waktunya masuk kelas, pikir Taslimah heran. Saat itu dia dan Selma sedang berdebat tentang apakah Siti dibuat di pabrik Surabaya atau didatangkan dari luar negeri. Taslimah kemudian terlalu cepat mengalah dan percaya ketika Selma mengatakan bahwa di negeri asalnya, Barbie tidak bermain di pohon jambu tetapi hanya sibuk beredar dari pesta ke pesta dan menyemes bola voli di pantai. 

Mereka berlari ke depan kelas, mendapati sudah begitu banyak siswa yang berkumpul dan semua guru mengempit tas masing-masing. Taslimah melihat di antara wajah-wajah gurunya, dia melihat Ustaz Aliansyah sedang berbicara berbisik-bisik dengan seorang guru lainnya. Dia tidak pernah melihat wajah ustaz kesayangannya secemas itu.

"Jam pelajaran kedua setelah istirahat ini, kalian boleh pulang," ucap kepala sekolah, seseorang tua dengan kacamata berbingkai tebal berwarna hitam. Dia melepas kacamata itu dan mengusapnya dengan kain kecil yang diambilnya dari kantong celananya. "Sementara itu, sekolah diliburkan hingga beberapa hari ke depan."

Taslimah mendengarkan suara sorakan menyambut pidato kepala sekolah dan sesaat kemudian dia tenggelam dalam arus keramaian teman-temannya. Dia melihat wajah-wajah gembira, jeritan, dan senggolan. Tepukan tangan para siswa yang merencanakan sesuatu untuk mengisi hari libur. Suara tawa cekikikan.

Taslimah masih terlalu kecil, tetapi mungkin karena itulah kenangan di tengah lapangan, wajah-wajah gembira dari teman-temannya saat mendengar sekolah diliburkan, tidak bakal lekang dari ingatannya seumur hidupnya.

***

Dalam perjalanan pulang, Taslimah menyisih dan mengabaikan ajakan Selma untuk singgah ke rumahnya. Dia melihat Ustaz Aliansyah yang berada beberapa langkah di depannya dan mulai mengejarnya.

"Ada apa, Taslimah?"

"Ustaz mengapa kami diliburkan sampai minggu depan."

Ustaz Aliansyah masih belum kehilangan raut cemas dari wajahnya. Dia mengusap kerudung Taslimah dan menoleh sebentar ke kanan kiri, seperti memastikan tidak ada yang melihat mereka.

"Taslimah, kau tinggal di dekat sini?"

Taslimah menunjuk arah rumahnya.

"Kau bersama siapa? Ustaz sarankan dalam dua hari ini ajaklah keluargamu pergi ke luar desa."

"Ada apa, Ustaz? Apa yang akan terjadi?"

Taslimah melihat tatapan misterius, sedikit kegugupan di wajah Ustaz Aliansyah.

"Hanya berjaga-jaga, mudah-mudahan tidak ada yang terjadi."

Taslimah semakin tak mengerti. Dia melihat Ustaz Aliansyah tak sabar untuk pergi meninggalkannya seakan-akan dia juga sedang mengkhawatirkan keluarganya. "Ingat," katanya, "pergilah selama beberapa hari, ke kota atau ke manapun di luar desa. Pergilah sementara ke tempat keluargamu yang lain."

"Tapi," ucap Taslimah, tak lagi didengari Ustaz Aliansyah.

"Tapi Ebu saya tidak bisa meninggalkan desa..." ucapnya pelan kepada dirinya sendiri. Dia memandangi punggung Ustaz Aliansyah yang sudah jauh.

Taslimah melangkah pulang. Pikirannya sibuk. Entah di langkah ke berapa, dia menyadari gentingnya situasi, lalu mulai berlari. Mereka meliburkan sekolah, pikirnya. Mereka tampak cemas. Mereka menyuruh pergi. Sesuatu yang tidak diketahuinya menimbukan bayangan-bayangan mengerikan dalam pikirannya. Inilah yang dikatakan Paman Kalil. Mereka memang harus pergi.

Dia terus berlari hingga masuk ke dalam pekarangan rumahnya.

"Ebu, Kita harus meninggalkan Koneng!" teriaknya.

Saat matanya telah terbiasa dengan keremanangan gubuk itu, Taslimah melihat Ebu bergerak-gerak dari balik selimut. Suara napas Ebu terdengar seperti ada peluit yang ditempelkan di mulutnya.

"Taslimah, ambilkan obat lagi," ucap Ebu muncul dengan rambut riap-riapan dari dalam kain yang menggunung di ranjang mereka. Matanya semakin menjorok. Ebu mengulurkan tangannya yang semakin tipis dan di ujung-ujung jarinya, Taslimah melihat warna kuning seperi crayon menggambar miliknya.

Taslimah nyaris panik, memeriksa ke rak tempat obat dan melihat satu-satunya pil yang ada di sana. Dia ingin mengatakan kepada Ebu bahwa itu adalah pil entah apa yang sudah ada di rak selama bertahun-tahun. Pil itu bahkan tidak lagi memiliki label. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terkandung di dalamnya. Tapi dari pandangan mata Ebu yang tersiksa, dia tidak melihat ada peluang untuk membujuknya. Taslimah mengangsurkan pil itu dengan perasaan remuk redam.

"Bacalah bismillah, Ebu. Kata Ustaz Aliansyah, bacalah bismillah karena hanya dia yang bisa menyembuhkan."

Mulut Ebu berkomat-kamit. Dia meneguknya dengan segelas air hangat.

"Ustaz Aliansyah mengatakan kita harus meninggalkan desa."

Taslimah melihat Ebu menggumam. Mengecap-ngecap udara, berusaha merasakan rasa air tawar di langit-langit mulutnya.

"Kau yang akan meninggalkan desa, Taslimah," katanya kemudian. Ebu menunjuk sebuah buntalan di sisi ranjang itu, dekat dengan lemari. "Sejak tadi malam, aku telah mempersiapkannya. Foto ayahmu juga ada..."

Ketakutan merayap di hati Taslimah, seperti seseorang memasukan sebuah balok es ke dalam sana, membuat sekujur tubuhnya menggigil.

"Tapi... ada apa, Ebu? Mereka hanya mengatakan...."

"Pergilah Taslimah, mereka mengincar pesantren kakekmu, mereka juga mengincar desa ini. Kuharap Tuhan mengampuniku, kuharap begitu, yang tidak mempercayai ucapan pamanmu Kalil. Harusnya aku memaksamu pergi."

Ebu bangkit dengan sinar mata kepasrahan. Dia memegang buntalan itu dan memukulkannya ke telapak tangan Taslimah yang memegang tangannya. Saat melakukan itu, butiran-butiran keringat muncul di dahinya yang semakin melesak.

"Kau harus pergi, pergi, pergi. Ini ambillah, kau harus pergi...."

"Aku tidak mau tanpa Ebu. Aku tak bisa sendiri." Taslimah terisak.

"Kamu harus mau, harus.... Kau tidak akan sendiri." Samar-samar, mereka mendengar bunyi decit ban dan klakson mobil di jalan desa. Raung motor yang lebih ramai dari hari-hari biasa. Mereka juga sudah tahu, pikir Taslimah.

Ebu kembali terbatuk. Kali ini tenaganya cukup kuat untuk mengangkat bokor peludahannya sendiri. Warna merah yang kini menguasai semua yang dimuntahkan Ebu menghancurkan hati Taslimah.

"Kau lihat, aku masih kuat. Lihat? Aku tidak akan apa-apa. Kembalilah lagi tiga hari nanti."

"Aku tidak mau, Ebu."

"Tidak apa-apa. Pergilah ke kota. Ikutilah orang-orang itu. Aku punya simpanan di bawah tikar itu. Temui pamanmu, Kalil. Kau harus menanyakannya pada mereka."

Dengan wajah yang basah, Taslimah menuruti perintah ibunya, mengambil buntalannya lalu melangkah melewati pintu.

Di luar, jalanan telah padat oleh kerumunan orang. Beberapa lelaki yang dikenali Taslimah sebagai tetangganya, berbicara berkelompok-kelompok. Di sela-sela itu, dia melihat tombak, celurit yang disarungkan, para pemuda yang berkumpul di beberapa rumah. Mata-mata mereka penuh menyiratkan kesungguhan. Dia melihat ke selatan, mendapati kerumunan lainnya, kebanyakan para buruh dan mereka yang bekerja di rumah ayah Selma. Dia memanjangkan lehernya sambil berjalan, melihat tanda-tanda keberadaan temannya itu, tetapi tidak menemukannya.

Selma mungkin sudah pergi.

Saat sebuah mobil angkutan berhenti, Taslimah dengan pasrah membiarkan seorang kernet mobil melempar buntalannya masuk ke dalam truk itu. Dia ditarik naik ke atas oleh seseorang lelaki yang berwajah ramah yang memberinya ruang di sisinya. Taslimah memperbaiki ikatan kerudungnya dan mencoba tersenyum. Dia berpegangan di sisi bak dan melemparkan pandangan ke arah rumahnya. Berharap Ebu keluar dari rumah, menahan truk itu di saat-saat terakhir, dan akhirnya ikut bersamanya ke kota.

Tapi, saat truk itu berbelok di ujung jalan desa, Ebu tidak keluar. Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Taslimah merasa dia akan menjalani hidupnya sendiri.

Menghitung Luka di LangitTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon