❀ーChapter 12

91 26 5
                                    

Before Chapter

Aku jadi tidak enak karena waktu Eomma dan Appa jadi berkurang.

"Benarkah? Mereka terlihat masih muda." Benar sekali, Eommaku memang terlihat muda dan cantik, Appa juga masih tampan. "Dan aku juga merasa  familiar dengan Appa-mu."

"Kalau begitu kenapa tidak ke sana—"

"Aku tidak ingin menggangu, aku senang jika Eomma senang." Kemudian aku tersenyum miris.

Continue

Chapter 12
_____________

"Ugh." Tiba-tiba saja saat ada angin kencang membuat rambutku yang memang mulai panjang menjadi kotor terkena ice cream, benar-benar berantakan juga lengket.

Kurasakan tangan kekar mulai merapikan surai berantakanku, lalu memasangkan jepit rambut.

"Terimakasih, tapi kau dapat jepit rambut darimana?"

"Eum, aku tidak sengaja membawa milik noona ku."

"Ah."

"Kalau kau ijinkan, aku ingin bertanya sesuatu."

"Tanya saja."

"Kau sudah punya pasangan?"

"Uhuk uhuk!" Aku yang sedang makan ice cream jadi tersedak, dia menepuk punggungku pelan.

"Maaf kalau aku lancang, tapi ada alasan mengapa aku bertanya."

"Gwenchana, kalau boleh tahu apa itu?"

"Saat merapikan suraimu, aku tidak sengaja melihat tanda merah keungu-unguan di tengkukmu." Aku terdiam, fakta tentang tanda itu aku juga tidak tahu.

"Aku tidak tahu."

"Ah, bisa saja itu karena serangga."

"Mungkin."

"Bolehkah aku bertanya lagi?"

"Boleh asal tidak yang aneh-aneh." Dia mengangguk, sepertinya dia mengetahui jika pertanyaan tadi sedikit menyinggungku.

"Apa kemarin Eomma-mu tidak ada di rumah?"

"Ha?!"




***





Selama perjalanan pulang, aku hanya diam memandang punggung lebarnya dari belakang. Aku mulai risih dengan sikapnya yang seakan ingin mengetahui tentang hidupku, bukan karena dia musuhku. Tetapi tetap saja, aku dan dia tidak pernah sedekat ini sebenarnya, bagaimana nada bicaranya dulu yang mengejek, membuatku ingin mencakar wajah sok tampannya itu.

Tetapi, entah kenapa beberapa hari ini aku merasa ada yang berbeda, sejak kejadian di rooftop tempo hari, saat aku ingin menangis sendiri, dia tiba-tiba datang dan memberiku kehangatan, menenangkanku dengan pelukannya, dia juga tidak banyak bertanya, membuatku menjadi lebih nyaman.

Dan perasaan aneh mulai muncul, aku tidak tahu apa itu, disaat dia memperilakukanku atau memuji rasanya tidak semenjengkelkan dulu. Sekarang aku lebih merasakan detak jantungku yang berdetak lebih cepat tanpa rasa kesal yang menyeimbangi.

Apalagi saat kejadian di taman tadi, membuat suasana menjadi lebih awkward, dia memberiku sebuah harapan, sandaran, dan sebuah kehangatan yang lebih layak. Aku tidak tau pasti apa maksud sebenarnya dia mengatakan itu, lagipula aku mempunyai keluarga yang selalu memberikan kehangatan.

Walaupun Appa dan Eomma lebih sibuk dengan dunianya sendiri, membuat diriku hanya seperti  figuran semata, tetapi aku senang. Eomma menemukan kebahagiannya. Kebahagiaan yang sudah lama terpendam sejak Appa pergi meninggalkan, jauh di alam sana.

Iya benar, karena Appaku yang sekarang bukanlah Appa kandungku.




***




"Sekali lagi terimakasih Jae, lain kali tidak perlu repot-repot." Aku memberikan jaketnya, rasanya tidak enak jika dia terus melakukan itu.

"Tidak, kau tidak merepotkanku, dan jika Appa-mu tidak bisa mengantar-jemput aku sedia menjadi sopirmu."

"Jangan Jae, itu membuatku berhutang budi padamu."

"Aku tidak akan memperdulikan itu, aku melakukannya karena aku mau."

"Terserah kau saja, tapi aku tidak tahu apa pendapat Appaku nanti."

"Kau anak Appa ternyata."

"Tidak juga, Appa hanya mencoba melindungiku dari hal yang tidak terbayangkan sebelumnya."

"Benarkah?"

"Iya, dari dulu Appa selalu menyuruhku untuk tidak terlalu dekat dengan laki-laki dominan."

"Bukannya itu namanya posesif?" Aku diam tidak langsung menanggapi, sedikit tersinggung dengan kata terakhir dari kalimatnya,  aku malah senang jika Appa melindungiku, bukannya itu hal wajar untuk orang tua kepada anak perempuannya?

"Jae langit sudah gelap, sebaiknya kau segera pulang." Aku mengalihkan topik, dia menganguk setuju.

"Yasudah aku pulang, besok kalau Appa-mu—"

"Aku bisa menggunakan bus."

"Tidak boleh."

"Kenapa? Aku lebih baik naik bus daripada berhutang budi."

"No, no, jangan keras kepala Hamada Asahi." Aku hanya berdehem, mendorong lengannya untuk segera pulang.




***




Saat kubuka pintu rumah, hanya kegelapan yang kudapati, mungkin Eomma dan Appa belum pulang. Aku menghidupkan saklar lampu kemudian masuk ke kamar, membersihkan diri, dan memakai baju tidur. Aku tidak langsung merebahkan diri karena ada tugas yang harus kuselesaikan.

Tetapi saat baru menyelesaikan dua nomor, aku merasakan perutku ingin diisi.

Berjalan ke luar kamar dan aku langsung mendapati kedua orang tuaku yang masuk ke dalam rumah dengan langkah sempoyongan.

ToBeContinue

Méprise メ JaeSahi✔Where stories live. Discover now