❀ーChapter 16

80 24 0
                                    

Before Chapter

Di pagi hari harapanku terkabul, dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya aku ke luar kamar, menoleh sebentar menatap sisi ranjang yang semalam diisi oleh tubuh jakung Appa. Sudut bibirku terangkat, ingin sekali matahari membiarkan bulan untuk bertahan lebih lama, pasti menyenangkan. Ditemani tidur oleh namja yang disukai, apalagi juga bisikkan sayang.

Knop pintu terputar sendiri, aku menyerngitkan dahi.

"Asahi."

"Eomma?"

Pagiku tidak sesuai ekspetasi.

Continue

Chapter 16
_____________

Aku kini berada di ruang makan bersama sepasang suami istri yang berharap tidak lagi menjadi sepasang. Rasanya seperti orang jahat, tetapi hatiku tetap tidak bisa dibohongi. Untuk masalah Jaehyuk ternyata dia tidak jadi menginap, menurutku Appa membangunkan Jaehyuk untuk kembali ke rumahnya. Dan hari ini aku akan kembali ke sekolah setelah seharian penuh di dalam rumah, membosankan sekali.

Rasanya aku ingin kembali menggelung di bawah selimut.

"Jadi Appa dan Eomma sudah memutuskan," Eomma membuka suara. Aku menatap keduanya, dilihat dari manik mata orang tuaku. Sepertinya akan ada berita buruk yang akan menimpaku. "Kita berdua akan tetap mempertahankan pernikahan sampai ajal menjemput."

Ah, benar kan berita buruk.

Bukan bentakan atau gebrakan meja yang akan kulakukan melainkan senyuman, mereka mengikutiku.

Aku memang tersenyum, tapi tanganku yang sedang memegang spoon sudah mengepal kuat. Kuharap mereka tak menyadarinya.

"Asahi senang mendengarnya, semoga Appa dan Eomma bisa selalu bersama sampai ajal menjemput."

Kemudian terjadi acara pelukan hangat. Eomma meneteskan air mata karena terharu sedangkan Appa tidak tahu.

"Terimakasih sudah mendukung Eomma." Ingin aku menjawab, tetapi aku masih sibuk bergelut dengan pikiranku, apa benar ini akhir aku mencintai Appa lebih dari seorang anak dan orang tua?

Jawabannya tidak tahu.




***




Esoknya aku kembali ke sekolah. Rasanya malas sekali.

Sapaan teman di koridor hanya kujawabi dengan senyuman hambar. Aku masuk ke kelas, menatap datar sekitar, menuju bangkuku. Baru saja aku mendaratkan tubuh, sudah ada ocehan yang membuatku memutarkan bola mata malas. Memilih abai dengan memainkan ponsel.

"Kacang itu tidak enak tau." Aku diam, tak berniat menjawab. Dia malah duduk di bangku milik Mashiho yang belum muncul tanda-tanda kehidupannya.

"Pergilah," suruhku sambil merubah posisi membelakanginya.

"Kau masih memikirkan Appa-mu?"

Brak.

Aku menggebrak meja membuat semua atensi mengarah padaku. Padahal aku sudah berusaha mati-matian meredam amarah.

"Bisakah kau tidak menggangguku? Sehari saja. Kau tahu? Aku lelah,kataku penuh penekanan lalu pergi, tujuanku hanya rooftop.

"Hiks, sadarlah Asahi kau hanya anaknya tidak lebih, tapi kenapa rasanya sakit sekali." Aku menangis, membiarkan setetes demi tetes air mata mengalir membasahi pipiku lalu jatuh di rokku.

"Appa, kau tidak ingin membawaku pergi bersamamu? Aku tidak kuat jika terus menahan rasa sesak di hati." Aku menatap langit, berharap Appa kandungku di alam sana melihatku sekarang.

"Appa mendengarku, kan? Kumohon katakan pada Tuhan untuk membawaku bersamamu."

"Rasanya seperti sia-sia saja, kicauan burung saja tidak mengerti, malah terus sibuk berkicau."

"Apa aku sendiri yang harus menyusulmu?" Dengan ragu aku berdiri, berjalan mendekati pagar rooftop, menatap ke bawah. Sepertinya tingginya sesuai untuk mengakhiri hidup.

"Mungkin ini jalan satu-satunya untuk bisa bertemu Appa." Aku menyingkap bawahanku dan mulai menaiki pagar.

"Jangan...." Suara berat seseorang menghentikan pergerakanku, aku berusaha memberontak, namun dia justru melakukan sebaliknya.

"Lepas, kau tidak punya hak menahanku!" Aku menatap nyalang ke arahnya, mengabaikan wajah jelekku karena menangis. Tak peduli apa pendapatnya.

"Aku ini temanmu dan punya hak untuk mengehentikan aksi bodohmu."

Aku tertawa, menatap langit untuk menahan jatuhnya air mata.

"Kau benar, aku bodoh, maka dari itu aku lebih baik mati."

"Tidak Asahi, kumohon." Dia mencoba meyakinkanku, menarikku kembali, membawa tubuh ini ke dalam dekapannya, tangisku semakin menjadi.

"Jae, kenapa ... kenapa takdirku seperti ini? Padahal aku hanya ingin bahagia." Dia diam dengan tangannya mengelus punggungku. "Mereka berbaikan Jae, hiks ...."

ToBeContinue

Méprise メ JaeSahi✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang