❀ーChapter 5

125 31 1
                                    

Before Chapter

Saat aku berjalan kembali ke kamar, terdengar suara lamat-lamat yang terkesan menakutkan, aku sepertinya harus menghukum kakiku yang malah menyetujui pikiranku untuk mencari tahu sumber suara itu. Berharap itu hanyalah akal-akalanku saja karena takut.

Suara itu berasal dari kamar kedua orang tuaku. Karna masih ragu aku menempelkan telinga kanan pada pintu. Dan suara itu jelas memasuki indra pendengaranku.

Dan perlahan kurasakan pipiku mulai basah.

Lagi-lagi perasaan itu.



Continue

Chapter 5
____________

"Boleh Appa bertanya sesuatu?" Aku yang sedang menatap kaca mobil mengalihkan pandangan ke sumber suara lalu mengangguk pelan. "Appa lihat kau akhir-akhir ini murung, tidak seperti biasanya." Aku tidak langsung menjawab, kenapa Appa baru mengetahui perubahan akan sikapmu. Ah, memangnya apa hakku untuk mengharuskan Appa memperhatikanku terus.

"Tidak! Eh, maksud Asahi tidak ada hal buruk yang terjadi." Senyum kulemparkan pada Appa, mencoba meyakinkan. Aku sedang malas jika ditanya macam-macam.

Ctarr.

Kilatan petir menyambar-nyambar. Langit mulai berubah warna menjadi gelap padahal tadi matahari bersinar terang. Aku terlonjak kaget dan langsung memeluk erat lengan Appa dari samping. Kupejamkan mata rapat-rapat, begitu pula telingaku. Jika kalian tahu aku mempunyai kenangan buruk pada petir yang menyambar. Dan itu membuatku trauma.

Perlahan kurasakan usapan pelan di punggungku, yang sudah dipastikan itu adalah tangan kekar Appa.

"Tenangkan dirimu, Appa akan selalu menemani."

Dan selanjutnya kurasakan usapan pelan di kepalaku. Ah, rasanya tenang sekali mendapatkan perlakuan hangat Appa. Dengan beliau yang masih menyetir menyempatkan waktu untuk menenangkanku. Benar idaman, bukan? Pantas saja Eomma selalu senang jika di dekat Appa sampai lupa waktu dan mengabaikan diriku yang jelas-jelas berada di depan mereka, huh.
Jika kalian tahu, dengan posisiku yang masih memeluk lengan Appa seperti ini membuatku bisa menghirup aroma khasnya, cool. Dan satu lagi, aku harus menahan rasa gejolak di dada kiriku.
Sesampainya di rumah seperti biasa aku langsung membersihkan diri, makan malam lalu ke kamar, tapi tiba-tiba saja aku langsung menangis kencang dikala petir yang terus menyambar-nyambar. Telingaku terasa akan pecah, traumaku semakin menjadi. Eomma yang ingin menenangkan sampai menyerah karena aku terus merancu tidak jelas, sampai Appa datang ke kamarku. Mencoba meraih tubuh rampingku yang masih bergerak tidak jelas, aku saja hampir menendang Appa jika kalian tahu.
Namun Appa tidak menyerah begitu saja, beliau memeluku erat. Menyembunyikan wajahku pada dada bidangnya. Sekali lagi aku merasakan hal yang sama, usapan di punggungku pelan. Appa juga membisikkanku akan sesuatu yang entah mengapa bisa membuat diriku tenang dalam dekapannya. Dan dengan kepalaku yang masih pusing akibat merancu tidak jelas, aku tidur dalam dekapannya.





***





Aku bangun dari tidur nyenyak karena merasakan sorotan cahaya yang menusuk mata. Kepalaku masih terasa pusing, tapi aku memaksakan diri untuk duduk. Kuraih air minum di nakas dan meneguknya sampai habis.

Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, aku baru menyadari jika sejak tadi malam aku tidak tidur sendirian karena kukira disaat aku sudah benar-benar terlelap pasti Appa akan pindah. Beliau masih terlelap dan kulihat dari garis wajah beliau, nampak begitu lelah.

Banyak pertanyaan yang menerjang kepalaku, namun kuurungkan. Melihat Appa saja tidak tega untuk membangunkan.

Dan kuputuskan untuk membersihkan diri dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Appa juga sudah tidak ada di kamar, tidak tahu kapan perginya, mungkin saat aku di kamar mandi.

"Kau tidak apa jika harus bekerja?"

Tidak sengaja kudengar pertanyaan Eomma yang diajukan pada Appa. Niat untuk masuk ke dapur harus kuurungkan, memilih untuk diam mendengarkan. Jangan meniru perbuatanku ini, tapi apalah dayaku yang lebih mementingkan rasa penasaran.


ToBeContinue

Méprise メ JaeSahi✔Where stories live. Discover now