❀ーChapter 4

130 31 4
                                    

Before Chapter

Aku menatap tajam ke arah orang itu saat dengan lancangnya malah membuyikan klakson. Aku berdecak lalu berniat untuk menyingkir, mungkin orang itu mungkin terganggu akan keberadaanku. Aku ingin mengumpat saja saat orang itu malah turun dari motor dan berjalan menghampiriku.

"Ikut denganku," katanya sambil menarik tanganku untuk menuju ke motornya. Aku berusaha untuk melepaskan cengkeraman yang malah semakin kuat.



Continue

Chapter 4
____________

"Lepaskan aku!" suruhku yang akhirnya tangan orang itu melepas tarikan. Ugh, pergelanganku perih.

"Kau itu siapa? beraninya lancang terhadapku?!" marahku lalu kedua matanya menatap intens ke arahku, aku memalingkan wajah, rasanya risih.

"Hai." Dia melepas helmnya dan tersenyum, mengatakan sapaan yang membuatku semakin muak terhadap orang di hadapanku. "Niatku baik sebelum hujan turun."

"Hah?" Kulihat dia memutar mata malas lalu menepuk jok bagian belakangnya, beberapa saat baru mengerti apa maksudnya. "Aku sedang menunggu Appa."

"Benarkah? Kulihat tidak ada tanda-tanda datangnya beliau." Aku sebenarnya setuju dengan ucapannya, langit juga mulai berubah warna. Aku berfikir, tidak ada salahnya juga. Aku bisa menjelaskan pada Appa nanti. Pasti beliau mengerti.

Aku naik setelah Jaehyuk, agak susah karena motornya yang tinggi, sudah berulang kali aku berusaha tapi hasilnya nihil, aku kesal sendiri. Lalu kulihat Jaehyuk menepuk pundaknya. Ah, ternyata peka juga dia, aku hanya tak ingin lancang.

"Sudah." Dia mengangguk lalu mulai mengendarai motor, saat dia ingin memutar tiba-tiba saja ada suara klakson nyaring yang kuketahui mengarah pada aku dan Jaehyuk.

"Appa sudah datang." Aku langsung turun dari motornya dengan menumpu tangan pada pundaknya lagi.

"Yasudah," katanya yang teredam helm. Setelahnya aku langsung menuju mobil dan masuk. Duduk di kursi depan. Appa mulai mengendarai, entah keinginan darimana aku membuka kaca mobil dan berteriak pada Jaehyuk yang tidak kunjung bergerak dari tempatnya.

"Hati-hati di jalan!" kataku dengan senyum tulus, kulihat dia mengangguk lalu memberikan ibu jari tangannya ke arahku.

Deg.

Eh, detak jantungku kenapa?

"Tadi siapa?" tanya Appa sambil mengendarai mobil, melihat ke arahku sekilas dan kembali menatap jalanan. Aku menatap rahang tegas milik Appa, jika kalian tahu yang biasanya membuka percakapan itu, tapi karna akhir-akhir ini aku malas bicara jadi beliaulah yang memulainya. Appa juga tumben sekali, eum tapi tidak ada salahnya juga sih sebagai bentuk kasih sayang dari orang tua ke anaknya.

"Nae Chingu." Kulihat Appa menatapku dengan salah satu alisnya tertarik ke atas, fokus pada manik mataku sampai rasanya darahku mendesir, aku melirik ke arah jalanan, sedang lampu merah. Aku berharap segera berubah jadi hijau.

"Appa lihat tidak seperti itu."

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Yang kau anggap hanya sebagai temanmu tadi terlihat jelas di matanya jika dia menganggapmu sebagai orang yang dicin-" Sebelum Appa menyelesaikan ucapannya, lampu merah sudah berubah hijau. Ugh, rasanya aku menyesal dengan harapanku tadi.

Kepalaku dipenuhi rasa penasaran karena setelah Appa kembali fokus ke jalanan, beliau tidak melanjutkan kalimatnya. Huh, sebenarnya apa sih, dicin-? Argh, kata itu harusnya selesai jikalau lampu merah lebih panjang.





***





Di tengah malam aku merasa tenggorokanku kering, berdecak malas saat tidak kudapat segelas air yang biasanya akan kutaruh untuk berjaga-jaga jika sedang haus seperti ini. Mengingat aku orangnya penakut. Bagaimana jika ada suara aneh nantinya? Benar-benar tidak bisa kubayangkan. Dengan langkah terpaksa aku keluar kamar, berjalan menuju dapur. Meraba dinding untuk menemukan sakelar lampu.

Kuletakan tubuh pada kursi, meraih gelas di meja, menuangkan air lalu meneguknya habis tak tersisa. Segar sekali. Kuhapus sisa air di sekitar mulut.
Saat aku berjalan kembali ke kamar, terdengar suara lamat-lamat yang terkesan menakutkan, aku sepertinya harus menghukum kakiku yang malah menyetujui pikiranku untuk mencari tahu sumber suara itu. Berharap itu hanyalah akal-akalanku saja karena takut.

Suara itu berasal dari kamar kedua orang tuaku. Karna masih ragu aku menempelkan telinga kanan pada pintu. Dan suara itu jelas memasuki indra pendengaranku.

Dan perlahan kurasakan pipiku mulai basah.

Lagi-lagi perasaan itu.





***




ToBeContinue

Méprise メ JaeSahi✔Where stories live. Discover now