11•🍋 Nyaman.

127 39 5
                                    

Biru telah berubah gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru telah berubah gelap. Langit diselimuti malam, bintang-bintang berkelap kelip menggantung di angkasa, bulan ikut berpartisipasi menerangi bumi yang berisi.

Nampak pesta kecil diadakan di tengah lapangan perumahan, meja kecil berisikan botol minuman bersoda, potongan ayam goreng nan gurih, dikelilingi beberapa para penghuni rumah yang sudah menjalin hubungan yang baik.

Leomon diundang, ikut merayakan. Tentu saja beberapa kaum hawa di sana mencari perhatian pria itu. Aline? Apakah ia juga diundang? Ya! Tentu saja! Hanya saja ia enggan hadir. Ia lebih suka menyendiri, di dalam rumahnya yang seperti kandang.

“Gadis itu tidak hadir lagi?”

“Dia akan mati dalam kesepian, jika menyendiri terus.”

Tubuh gagah nan tinggi, bangkit dari duduknya, Leomon menimpal, “Aku akan menjemputnya.”

Tok! Tok!

Pintu rumah bernomor 523, terketuk.

Aline berada di balik pintu itu, membuka pintu setengah wajah dengan malas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aline berada di balik pintu itu, membuka pintu setengah wajah dengan malas. Sosok pria yang ia hindari, tengah berdiri di hadapannya, memasang raut wajah berseri, dengan senyuman gahari.

“Kenapa tidak hadir?” Leomon bertanya hangat.

Matanya melirik, mengamati sekitar, datar ekspresinya. “Hah? Hadir?”

Pria itu mengangguk gagah, “He'em... semua orang menanti kehadiranmu.”

Ia hanya menatap datar.

“Termaksud aku...” Leomon menambah ucapan, membuatnya terkejut keheranan.

“Ah~ maaf!” ia menjawab gugup, berusaha menolak. “Aku tidak merasa nyaman, menghadiri acara seperti itu.” ungkapnya, hendak menutup pintu.

Leomon lekas menahan pintu itu yang akan tertutup, dengan ucapan percaya diri, “Ada aku yang akan membuatmu nyaman.”

Mendengar perkataan pria itu, seakan ada getaran yang berusaha menghancurkan hatinya yang batu, jiwanya bergejolak membakar tubuhnya. Perasaan yang membara, bangkit dari kematian, kian membawa benih-benih kedamaian dalam kehidupan, yang sudah lama terbalut keputus asaan.

Bagaimana bisa, sepata kata itu mampu membuat hatinya yang keras menggoyah, kian berubah melanyah.

───•

Pesta dirayakan, mereka terkejut tatkala Aline yang penyendiri, kini ikut bergabung.

“Tumben sekali, Aline mau bergabung.”

“Pasti karena cowok tampan yang mengajaknya.”

Para tetangga huniannya, berusaha menggodanya.

Aline menjawab, kaku. “Terkadang... semakin dewasanya seseorang, mereka akan memilih untuk berdiam diri di kamar mereka.”

“Jadi, maksudmu kami tidak dewasa?”

“Hei, sesekali berbaurlah... agar kau punya teman bicara.”

Leomon menatap Aline, lalu duduk di samping gadis itu, dan menimpal ucapan mereka, “Kedekatan itu... biasanya tak sengaja memberikan kenyamanan yang tak berwujud, dan menghidupan rasa yang nyata.”

Mendengar ucapan Leomon, Aline menatap dalam pria itu, mengharapkan kedatangan arti kehidupan yang telah lama hilang. Duduk di samping Leomon yang hadir di lingkungannya, membuat kecanggungannya juga sedikit hilang.

“Mari kita bersulang~”

Semua orang bersulang. Leomon menoleh, menatap Aline. Tangan pria itu terasa hangat, manakala menyentuh pergelangan tangan Aline.

“Kau memikirkan apa? Ayo, bersulang bersamaku.” tegur Leomon, mengangkat gelas.

Tersadarlah Aline dari lamunannya, ia menghembuskan napas ranah, mengiringi tangannya perlahan, mengangkat minuman kalengnya.

Kedua insan itupun bersulang.

Leomon menatap dalam, memandangi wajah Aline yang tengah minum sembari menatap rembulan.

“Bisakah aku menjadi benangmu?”

Pertanyaan itu, lantas membuat Aline menghentikan minumnya. Ia menoleh, sedikit mendongakan kepala, menatap bingung pada Leomon.

Tatapan pria itu tersirat arti, ia tak mengerti. Tak begitu paham membaca ekspresi seseorang.

“Benang? Maksudmu?” bibirnya tak lagi kaku, ia bertanya tanpa paksaan.

“Kau seperti layangan tanpa benang, terbang tanpa arah. Aku ingin menjadi benang, mengikatmu agar kau tak mendarat di tempat yang salah...” jelas Leomon.

Perkataan pria itu benar, ia tak bisa mengelak.

Memang benar ia kehilangan arah dalam hidupnya, berusaha menghadapi lika-liku kehidupan yang mempermainkannya, ia mengejar kebahagiaan yang menjauh, karena dunia seakan menghindarinya. Bisakah ia percaya pada pria itu?

“Jika putus, bagaimana?” ia bertanya, ragu.

“Aku pastikan benang yang mengikatmu tidak akan putus, karena aku membuat benang itu dari akar pohon lemonku.”

Tak ingin kehilangan arah menuju keputus asaan, ia mencoba, menemukan kesempatan. Bukan pasrah, melainkan tak menyerah.

“Jadi, kau punya pohon lemon?” ia bertanya, penasaran.

Ekspresi Leomon tergambar, pria itu mengangguk membenarkan, “Apakah pertanyaanmu itu, jawaban dari ucapanku sebelumnya?”

Raut wajahnya yang membeku kala itu, kini mencair. Aline tersenyum tipis, berusaha menyembunyikannya dari Leomon yang terus menatapnya. Ia tak ingin senyumannya yang perlahan kembali, dilihat oleh orang lain.

Pria itu tertawa lepas, “Menggemaskan~” mengangkat tangan, menyentuh kepala Aline.

Tangan Leomon yang membarut-barut kepala Aline, membuat hati Aline mengudara bak lampion

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangan Leomon yang membarut-barut kepala Aline, membuat hati Aline mengudara bak lampion.

•༺☺︎༻•

.. .. ✤ ᕬ  ᕬ
.../ (๑^᎑^๑)っ🍋 T,
./| ̄∪ ̄  ̄ |\🍋 B,
🌷|____.|🍄🍊 C...

SWEET LEMONS [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang