Bagian 5

507 63 11
                                    

Pinka menelentangkan tubuhnya. Berbaring menatap langit-langit lapangan indoor sekolahnya yang biasa digunakan untuk latihan berbagai ekstrakurikuler olahraga. Alih-alih langsung pulang dan meredam pikiran dengan mencari ketenangan, setelah menemui sang wali kelas, gadis itu malah datang ke lapangan. Turut meramaikan latihan dengan meminjam seragam taekwondo milik Evelyn. "Woahhhh .... Gue bisa stres tanpa gelut!" Pinka sadar jika apa yang baru saja ia lakukan berbanding terbalik dengan rencana awalnya. Bagaimanapun, olahraga bela diri dari Korea itu sudah menjadi bagian dari hidupnya bahkan sebelum ia belajar di bangku sekolah dasar. Selelah apapun dirinya, taekwondo akan menjadi tempat pelarian paling nyaman.

"Kapan gue bisa ganti sabuk kalau mau latihan aja seragam gue lo pinjem mulu."

Pinka tak acuh. Ia masih tenggelam dalam perasaan puas setelah mengalahkan tiga lawan yang ia ajak bertarung dan mematahkan sepuluh papan. Sedangkan Evelyn sedari tadi hanya dapat menyoraki sahabatnya itu dari pinggir lapangan. Dirinya terpaksa masuk ekstrakurikuler bela diri yang sama dengan Pinka karena desakan gadis itu. Akan tetapi, Pinka juga tampak tak serius untuk mengajarinya. Sahabat yang sudah ia kenal sejak SMP itu hanya membutuhkan Evelyn sebagai teman di mana pun ia butuh.

"Lagian lo aneh-aneh juga mau break latihan segala." Evelyn berkomentar selagi meminum isotonik yang baru saja ia beli di kantin. Ia teringat oleh curhatan temannya satu jam lalu. Bagaimana Pinka sangat frustasai karena hasil ulangannya, uring-uringan mencari informasi bimbel, menimbang-nimbang untuk memangkas waktu berlatih taekwondo, dan pada akhirnya gadis itu malah menghabiskan waktunya datang ke klub untuk latihan.

"Lo tahu enggak, Lyn? Waktu pertama kali gue masuk SMA, gue langsung berpikiran buat lanjut kuliah di olahraga. Kek pikiran gue waktu itu, ngapain gue susah-susah biar pas kuliah bisa masuk teknik, kedokteran, apa accounting kalau toh gue bisa kerja sama bokap."

"Fiks, P A."

"Anjir lo!" Pinka menyenggol lengan Evelyn hingga sosok di sampingnya itu hampir tersedak. Ia lantas bangkit dari posisi telentangnya selagi membenahi kucir. "Rekomendasi sampo anti rambut rontok, Lyn. Gue udah kayak orang dikemo aja."

"Itu pertanda kalau lo juga bisa mikir, Ka."

"Taik lo."

Evelyn menyengir mendapat makian itu. Jika saja bukan Pinka, ia mungkin sudah terbawa perasaan. Memang berkawan dengan Pinka sejatinya adalah proses melatih kesabaran.

"Lyn, ya ...." Pinka menggantungkan kalimatnya. Pandangan gadis itu terarah kepada teman-temanya di tengah lapangan yang sedang belajar beberapa tendangan, tapi Evelyn sadar jika pandangan Pinka kosong. Tampak jika gadis berusia enam belas tahun itu tengah memikirkan hal lain.

"Gimana?"

"Kalau ada cowok yang bilang kalau gue ngingetin dia ke orang lain itu maksudnya gimana, ya?" tanyanya polos. Ia benar-benar tak paham dengan maksud ucapan Nusa beberapa jam yang lalu. Pun respons yang diberikan ketua OSIS SMA Garda Udayana itu saat ia bertanya malah menimbulkan banyak lagi pertanyaan.

"Itu berarti lo ngingetian dia ke cewek lain."

"Siapa?"

"Mana gue tahu. Tanya aja ke orangnya," Evelyn mengedikkan bahu, "tapi biasanya kalau enggak mantan, ya, nyokapnya."

Pinka termenung. Sebagian besar temannya memang laki-laki sebagai sesama atlet dan pecinta olahraga. Bukan satu dua kali ia berinteraksi dengan lawan jenis. Namun, ketika ia berada di dekat Nusa, selalu ada perasaan yang berbeda. Entah dari hal kecil yang ketua kelasnya itu lakukan kepadanya atau kalimat-kalimat yang keluar dari bibir tipis Nusa tak sedikit terngiang di kepalanya.

Nusa SagaraWhere stories live. Discover now