Bagian 8

503 81 15
                                    

Pinka tiada henti menggerutu selagi memainkan jemarinya di atas keyboard. Ia paham alasan Sania menolak menjadi sekretaris setelah tahu Sadam sebagai ketua pelaksana. Dengan mudahnya, kakak kelas mantan penguhuni XI MIPA 1 itu menyuruhnya menyelesaikan proposal hari ini. Padahal dirinya baru bergabung dalam kepanitiaan belum genap tiga jam. Fail proposal sebelumnya yang dijadikan acuan pun baru Nusa kirim selama rapat panitia berlangsung. Alhasil, dirinya kini terjebak di ruang OSIS bersama Nusa setelah rapat berakhir.

"Udah jam lima, Ka. Yang penting lo bikin template-nya dulu. Ntar masalah pendahuluan lo bisa lanjut besok. Buat lampiran dan anggaran dana juga masih nunggu dari yang lain, kan. Kak Sadam paling cuma mau gertak lo doang."

"Kurang ajar emang itu bocah."

Nusa menarik sudut bibirnya mendapati raut serius Pinka dan berbagai ocehan gadis itu. Ia sebenarnya sangat ingin pulang dan mengistirahatkan tubuh. Dua hari selama akhir pekan menghabiskan waktu di Bandung, nyatanya tak dapat mengembalikan tenaga lelaki itu. Belum lagi semalaman ia tidak dapat terlelap setelah tengah malam terbangun mengurusi sakit kepala yang kembali timbul. "Ka, soal yang di perpus tadi enggak usah dipikirin." Nusa meletakkan kepalanya di atas meja selagi memandang gadis itu dari samping.

"Gue udah pikirin ucapan lo baik-baik, Sa. Lo enggak bisa narik kalimat lo di perpus tadi."

"Lo emang agak beda, ya."

"Terserah apa kata lo," Pinka menyahut sembari menyimpan file proposal yang baru saja ia buat, "gue enggak peduli maksud, tujuan, dan alasan lo apa sampai bilang kalau lo butuh gue. Tapi yang jelas, gue butuh bantuan lo, Sa."

Nusa memejamkan matanya, mengabaikan Pinka yang beralih menatapnya selepas mematikan laptop. Pening itu kembali muncul kendati ia mencoba mengalihkannya dengan melakukan berbagai kegiatan.

"Gue ada rencana buat kuliah di luar negeri. Dan selain punya nilai akademik yang bagus, gue juga butuh prestasi non-akademik lain di samping bela diri." Pinka membongkar rencananya. Entah mengapa ia mempercayai Nusa sama seperti ia mempercayai Evelyn. Padahal baru dua minggu ia dekat dengan lelaki itu. "Gue butuh bantuan lo, Sa. Gue ... mau nyalon jadi ketua OSIS tahun ini."

Kening Nusa mengerinyit dalam. Di samping mendengar Pinka yang sedikit tak masuk akal, sakit di kepalanya terasa lebih kuat. Lelaki itu mengangkat kepala. Menghela napas panjang selagi bersandar pada punggung kursi. "Lo mending pulang dulu, Ka."

"Maksud lo apa? Apa karena gue jauh dibanding lo, lo kira gue enggak pantes gantiin lo jadi ketua OSIS?" Nada bicara Pinka meninggi.

Desis lirih keluar dari bibir tipis Nusa. Pinka pernah mendapati dirinya tak baik-baik saja sebelumnya. Ia tidak ingin gadis itu kembali menemukannya dalam kondisi kesakitan. Namun, kalimat yang ia ucapkan untuk meminta sosok itu pergi justru menimbulkan kesalahpahaman.

"Gue paham kok kalau gue emang enggak sepintar elo. Gue enggak sepercaya diri elo buat ngomong di depan banyak orang. Ketika lo bisa jadi ketua OSIS di semester satu kelas sepuluh, gue malah kena kasus gara-gara ngehajar orang. Tapi bukan berarti orang bisa nge-judge gue semau mereka. Bukan ...."

Nusa bangkit berdiri. Ia berniat meninggalkan ruangan tatkala suara Pinka terdengar mendengung di telinganya. Beberapa kali lelaki itu menyipit untuk memperjelas pandangan. Namun, yang netranya terima malah figur Pinka yang kian membayang. Mengabaikan perkataan Pinka yang semakin tak terdengar jelas, selagi berpegang pada ujung meja, Nusa menyeret langkahnya.

Pinka naik pitam ketika Nusa malah beranjak meninggalkannya tanpa sepatah kata. "Sa, dengerin gue!" Gadis itu menarik lengan Nusa yang berpegang meja. Saat itu pula, Nusa berbalik dan tumbang di hadapannya.

Nusa SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang