Bagian 26

689 60 22
                                    

Nusa meringkuk di bawah selimut. Badannya memang sudah mulai terasa tak karuan setalah mandi sore. Namun, seusainya kembali dari rutinitas makan malam, rasa ngilu di sekujur tubuhnya berlipat. Belum lagi sakit kepala yang turut hadir dalam setiap situasi seperti ini. Makan malam yang hanya masuk beberapa sendok pun sudah terbuang sia-sia. Tidak dapat dipungkiri, sekeras apapun ia menahan dan menyembunyikan sakitnya, cepat atau lambat Rossa dan Mira akan menyadari ketidakwajaran yang terjadi padanya. Bahkan sebelum masuk ke kamar tadi, Mira dengan terang-terangan menanyakan dirinya yang tampak lebih kurus belakangan.

"Mas, Mbak boleh masuk?"

Terdengar suara dari luar kamar, tapi Nusa memilih untuk abai. Ia menarik selimut hingga sebatas kepala. Sebisa mungkin tak bersauara agar Mira mengira ia telah tertidur.

"HP Mas ketinggalan di meja makan. Ini ada telepon masuk dari tadi, Mas, siapa tahu penting."

Nusa tak peduli. Dibanding penasaran atau menjawab telepon yang lebih penting untuk saat ini adalah meredam semua ngilu yang menyergap badan, menahan sensasi lambung yang seolah diaduk-aduk, dan tekanan berat di kepala.

"Mas ..., Mas udah tidur?"

Suara Mira masih terdengar di sela ketukan pintu. Namun, detik berikutnya pintu terbuka. Terdengar suara langkah kaki menghampirinya dan Nusa terkejut ketika sebuah tangan menyibak selimutanya.

"Ma ...." Nusa sontak terbangun dari posisinya dan langsung terduduk. Seolah tubuhnya memang dipasang untuk selalu siap menjadi Nusa Sagara yang baik-baik saja.

"Kita ke rumah sakit!" sentak Rossa.

Bukan hanya Nusa, Mira jua sama terkejutnya tatkala nada tinggi itu keluar dari Rossa. Tanpa menghiraukan kedua orang di sana, Rossa memaksa Nusa untuk berdiri dan mengikuti perintahnya.

"Ma ..." Nusa meraih tangan wanita itu. Menahan gerakan keterburu-buruan Rossa. "Aku enggak papa." Lelaki itu menggenggam lengan ibunya kuat-kuat. Ia sadar jika penampilannya kini pasti jauh dari apa yang ia katakana. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya selagi bibirnya juga terasa begitu kering. Napas beratnya pun menjadi kecurigaan yang besar di mata Rossa dan Mira. Ia takut jika detik itu jua Rossa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.

"Panggilin Mas Ali buat siapin mobil!" titahnya pada Mira.

"Mbak ...." Nusa langsung menghentikan gerakan Mira sebelum memenuhi perintah Rossa. Lelaki itu menggeleng sebagai isyarat agar Mira tetap berdiri di tempatnya. Memberi kode agar Mira tidak melakukan apapun. Meskipun Mira dapat melihat dengan jelas wajah pucat putra majikannya, tapi ia memilih untuk menuruti Nusa. Ia sadar jika bukan sekali dua kali mendapati sikap Rossa yang aneh seperti ini. Terlalu gegabah dan emosi yang tidak stabil.

"Saya bilang—"

"Ma," potong Nusa, "duduk dulu." Kali ini ia menarik lengan ibunya hingga wanita itu terduduk di samping ranjang menghadap ke arahnya. Nusa menggengam erat telapak tangan ibunya. Mencoba menarik kedua sudut bibir. Memaksakan untuk tersenyum tenang.

"Nusa enggak papa. Coba periksa dulu," lelaki itu berganti menempelkan punggung tangan Rossa ke keningnya. "Cuma demam sedikit karena lagi agak capek."

Sepasang netra Rossa memandang setiap inchi wajah seorang yang ada di hadapannya. Garis wajah itu, raut pucatnya, dan senyuman tipis yang dipaksa untuk terukir di sana malah menghadirkan sesak. Bagian dalam dadanya seolah disayat ketika yang tergambar dalam bayangannya malah wajah sama pucat putranya yang terbaring tak berdaya di luar sana. Di rungan yang berbeda. Dengan jarak yang jauh darinya dan tengah sama-sama berjuang untuk bertahan hidup. Bertarung dengan maut.

"Nusa enggak papa, Ma," ucap lelaki itu membuyarkan pikiran Rossa.

Rossa menarik tangannya yang entah sejak kapan membingkai wajah Nusa. Selalu perasaan terombang-ambing itu muncul ketika hatinya terketuk untuk memedulikan seorang yang ada di hadapannya.

Nusa SagaraWhere stories live. Discover now